Alan Ibnu Muhammad

jadilah orang baik, karna tanpa kau sadari, akan ada orang yang menjadi baik dan bangga melakukan kebaikan karna mengidolakanmu...

Alan Ibnu Muhammad

tirulah orang lain, tapi tetaplah jadi diri sendiri...

Alan Ibnu Muhammad

menyesal karna mencoba, adalah karna merasa tidak sempurna. sedang menyesal karna tidak mencoba, itu karna menyesali kebodohan

Alan Ibnu Muhammad

jangan terlalu sibuk mencari yang sempurna, jika yang sederhana cukup membuatmu bahagia...

Alan Ibnu Muhammad

kita tidak bisa memaksa orang lain untuk menyukai apa yang kita suka dan membenci apa yang kita benci...

Wednesday, July 25, 2012

SAB'AH AL-AHRUF, Dan, Sumber Kemunculan Qira’ah Sab’ah

Prolog
Termasuk wacana kajian seputar ilmu Al-Qur'an yang sengit diperselisihkan adalah sebuah hadits   أنزل القرآنُ على سبعة أحرف”Al-Qur'an diturunkan dengan tujuh huruf” walaupun sebenarnya hadits ini jelas sahih dengan riwayat yang tergolong mutawatir, karna rawi yang meriwayatkannya mencapai 21 sahabat, bahkan sempat adanya sahadah (penyaksian banyak sahabat atas kebenarannya), namun secara global hadits ini banyak menimbulkan kontrofersi mengenai murad dan keberadaannya.
Riwayat dari umar bin khottob, abdulloh bin mas'ud, ubay bin ka'ab dan rawi-rawi lain menyatakan. Bahwa. para shahabat berdebat mas'alah seputar bacaan (Qiraat) dalam al-qur'an, sebagian berbeda dengan yang lainnya dalam membaca suatu ayat. dan masing-masing sama meyakini atas kebenaran bacaannya, akhirnya mereka meminta penjelasan kepada nabi. Nabi kemudian memerintahkan kepada masing-masing untuk membaca bacaannya, lantas beliau membenarkan semuanya tanpa terkecuali dan menyuruh mereka menetapi bacaannya walau masing-masing berbeda, sehingga ada sebagian dari mereka meragukan atas keputusan nabi. Rasulullah pun mengetahuinya Kemudian menepuk dada mereka yang ragu tadi dan berkata “aku diperintah untuk membaca al-qur'an dengan tujuh huruf “.
Dalam redaksi hadits lain yang di riwayatkan abi kuraib. Rasul bersabda.”  أمرني أن أقرأه على سبعة أحرفٍ، من سبعة أبوابٍ من الجنة، كلها شافٍ كافٍ “ “aku diperintah (Allah) untuk membaca Al-Qur'an dengan tujuh huruf dari tujuh pintu surga, semuanya mengobati dan mencukupi “.
Yang di maksud tujuh huruf adalah membaca Al-Qur'an dengan al-sinah as-sab'ah tujuh lisan (bahasa). Namun tetap dengan makna dan artian sama. seperti kata Ta'al dan Halumma dua lafadz sinonim yang memiliki satu arti “kemarilah”
Contoh dalam sebuah ayat “ أَفَلَمْ يَيْئَسِ الَّذِينَ آَمَنُوا “ imam 'ali Kw dan ibnu abbas ra membacanya dengan bahasa lain “ أَفَلَمْ يَتَبيَّنِ الَّذِينَ آمنُوا “ begitu pula ayat “ماينظرون إلا صيحة “ yang oleh abdullah dibaca “ ما ينظرون إلا زَقيةً “.
Mengenai bahasa tujuh yang dimaksud, antar ulama' berbeda pendapat, menurut Abu Hatim Assajastani, tujuh bahasa itu ialah bahasa Quraisy, Hudzail, Tamim, Uzaid, Rabi'ah, hawazin, dan sa'ad bian abi bakar. Menurut yang lain, bahasa Quraisy, Hudzail, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dan Yaman dan Ada yang mengatakan bahwa tujuh itu adalah tertentu dari bahasa mudlor karna mudlor itu terdapat tujuh qabilah ya'ni Quraisy, Kinanah, Asad, Hudzail, Tamim, Dlobbah dan Qais, dengan berhujjahkan perkataan utsman dan Ali “Al-Qur'an itu diturunkan dengan bahasa Mudlor”.yang lain mengatakan lima bahasa tertentu milik Hawazin, sedang dua lainnya menyeluruh bagi bangsa arab karna Hawazin berdekatan dengan temurunnya wahyu.
Maksud dari perkataan Utsman dan Ali “al-Qur'an diturunkan dengan bahasa mudlor atau qurais” adalah pertama kali Al-Qur'an diturunkan berupa dialek qurais, kemudian agar mudah bagi orang arab yang lain, allah memperbolehkan mereka membaca dengan bahasa masing-masing, sedangkan bagi selain orang arab lebih utama membaca dengan dialek qurais karna keutamaannya, juga bagi mereka yang ingin menghafal Al-Qur'an, maka dia harus dengan qurais sebagaiman pesan Ali pada ibnu mas'ud “ajarilah manusia dengan bahasa quraisy” karna bagi selain arab (ajam) semua dialek arab itu sama-sama sulit maka harus dipilih satu saja, namun yang lebih utama adalah bahasa nabi muhammad, dan untuk membaca yang lain juga diperbolehkan selagi tidak bertentangan dengan mushaf utsmani, sedang bagi orang arab yang kerepotan membaca dengan bahasa qurais maka ia tidak dipaksa untuk membaca dengan bahasa qurais ia diperbolehkan membaca dengan bahasanya bila tercakup dalam tujuh yang dimaksud.
Sedang yang dimaksud dengan tujuh pintu surga adalah ma'na yang ada dalam al-qur'an yang berupa amar, nahi, targhib, tathib, qosos, jadal dan mitsal yang pabila dikerjakan maka pelakunya dijanjikan masuk surga. Pendapat ini tidak bertentangan dengan pendapat ulama' mutaqaddimin.
Yang dimaksud dengan potongan haditsكلها شافٍ كافٍ”   semuanya dari yang tujuh bisa mengobati dan mencukupi” adalah sama dengan sebuah penjelasan dalam surat yunus ayat 57 وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُور Al-Qur'an sebagai obat bagi orang mu`min dari setiap penyakit yang timbul dihati, berupa keraguan dari syetan. Dan sekaligus sudah mencukupi, dengan ayat yang masuk katagori mauidhoh dari salah satu huruf yang tujuh.
Kitab yang turun kepada ummat terdahulu hanya berupa satu bab dan di baca Cuma dengan satu huruf saja, Zabur milik nabi Daud Cuma berisikan tadzkir dan mauidzoh, Injilnya nabi Isa berisikan tamjid, mahamid, haddlu 'ala al-shafhi dan I'rodl, yang jika dibaca tidak dengan bahasa yang diturunkan, maka dikatakan tarjamah atau tafsir, sedangkan Al-Qur'an turun dengan tujuh ma'ani dan bisa dibaca dengan tujuh bahasa, boleh dan mencukupi dengan membaca salah satunya, inilah diantarea keistimewaan dari ummat Muhammad.
Tujuh huruf  itu mempunyai derajat dalam  perbedaannya, ada yang berbeda dalam cara baca dan qiro'ahnya berupa qosr, mad dan lain sebagainya, namun tidak berbeda dalam bentuk tulisannya, sebagian yang lain berbeda dalam bentuk tulisannya, namun sedikit sekali yang seperti ini.
Namun menurut Ibnu al-jazari ulama kemuka dalam bidang tajwid berkomentar bahwa perbedaan dalam masalah idzhar, idghom, raum, isymam, tafkhim, tarqiq, mad, qasr, imalah, tahqiq, tashil, ibdal dan naql bukanlah perbedaan dalam lafadz dan ma'na akan tetapi sifat yang berbeda dalam penyampaiannya (ada') saja yang tidak sampai keluar dari satu huruf yang telah disepakati, seperti membaca imalah dalam lafadz “musa” dan beberapa lafadz lain atau bahkan semua lafadz yang berakhiran alif maqsuroh.
Perbedaan cara baca itu tidaklah sampai merusak arti Al-Qur'an, perbedaan itu hanya mengenai dialek yang masih menjadi kebiasaan yang sukar diubah oleh beberapa qabilah arab, hal ini terjadi tatkala setelah banyak qabilah arab yang berlainan lahjah memeluk islam, tujuannya jelas untuk memberikan keringanan pada ummat dan “Tashil” memberikan kemudahan kepada qabilah selain quraisy dalam membaca Al-Qur'an, kitab suci agama mereka, Sahabat Abdullah mengatakan. Saya mendengar suatu bacaan kemudian aku temukan Mutaqoribain (kesamaan satu sama lain). Maka bacalah sebagaimana yang kalian ketahui, jangan terlalu ketat dan keras. karna hal itu seperti perkataan kalian Halumma, aqbil dan ta'al  yang berarti “kemarilah”.
Dalam jumlah bahasa bacaannya Para sahabat mempunyai fariasi yang berbeda. Imam mujahid membaca dengan lima bacaan, Sa'id bin Jubair dengan dua huruf dan yazid bin walid dengan tiga bahasa.
Suatu ketika sahabat anas membaca sebuah ayat dalam surat al-Muzammilان ناشئة الليل هي اشد وطأ وأصوب قيلا  “ lalu sahabat yang lain (ada yang) menegor “ وأقوم “ lantas anas berkata “ وأقوم , أصوب , أهيأ “ adalah sama.
Hadits Mengenai Sab'ah Ahruf
Diriwayatkan dari ubay bin ka'ab bahwa ketika rasul diperintah untuk membaca dengan Cuma satu huruf, rasul masih mengajukan banding pada jibril “aku mohon ampunan dan perlindungan allah, sesungguhnya ummatku tak akan sanggup” kemudian jibril pun berlalu hal itu terulang sampai empat kali, akhirnya Jibril datang dengan membawa titah “sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan Al-Qur'an kepada ummatmu dengan tujuh huruf, dari huruf yang mana saja ia membaca maka ia telah benar”. Sebab mengapa Nabi berhenti untuk meminta, setelah jumlah bacaan mencapai tujuh, karna mungkin baliau tahu bahwa ummatnya berbeda dalam tujuh bahasa ini, maka rasul tidak meminta lebih dari itu (7) dalam membaca Al-Qur'an.
Dalam sebuah redaksi suatu ketika Nabi didatangi oleh jibril di hajar al-mira' nabi bersabda “aku diutus kepada ummat yang ummy mereka ada yang budak, pelayan, orang tua yang harus bekerja demi keluarganya, yang tua bangka dan orang yang sama sekali tidak pernah membaca kitab” lantas jibril berkata “bacalah Al-Qur'an dengan tujuh huruf”. Rasululah juga bersabda “Bacalah apa yang paling mudah dari yang tujuh huruf “ sedemikian besar syafaqoh beliau terhadap ummatnya. Dengan memintakan rekomendasi kepada tuhan agar beban ummatnya diberikan keringanan dalam melafadzkan kalam-kalam ilahi tidak dengan satu huruf melainkan dengan tujuh huruf.
Diceritakan oleh Muhammad bahwa malaikat jibril dan mikail mendatangi nabi Muhammad Saw. kemudian jibril berkata “bacalah al-qur'an dengan dua huruf” mikail berseru “tambahlah” “bacalah al-qur'an dengan tiga huruf” begitu seterusnya sampai tujuh huruf . Muhammad (rawi) mengomentari “jangan berbeda dalam masalah halal, haram dan amar, nahinya”.
Rasululah bersabda kepada Umar “wahai umar al-qur'an itu (yang tujuh) semuanya benar selagi tidak kau jadikan ayat rahmat menjadi ayat azhab dan sebaliknya ayat azhab kau baca sebagai ayat rahmat” Ibnu syihab mengatakan “telah sampai padaku bahwa tujuh huruf itu tetap dalam satu perintah (amar)  tidak berbeda dalam segi halal dan haramnya”.
Riwayat dari ibnu mas'ud menyatakan bahwa rasul bersabda “al-qur'an di turunkan dengan tujuh huruf, setiap huruf mempunyai Dhahir (yang jelas / nampak) dan bathin (yang samar).dan setiap huruf ada had (batasan) nya dan setiap had ada tandanya”.
Rasululah bersabda “ragu-ragu dalam al-qur'an adalah kufur” -beliau mengulanginya tiga kali- apa yang kalian ketahui, lakukanlah! (bacalah) dan apa yang tidak kalian ketahui, maka bertanyalah pada orang yang mengetahuinya”. Dalam hadits lain “Barang siapa kufur terhadap satu huruf atau satu ayat dalam Al-Qur'an maka ia telah kufur pada semuanya”.
Dalam redaksinya Umar ra menyatakan bahwa pertemuan jibril dengan Muhammad terjadi di ahjar al-mira' sedang dari ubai bin ka'ab terjadi di 'adho`ah bani ghifar perbedaan ini bisa saja terjadi karna memang ayat dan kronologinya juga berbeda. ayat yang diseterukan oleh umar dengan sahabat lain adalah ayat dalam surat furqon sedang yang diperselisihkan oleh ubay ada pada surat an-nahl.
Dari semua redaksi hadits seakan mengumpulkan bahwa asal mulanya tujuh huruf itu berfariasi, ada yang murni permintaan nabi dengan sedikit bernegoisasi terlebih dahulu kepada jibril, ada yang melalui perantara mika'il dan ada pula yang menyebutkan bahwa tujuh huruf itu perintah mutlak tanpa melalui suatu proses apapun dari jibril.
Tujuh huruf dengan beberapa ta'wilannya
Sebagian dari ummat salaf mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf di sana adalah sab'ah awjah, tujuh macam model penyampaian yang ada dalam al-qur'an yang berupa Amar, nahi, wa'ad, Wa'id, jadal, qosos, mitsal. Namun bila dita'wil sedemikian, maka akan terjadi kontrofersi hukum dalam al-qur'an, maka hukum akan tergantung bagaimana orang membacanya, orang yang membaca suatu ayat dengan teks fardlu, maka ia terkena khitob wajib untuk melaksanakannya, orang yang membaca dengan bentuk tahrim, maka ia pun diharam melakukan apa yang ia baca, begitu pula bagi orang yang membacanya dalam konteks takhyir, maka ia diperkenankan untuk memilih, boleh melaksanakan boleh tidak. Bagaimana hal ini bisa terjadi, padahal Allah swt telah menafikan kontrofersi dalam ayat al-qur'an dengan firmannya dalam surat annisa' 82, “ maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-qur’an ? kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak” lagi pula, kalau toh para sahabat kala itu berbeda dalam ma'ani al-qur'an bukannya lafadz, maka mustahil rasul membenarkannya, bahkan sampai menyuruh mereka menetapi bacaannya masing-masing, padahal nabi tidak mungkin memberikan sebuah keputusan atas suatu masalah dalam satu waktu dengan dua keputusan sekaligus dan beliau juga melarang hal itu pada ummatnya.
Sudah dimaklumi bahwa perdebatan antar sahabat bukanlah dalam segi tahlil (penghalalan), tahrim, wa'ad, wa'id, dan sesamanya karna hal itu mustahil akan dibenarkan oleh rasul. dan lagi, para sahabat antara satu sama lain tidak ada yang mengingkari bahwa Allah berhak memerintah, melarang, menjanjikan hambanya yang taat, mengancam yang berbuat maksiat menurut kehendaknya, memberi mau'idhah pada nabinya dan memberikan perumpamaan-perumpamaan untuk hambanya. Mungkinkah mereka bersengketa dalam mas'alah tadi yang jelas-jelas mereka tidak berani menggugat hak otoritas tuhan yang maha berkehendak ? Masih mungkinkah mereka berbeda dalam membaca ma'ani al-qur'an ?..jelas imposible.
Ada yang menakwili bahwa tujuh huruf itu adalah, ada tujuh bahasa yang terdapat dalam Al-Qur'an yakni tujuh ibarat dari bahasa-bahasa yang berbeda dari qabilah arab, namun yang mendominan adalah berupa dialek Qurais. Menurut Ibnu Atiyyah “maksud dari hadits “'ala sab'ati ahruf” bahwa didalam Al-Qur'an terdapat tujuh ibarat dari bahasa tujuh qabilah arab, kadang Al-Qur'an menggunakan satu ibarat dari bahasa quraisy, dalam redaksi lain dengan bahasa hudzail, meninjau mana yang lebih fasih dan lebih I'jaz satu sama lain, seperti cerita salah seorang sahabat yang tidak mengetahui arti dari lafadz “fatara” dan setelah beliau melihat persengketaan orang 'arabi yang berebut air di sebuah sumur, salah satunya berkata “Ana Fathartuha” yakni “Ana Ibtada'tuha” dari sini sahabat itu mengetahui makna fathara yang ternyata bermakna ibtada'a (yang memulai pertama kali).
Pendapat ini jelas membuahkan kerancuan idiologi, yakni tidak bisa menselaraskan ide tersebut dengan persengketaan sahabat yang kemudian masing-masing dibenarkan oleh nabi. Karna mereka tidak mungkin bersengketa kalau yang dibaca adalah ayat dan surat yang berbeda dan lebih mustahil lagi masalah pembenaran yang dilakukan oleh nabi.
Antara Qiro'ah Sab'ah Dan Sab'atu Ahruf
Sebagian ulama' mengatakan bahwa tujuh huruf itu masih ada dan tetap eksis sampai sekarang yang kini popular dengan sebutan Qiroah Sab'ah. Inipun juga tidak berdasar kalau tujuh huruf itu di artikan sedemikian, lalu bagaimana dengan qiro'ah asyroh yang tetap boleh dibaca, sekalipun bukan tawatur apakah itu bukan Al-Qur'an?
Timbulnya qira'ah sab'ah adalah setelah masa tersebarnya mushaf yang di sebarkan oleh sayyidina utsman ra di berbagai pusat Negara islam, jadi bukan bermula pada masa hidupnya nabi, melaikan pada abad pertama dan tersiar setelah abad kedua.
Tersebutlah tujuh orang imam yang masyhur ahli qira'ah yang dikemudian hari terkenal dengan qiro'ah assab'ah, karena masing-masing teliti dalam meriwayatkan qiro'ah yang bermuara dari nabi Muhammad dan sesungguhnya masih ada tiga lagi imam yang lebih dikenal dengan qiraah asyrah sekalipun riwayat mereka tidak mencapai derajah mutawatir namun bacaan mereka tetaplah di akui berbeda dengan qiroah asyara yang dikenal dengan qiroah syadznya, oleh sebab itu adanya qiro'ah sab'ah itu tidak ada sangkut pautnya dengan hadits nabi mengenai tujuh huruf dalam Al-Qur'an, melainkan memiliki dasar tersendiri.
Sayyidina utsman ra tidaklah melakukan penyatuan yang nyata dalam menulis mushafnya, namun beliau masih menyisakan bacaan yang berbeda dalam segi qira'ah dan ada` yang merupakan bagian dari salah satu tujuh huruf yang dimiliki Al-Qur'an, karna memang tulisannya tidak berbeda dan cocok dengan khot mushaf utsmani yang disepakati oleh sahabat. Jadi yang dihapus itu bukan secara mutlak. tapi secara global, dengan artian yang menyalahi huruf quraisy dan tidak bisa dita'wil saja. Tanpa memandang apakah penghapusan itu terjadi pada masa rasul atau setelahnya
Penulisan mushaf utsmani yang ketika itu dengan khot kufi, tanpa titik dan harakah adalah untuk mengakomodasi terhadap sab'atu ahruf, agar huruf yang berbeda dengan dialek quraisy (dalam segi titik dan harakah) namun bentuk tulisannya sama, bisa dicakup, seperti lafadz ننشزها yang dibaca ننسزها , sedangkan yang berbeda hurufnya seperti lafadz ووصى dengan وأ وصى maka ditulis dalam mushaf lain, Seperti lafadz " بالزبر وبالكتاب " dengan tambahan ba' dalam mushaf yang dikirimkan ke kota Syam, dan lafadz " تجري من تحتها الأنهار " dengan tambahan huruf  من dimusahaf al-makki. Oleh karena itu syarat untuk bacaan shahih diharuskan sesuai dengan salah satu dari tujuh mushaf yang ditulis oleh sayyidina utsman tersebut dan bagi yang menyalahi maka dikatakan syadz karma menyalahi tulisan yang sudah mujma' 'alaih (disepakati).
Imam makki bin abi thalib mengatakan bahwa qira'at yang kini masyhur dibaca dan disahkan riwayatnya dari para imam itu adalah sebagian dari tujuh macam huruf yang sesuai dengan huruf ketika Al-Qur'an diturunkan, namun bukan berarti yang dimaksud tujuh huruf adalah tujuh qiraah ini melainkan sebagian / diantaranya.
Penghapusan
Kadang ada yang masih terasa janggal dipikiran kita, seperti apa contoh dari tujuh bahasa itu, kenapa yang tersebar Cuma satu, kemudian yang enam kemana, apakah di hapus lantas tidak diberlakukan lagi ? atau malah terlupakan, terus apakah ummat ini telah menyia-nyiakan sesuatu yang seharusnya dijaga ? what happen ?
            Sebenarnya perihal ini pun masih khilaf yang pertama menyatakan tidak dihapus, pun pula ummat ini tidak masuk dalam katagori menyianyiakan Al-Qur'an yang seharusnya dijaga. Memang benar ummat ini diperintah untuk menjaga Al-Qur'an, Hanya saja mereka diberikan pilihan salah satu hurufnya saja, seperti halnya seorang yang melanggar janji, maka ia diberikan pilihan satu dari tiga sangsi antara membebaskan budak, puasa atau memberikan makanan, begitu pula dalam masalah ini, dengan menjaga satu saja maka sudah cukup, lagi pula bahasa qurais adalah yang asli.
Menurut Abu bakar bin 'arabi “ semua bahasa dan qira'ah gugur kecuali apa yang tertulis dalam mushaf utsmani atas kesepakatan para sahabat sedang izin untuk membaca yang lain sebelum itu telah habis”.
Qurthubi dengan dukungan nawawi dan thabari menyatakan bahwa “kelonggaran dengan membaca tujuh huruf adalah disebabkan lemahnya mereka untuk memaham dan membaca Al-Qur'an dengan bahasa lain karna mereka adalah komunitas ummy jarang sekali ada yang bisa tulis menulis, sehingga sulit bagi mereka untuk mempelajari bahasa asing maka mereka diberikan rekomendasi untuk membaca Al-Qur'an dengan bahasa yang berbeda namun tetap dengan artian yang sama dan tentunya atas didikan dan tuntunan rasul, setelah banyak dari mereka menguasai bahasa quraisy maka mereka tidak lagi diperkenankan membaca dengan bahasa yang berbeda”.
Ketika sayyidina utsman ra mengerahkan prajurit syam dan irak untuk memerangi penduduk Armenia dan adzribaijan, datang sahabat hudzaifah bin tsabit menghadap beliau dan menghabarkan bahwa pasukan muslimin berselisih mengenai bacaan Al-Qur'an, untuk itu dia menganjurkan agar kholifah mengirimkan mushaf yang pernah ditulis pada masa abu bakar ke berbagai kota yang berselisih untuk disatukan (disamakan) bacaannya, supaya nantinya tidak sama dengan kaum yahudi yang yang berselisih dalam urusan kitab mereka.
            “apabila kalian berselisih tentang suatu bacaan maka hendaklah kalian tulis dengan dialek quraisy, karna Al-Qur'an diturunkan dengan bahasa quraisy” begitulah pesan utsman kepada juru salin mushaf, kemudian mushaf-mushaf itu di sebarkan ke kota makkah, basrah, kufah, syam dan satu beliau simpan sendiri (di madinah) dan disebagian riwayat disebutkan tujuh salinan, dua lainnya ke yaman dan Bahrain. Pada waktu itu beliau memerintahkan agar naskah Al-Qur'an yang sebelumnya dibakar agar menyatu pada satu mushaf yang asal, sebelum diberikan rekomendasi membaca dengan berbagai macam dialek yang berbeda, yaitu Al-Qur'an dengan dialek quraisy yang dulunya tersimpan rapi dirumah hafshah. sekaligus untuk meredam perselisihan antara ummat islam dalam membaca ayat Al-Qur'an.
Dari sini sebagian ulama mengatakan bahwa enam huruf selain dialek quraisy itu kini telah dinusakh dengan sendirinya setelah hilangnya masyaqqah yang ada, karna rukhsoh, ketika sababnya telah sirna, maka kembali pada hukum asal, yaitu bacalah Al-Qur'an dengan satu huruf, bahasa quraisy tempat nabi diutus dan Al-Qur'an diturunkan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits nabi “qurasy afshahu lisanan” bahasa quraisy adalah yang terfasih bahasanya.
Ulama' yang mengatakan terhapusnya huruf yang enam pun masih berselisih apakah penghapusan terjadi pada masa nabi atau setelahnya namun kebanyakan lebih condong bahwa penghapusan itu terjadi pada masa rasul.
Tujuh bahasa itu selesai dan habis masa berlakunya ketika pengumpulan mushaf pada satu huruf dilakukan demi menghilangkan persengketaan, karna pertama kali Al-Qur'an diturunkan dengan bahasa quraisy, kemudian diperbolehkan bagi orang arab yang mana Al-Qur'an diturunkan kepada mereka dan sekaligus mereka sebagai sasaran khitab ketika itu, untuk membaca dengan bahasa mereka masing masing yang telah menjadi perkataan sehari-hari walaupun berbeda dalam lafadz dan I'rabnya, dan tidak ada paksaan bagi mereka untuk membaca dengan bahasa lain, Karena hal itu menyulitkan bagi mereka, kemudian rasul wafat sedang setiap sahabat memegang bacaan yang telah diajarkan oleh beliau walaupun berbeda dengan sahabat yang lain hal inilah yang kemudian menyebabkan persengketaan antar sahabat yang tidak mengetahui akan adanya tujuh bahasa yang diinformasikan oleh nabi, karna disibukkan dengan peperangan.
“Unzilul qur'an 'ala sab'ati ahruf” al-Qur'an diturunkan dengan tujuh huruf, begitulah sabda nabi menyikapi berdebatan para sahabatnya yang berselisih dalam perbedaan bacaan ayat, namun ketika mereka kembali berselisih karna adanya tujuh huruf ini, maka para pemuka shahabat kala itu sepakat untuk mengembalikannya pada satu huruf dan mengumpulkannya dalam mushaf yang sampai kini terkenal dengan sebutan mushaf utsmani. Itulah Al-Qur'an yang sering dikoreksi oleh malaikat jibril sekali dalam setahunnya tiap bulan ramadlan dan dua kali untuk yang terakhir kali. Wallahu a'lam.

TARBIYAH ISLAMIYAH, Pendidikan Dalam Pandangan Islam


Pendidikan berasal dari kata Paidagogos, bahasa yunani yang berarti "Pelayanan terhadap anak" yang kemudian di inggris-kan menjadi Paidagogis, dan di Indonesia kata ini menjadi "Pendidikan", pendidikan secara terminology mempunyai arti "Bantuan yang di berikan kepada anak secara sadar dan sistematis yang dilakukan oleh orang yang bertanggung jawab".

Pendidikan (tarbiyah) sangat identik dengan mencari ilmu (Tholabul Ilmi) atau pembelajaran (Ta'allum), meskipun nyatanya, ada sedikit perbedaan dalam segi keumuman kata pendidikan yang lebih luas jangkauannya dari pada pengajaran.

            Mengapa manusia mesti belajar? bukankah manusia adalah makhluk yang paling sempurna?, jelas manusia harus belar dan mengembangkan pola pikirnya karna manusia beda dengan makhluk tuhan yang lainnya, manusia tidak sama dengan Bebek yang seketika keluar dari cangkangnya ia langsung berenang di sungai, kita tidak pernah mendengar ada ceritanya ada bebek tenggelam saat mencoba belajar renang atau ada bebek yang belajar renang dengan memakai ban, jelas tidak. Manusia juga sangat berbeda dengan kambing, anak kambing yang masih berumur beberapa menit itu langsung bisa berjalan normal, jelas tidak pernah ada kambing yang digendong oleh induknya atau malah di ajarin cara berjalan. Manusia jelas berbeda dari keduanya, ia harus di ajari cara berjalan, berbicara, menulis, berkreasi dan lain sebagainya, "tidak ada bayi yang seketika lahir langsung jadi cendikiawan, ilmu itu bukanlah sebab keturunan tapi ilmu diperoleh dengan dicari dan dipelajari" begitulah pesan as-Syafi'I.     



Pendidikan Islami

Islam mengajarkan metodologi "long live education" (Tholabul ilm minal mahdi ilal lahdi) kepada pemeluknya bahkan, bisa dikatakan keharusan (faridlah)  tanpa membedakan jenis kelamin, suku, dan latar belakang dan ekonomi, karna untuk mengetahui agama dan seluk beluknya haruslah melalui proses pembelajaran terlebih dahulu.

Imam syafi'I mengatakan, untuk mencapai puncak ilmu, seorang murid haruslah memenuhi (6) persyaratan berikut,

1). Kepandaian.  Kenapa? bukannya memilih kasih terhadap yang punya otak encer dan mengesampingkan yang TelMi, melainkan dikarenakan kecerdasan adalah sarana utama untuk memahami, mencerna dan menghafal materi dan keterangan dari guru.

Pendidikan dalam islam lebih mengkhususkan bagi murid yang mendapat karunia otak cemerlang untuk bisa mempelajari, mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan agama karna mereka layak dan pantas untuk itu, karena merekalah generasi penerus dari ulama' pendahulu, merekalah pemegang tongkat estafet keilmuan islam, kalau bukan mereka lalu siapa lagi?.

Dan bagi mereka yang kurang mampu dalam taraf berpikirnya karena cuma dikaruniai IQ yang pas-pasan atau bahkan dibawah standar maka cukup baginya mengetahui ilmul hal (kewajiban keseharian yang musti ia kerjakan) saja, setelah itu maka dia akan diarahkan pada pekerjaan dan kerajinan tangan lainnya, ketahuilah kehidupan akan terus berputar dengan stabil bila ada yang bekerja dan ada yang menuntut ilmu.

2). Sungguh-sungguh / Kemauan yang keras.  mungkin memang syarat yang satu ini adalah kunci dari keberhasilan, karna disamping keinginan, seorang murid juga harus mempunyai kemauan untuk mencari ilmu, karna tanpa kemauan yang keras maka omong kosong murid akan menggapai tujuannya, bukankah dengan sungguh-sungguh keinginan akan tercapai

3). Sabar.  sabar bukan berarti rela bila tertinggal, tapi sabar di sini adalah tidak gelisah dan kalah oleh hawa nafsu ketika dalam mencari ilmu menemukan kesulitan, apalagi sampai putus asa yang jelas dilarang oleh agama, itulah sabar yang Allah sebut dalam firmannya "maka bersabarlah sesungguhnya sabar itu baik"

4). Bekal. Seorang murid yang aktifitas belajarnya terganggu oleh materi jelas hasilnya berbeda dengan murid yang konsentrasi penuh pada pelajarannya, disinilah kaidah "menyibukkan diri dengan sesuatu yang bukan tujuannya dapat memalingkan dari maksud dan tujuan awal" menjadi nyata.

5). Petunjuk Guru, dan 

6). Waktu yang Lama.



Bangkitlah dengan pendidikan

Pendidkan adalah sarana paling tepat dan ideal untuk membangun dan mencetak generasi bangsa yang unggul dan memiliki potensi memadai untuk membangun negeri kelak, karna mereka adalah calon para tokoh dan pemimpin dimasa mendatang " شبان اليوم رجال غد ". memang kita tidak bisa mengingkari para pejabat saat ini dulunya juga pernah duduk manis dibangku sekolah seperti kita hanya saja yang membedakan mereka dengan teman semasanya adalah kemauan dan kerja keras untuk maju dan tampil sebagai Rijal dimasa mendatang, itulah bedanya, namun pendidikan pulalah yang menyeret mereka pada prilaku sewenang wenang  dan bersikap apriori terhadap bawahannya, mereka tidak di didik dengan ilmu agama dan taqwa.

Pendidikan juga sebagai sarana dakwah untuk meluruskan pemahaman dan aqidah siswa, para kiai dengan pesantrennya, ustadz dengan madrasahnya jelas mempunyai tujuan dan arah yang sama untuk kesana, menanamkan dan memperbaiki aqidah dan spiritual anak asuhnya sekaligus membentengi diri dari paham sesat pemikiran barat dan ideology pemikiran bebas mereka. Islam tidaklah memandang sebelah mata dalam urusan kebahagiaan hidup tapi dengan keduanya sekaligus yaitu bahagia dunia dan akhirat yang di ridloi, oleh sebab itu, didalam pendidikan islam tidak terlihat menganak tirikan satu kebahagiaan demi kebahagian yang lain "bekerja seakan hidup selamanya dan beribadah seakan esok ajal menjemput",  islam sangat menjunjung tinggi terhadap ilmu dan orang yang berilmu, bagi mereka yang ingin maju dan tidak terlindas oleh putaran sains dan teknologi yang demikian pesatnya adalah harus dengan terus belajar dan mengembangkan cara berfikirnya, meningkatkan kecerdasan IQ dan EQ yang ditopang dengan SQ tentunya.

Peran seorang pemuda sangatlah berpengaruh bagi kemajuan bangsanya baik saat itu maupun kelak, syekh musthafa al-Ghalayain menyatakan "sesungguhnya dalam diri kalian wahai generasi bangsa, ummat ini dipertaruhkan dan kebangkitannya terdapat pada kemauan dan kebangkitan kalian ", ada sebuah cerita yang mendukung pendapat al-Ghalayain ini, yaitu tentang seorang raja yang ingin mengetahui kepatuhan rakyatnya, raja tersebut memerintahkan pada setiap warga untuk membawa sesendok madu untuk di tuangkan kedalam sebuah kendi besar yang terletak di sebuah bukit tepat pada tengah malam, al-kisah terdapat seorang pemuda disuatu dusun yang tidak mematuhi titah sang baginda raja, dia berpikiran bahwa sesendok air miliknya tidak akan berpengaruh pada sekendi madu yang dituangkan oleh orang banyak lagi pula pekat malam akan menyelimuti air yang di bawanya sehingga tidak akan ada seorangpun yang mengetahuinya, akhirnya yang terjadi adalah, seluruh isi kendi itu penuh dengan air, kenapa ? karena setiap orang berpikiran sama yaitu biar orang lain saja yang memenuhi titah sang raja bukannya aku, dari sini jelas bahwa tanpa ada satupun orang yang sadar akan kewajibannya maka yang lain demikian pula adanya, satu bangkit maka insyaallah yang lain akan mengikuti, demikian pula sebaliknya.



Guru Sebagai Pemegang Kendali

Pendidik atau guru semestinya tidak sekedar mengisi kekosongan kelas atau menghindari absen guru, karna seorang guru selain bertugas menyampaikan materi ia juga dituntut mengajarkan budi pekerti yang luhur, segaimana kata Guru yang berarti di GUgu dan di tiRU, di dalam ilmu hadist, seorang perowi yang melakukan tindakan yang tercela atau perbuatannya tidak sesuai dengan apa yang ia sampaikan, maka hadist yang ia sampaikan dikatagorikan hadist dho'if bahkan dirinya di cap sebagai orang fasik, begitu pula seorang guru yang tidak menjadi uswah hasanah bagi peserta didiknya, ilmu yang ia berikan tidak akan banyak bermanfaat bagi mereka, dan karna kata-kata seorang guru adalah pedoman bagi murid maka hati hatilah dalam mendidik.


                                                                       28-Jumadal Ula-1428 H.

FIQIH SOSIOLOGI, Upaya pemaduan Sosiologi - Fiqih


Antara Sosiologi dan Fiqih

Sosiologi adalah sebuah ilmu pengetahuan, yang menjadikan masyarakat sebagai obyek kajiannya. Sudut pandang ilmu pengetahuan ini besifat bebas. dengan artian, dalam kajiannya tidak terikat pada suatu suku, etnis, budaya dan agama apapun. atau dengan kata lain “tanpa pandang bulu”. karna memang kajiannya sengaja di fokuskan pada masyarakat luas dan tanpa ada sekat pembatas, apapun itu.

Sedangkan Fiqih adalah ilmu tentang hukum halal-haram, sah dan boleh-tidaknya suatu perbuatan yang di lakukan oleh masyarakat (islam), yang pengambilan hukum tadi bersumber dari al-Qur'an, Hadits dan ijma’ ulama'.

Jadi, keduanya mempunyai lahan dan sasaran yang sama, yakni masyarakat. Sedang perbedaannya, bahwa kajian fiqih lebih sempit (Khusus) dari pada sosiologi dalam beberapa hal, diantaranya:

1: Fiqih hanya di konsumsi oleh suatu agama tertentu, walaupun obyeknya umum.

2: Fiqih bersifat ta'abbudi, Otoriter dan harus di budayakan, bukan mengikuti suatu budaya.

3: Fiqih bersifat ‘pasti’ dan tidak berubah karna tidak di buat oleh suatu kaum tertentu sehingga menyebabkan tidak sesuai dengan suatu zaman dan maysrakat yang berbeda.

4: Fiqih melahirkan suatu tindakan/takziran kepada masyarakat yang menyimpang dari ketentuan.

Sedangkan Sosiologi tidak.


Sosiologi ala Rasul

            Wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad Saw ketika beliau berada di makkah lebih dominan dengan ayat (ياايها الناس). Sedangkan ayat yang turun kepada beliau ketika di madinah adalah (ياايها الذين امنوا) . karna masyarakat nabi ketika di makkah beragam, penyembah berhala, nashrani, yahudi, ateis dan sedikit muslimin, sehingga khitob yang di pakai adalah "Hai manusia". sedangkan masyarakat madinah adalah islam mayoritas, maka khitobnya menggunakan "Hai orang-orang yang beriman".

           

Dari sinilah Penulis mencoba membagi Fiqih Sosiologi menjadi dua sub.

a)      Fiqih Sosiologi di masyarakat Islam minoritas/ Obyek umum

Ketika Nabi Muhammad Saw berada di makkah, beliau tetap melakukan transaksi, komunikasi dan bersosialisasi dengan baik dengan penduduk sekitar. Beliau juga tidak merusak dan mengganggu ritual-ritual yang di lakukan para tetangganya, hanya sesekali beliau menegur dan mengajari dengan sopan-santun bahwa tindakan mereka itu salah.



     Ilmu fiqih –atau bisa di katakana ilmu adab- yang di terapkan untuk masyarakat seperti ini Cuma bab muamalah, lainnya tidak. Karna kalau tidak, malah akan menimbulkan banyak ketimpangan. Misalnya, bab nikah di berlakukan, maka akan menimbulkan adanya pelegalan nikah antar agama. Hanya ada sedikit celah dalam bab nikah untuk wanita ahlul kitab, itupun kalau nenek moyangnya masuk agama tersebut sebelum adanya tahrif. sedangkan selain itu, No way to that.

     Dalam hal transaksi dan komunikasi (mua`syarah) islam sangat terbuka kepada penganut agama lain, karna memang dua hal tersebut merupakan sarana dakwah dan media pengenalan islam ke penjuru dunia. Juga, dua hal tersebut tidak bersinggungan langsung dengan ranah aqidah, hanya sekedar hukum boleh-tidak. Terbukti para wali sukses menyebarkan dakwahnya di nusantara ini dengan cara berdakwah sambil berdagang dan berniaga.



b)      Fiqih Sosiologi di masyarakat muslim mayoritas/ Obyek khusus

Sedang masyarakat nabi di madinah adalah muslim mayoritas, maka dalam undang-undang kesehariannya nabi menggunakan syariat islam (fiqih) secara total. Semua konsep fiqih mencakup ibadah, nikah, hudud, qishash, qital, dan muamalah shahihah, di terapkan dengan utuh dan menyeluruh.

Di madinah, kita lihat bagaimana nabi memotong tangan wanita yang mencuri, merajam wanita yang berzina, mencambuk para penuduh aisyah dan bagaimana nabi mengajari bagaimana sunnah dan tatakrama keseharian kepada para sahabatnya.

Sedangkan terhadap non muslim yang tinggal di madinah, nabi Cuma memungut pajak untuk aqad aman, dan sebagai pengkatagorian dzimmy, tanpa terdzalimi dan terganggu kesehariannya kecuali bila mereka bikin resah atau mengusik aktifitas muslimin.

Untuk masyarakat yang model begini, semua hukum fiqih harus berlaku dan di berlakukan. Syariat harus di tegakkan, dan hukum had berlaku sebagai penyeimbang.



HAM dalam kacamata fiqih dan sosial

            Hak asasi manusia sebenarnya sudah di kobarkan oleh islam 1000 tahun lebih sebelum barat mengkoar-koarkannya. Hanya saja HAM dalam islam adalah kebebasan individual dalam berekspresi dan berkarya terhadap miliknya sendiri dan tidak bertentangan dengan rambu-rambu syariat sekaligus tidak mengganggu kepada orang lain. Sedang yang ngetren sekarang ini adalah aku adalah semauku, terserah apa mauku yang penting aku senang, entah bikin banyak orang susah dan gelisah karna ulahku.

            Dalam sosiologi, HAM yang ke2 mungkin Cuma di pelajari, di telusuri dan di cari manfaat dan kerugian yang di akibatkan dan bagaimana solusi yang agak tepat lalu di kaitkan dengan masa dulu dan yang mendatang kemudian di jadikan refrensi oleh orang berikutnya bahwa pada tahun sekian terdapat gejolak masyarakat yang meneriakkan kata-kata HAM hanya untuk kesenangan pribadinya dan biar tidak ada orang lain yang mengusiknya. Mereka ini termasuk kategori masyarakat yang modern tapi agak primitive, misalnya.

Berbeda dengan fiqih yang dengan tegas mengatakan bahwa tindakan apapun yang merugikan orang lain dan melanggar aturan syariat sekalipun itu miliknya maka tindakan itu harus di stop. siapapun yang melihat dan mengetahuinya diwajibkan mencegahnya karna tindakan tersebut termasuk kategori munkar yang harus di enyahkan.



Epilog

Intinya bahwa Fiqih memuat sosiologi sedang sosiologi harus di fiqihkan. Jadi bicara sosiologi juga bicara fiqih, karena jika tidak, maka sosiologi akan mengarah ke emansipasi wanita, libralisme, HAM ala amerika, kebebasan berexpresi dengan membuat kartun nabi dan lain sebagainya, yang mencakup suatu tindakan mayarakat secara umum, bebas, tidak terikat dan vulgar.

Sosiologi hanyalah ilmu untuk mengetahui pola hidup dan tingkah laku masyarakat sedangkan fiqih bertugas mengarahkan dan menggiring tingkah laku masyarakat agar selaras dengan ajaran islam. Dan Fiqih Sosiologi yang kami harapkan di sini adalah bahwa sosial menurut fiqih, berbeda dengan sosial dalam ilmu sosiologi. Dan untuk memadukan keduanya, itulah fiqih sosiologi atau social menurut kaca mata fiqih. Atau bisa juga dikatakana bahwa fiqih merupakan bagian dari sosiologi, sebagaimana juga Adab Muasyarah. Sehingga bisa dipilah, ada fiqih sosiologi, adab sosiologi, dan seterusnya.

28-Jumadal Ula-1428 H.

JIWA, dan Gejala-Gejala Kejiwaan


Antara Jiwa, Nafsu dan Ruh

            Dalam kamus, jiwa bisa bermakna ruh, nafs, spirit/semangat dan watak. Juga dalam Al-Qur’an kalimat Nafs mempunyai beberapa makna. diantaranya adalah berarti watak/ karakter manusia, Jiwa, Bahkan ada yang bermakna ruh.



Karakter dasar Jiwa

            Manusia pada dasarnya mempunyai kecendrungan berbuat jahat dan tidak terpuji, firman allah

 ’’ان النفس لامارة بالسوء الا ما رحم ربي (يوسف)

dengan arti bebasnya “Nafsu itu pada dasarnya selalu mengajak pada kejelekan kecuali nafsu yang di berkahi”. juga dalam ayat lain

 ولكم فيها ما تشتهي انفسكم ولكم فيها ما تدعون ( فصلت – 31 )

            Diantara Karakter dasar manusia adalah sifat kikir. Firman allah

 واحضرة الانفس الشح ( النساء – 128 )

 “walaupun anfus (manusia) pada hakikatnya adalah kikir”. Karna memang tabiat manusia tak mau melepas sebagian haknya kepada orang lain dengan seikhlas hatinya.. namun sebenarnya tabiat buruk itu bisa di lepas dan dihindari. Firman allah dalam surah al-hasyr

 “ ومن يوق شح نفسه فالئك هم المفلحون

artinya : ‘orang yang dijaga dari sifat pelit mereka adalah orang-orang yang bearuntung’.

 bahwa orang yang selamat dari kikir itu masuk kategori orang yang beruntung karna dia berhasil melepaskan diri dari pengaruh buruk jiwanya. juga allah menjelaskan beberapa cara untuk bisa selamat dari sifat buruk tersebut diantaranya dengan melakukan ritual shalat, bersedekah, sebagaiman firmannya :

ان الانسان خلق هلوعا * اذا مسه الشر جزوعا * واذا مسه الخير منوعا * الا المصلين (المعارج – 19-22 )



Jiwa yang di patuhi

            Al-busyiri dalam qoshidah burdahnya mensifati naf`s sebagaimana anak kecil yang suka menetek kepada ibunya yang kebiasaan itu akan terus berlangsung bahkan sampai sang anak sudah besar dan berjenggot jika si ibu merasa tidak tega ketika anaknya merengek dan menangis minta nyusu padahal anak tersebut sudah waktunya di pisah. Syair beliau

والنقس كالطفل ان تهمله شب على*  حب الرضاع وان تفطمه ينفطم  ”.

Nafsu manusia tidak boleh terus di turuti kemauannya, kita harus punya rem yang kuat untuk menahan gerak lajunya, namun tidak lantas di kekang selamanya karna di saat tertentu nafsu itu perlu dilepas bebaskan. Jadi saran beliau “fashrif…..” maka palingkanlah nafsu itu”. Mengenai berpalingnya kearah mana itu terserah anda, bisa dengan memalingkannya seratus delapan puluh derajat, dari mau menjadi tidak mau atau mengarahkannya pada hal-hal lainnya yang di nilai berguna.



Jiwa yang celaka

Bila karakter dan kemauan jiwa-jiwa itu di turuti maka status jiwa itu menjadi jiwa yang celaka

 “ ولا اقسم بالنفس اللوامة (القيامة)

dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri),     karna setiap perbuatan pastilah akan di pinta pertanggung jawabannya,

 كل نفس بما سبت رهينة (المدثر – 38 )

 kalau jiwa itu sebelumnya melakukan hal-hal yang bertentangan dengan aturan tuhan maka jiwa itu pasti akan menyesal





Memerangi Jiwa

            Dalam sebuah perjalanan pulang dari peperang rasul bersabda kepada para shahabatnya

جئنا من جهاد الاصغر الى جهاد الاكبر

 para shahabat yang mendengarnya pun kontan jadi penasaran lantas bertanya “apa itu perang yang lebih dahsyat ya rasul?”.

 “ جهاد النفس perang melawan nafsu kita, jawab rasul.

Perang melawan nafsu bahkan lebih sulit dan berbahaya dari pada musuh yang menghunus pedang di depan hidung kita. karna selain tidak tampak, nafsu merupakan bagian dari diri kita atau istilahnya “musuh dalam selimut” jadi karna satu ‘selimut’ (tubuh) dengan kita lantas kita merasa sulit memeranginya.

Pepatah mengatakan your enemy your self “musuh terbesarmu adalah dirimu sendiri”. diri kita memiliki beberapa kebiasaan yang bila kita palingkan begitu saja tentu akan terasa sulit dan kurang sreg kalau misalnya kita absent untuk kegiatan tertentu yang sebelumnya sudah menjadi rutinitas kita sehari-hari walaupun ternyata itu adalah kebiasaan buruk.



Jiwa yang terkendali

            Sabda nabi bahwa orang kuat bukannya orang yang pandai bergulat tapi orang kuat itu adalah

  الشديد الذي يملك نفسه عند الغضب

orang yang bisa menundukkan, menguasai nafsunya ketika emosinya memuncak. Nafsu yang dalam hadits di atas berarti emosi, di sejajarkan dengan musuh yang kuat yang dalam membantingnya butuh tenaga kuat, sehingga sang penakluk dikatakan orang yang kuat bahkan mempunyai nilai lebih dari pada melawan “Kris jhon”.

            Dalam hadits lain disebutkan

الكيس من دان نفسه

orang pandai adalah orang yang bisa menyoroti nafsunya (intropeksi diri). Juga di sebutkan dalam al-Qur’an tentang orang yang bisa mencegah nafsunya dari ‘hawa’
واما من خاف مقام ربه ونهى النفس عن الهوى”       (النازعات – 40 )



Jiwa yang Resah, Gelisah dan yang Rapuh

            Temanku pernah mengatakan bahwa “para sufi sebenarnya memiliki jiwa yang resah, gelisah dan jauh dari kata tenang. karna perumpamaan kejiwaan yang mereka miliki seperti seseorang yang tengah berada di dalam widuk kecil yang sedang terombang ambing oleh gelombang yang menggulung-gulung dan di terjang angin topan yang mengganas di tengan samudra pasifik sementara keadaan sekitar gelap gulita, pekat dan menakutkan". coba bayangkan siapa yang tahan dengan keadaan separti ini?. tapi bukan berarti jiwa mereka luluh dan Rapuh malah sebaliknya, jiwa mereka sangat Tegar dan penuh dengan Optimisme tinggi kepada tuhannya.



Jiwa yang Tenang

            “ العقل السليم في الجسم السليم

 Otak yang Jernih berada dalam Jiwa yang tenang. tak dapat di pungkiri bahwa kalau kondisi kita dalam keadaan stabil, prima dan segar, maka otak kita akan lebih Jernih, peka dan tanggap tehadap berbagai problem dan tentunya jauh dari akut dan error. dan ketenangan tersebut bisa diperoleh dengan berbagai cara, misalnya dengan pernafasan yoga, pendinginan (relaksasi) otak, refresing atau dengan mengalihkan kejenuhan pada hobi atau bisa dengan mendengarkan musik.

            kalau anda bertanya. “mengapa para Mujahid sama sekali tidak merasa takut pada kematian?, kenapa di wajah mereka tidak sedikitpun tergambar bayang-bayang ketakutan? padahal jelas di depan mereka, maut siap menerkam dan mencabik-cabik mereka. jawabnya mungkin sangat sederhana, yaitu karena mereka tidak melihat kematian yang siap melumat mereka, tapi di belakang itulah syurga menunggu, di baliknya para bidadari menanti mereka dengan penuh kerinduan. itulah sebabnya, dan perasaan semacam itu bisa di raih bila hati merasa mantap(yaqin), dan kemantapan itulah yang di sebut dengan keteguhan iman. di akhir surah annisa’ allah menggambarkan

 “ الذين قال لهم الناس ان الناس قد جمعوا لكم فاخشوهم فزادهم ايمانا وقالوا حسبنا الله ونعم الوكيل.

jadi, mereka sangat mengharapkan kematian yang terhormat itu, dan sejatinya mereka menginginkan ketenangan yang bakal di peroleh pasca kematian itu, yang disebut-sebut dengan Jiwa yang Tenang

ياايتهاالنفس المطمئنة     Jiwa ang kembali pada rengkuhan tuhannya dengan senyum lebar



Jiwa yang terjaga

            ان كل نفس لما عليها حافظ” (الطارق 4) tidak ada suatu jiwa pun (diri) melainkan ada pengawasnya”.