Sejak kecil aku terdidik sebagai anak yang taat dan berbakti. Orang tuaku mendidikku dengan akhlak dan sopan santun. Karna memang ayahku seorang pemangku pesantren.
Semenjak kecil aku sudah terbiasa dengan yang namanya pahala. Jangankan ibadah wajib, amalan sunnah jarang sekali aku tinggalkan. Itupun karena udzur yang tak bisa aku hindari.
Aku sudah mampu menghafal al-Qur’an dengan sempurna pada usia dini, 11 tahun. saat teman-temanku asyik bermain aku malah asyik mengaji. Saat teman-temanku terlelap karna letih. Aku terjaga melaksankan shalat tahajjud. Ah, sepertinya aku lebih hebat dari pada teman-teman sebayaku.
Sekarang umurku sudah 25 tahun. Pesantren telah aku enyami selama sepuluh tahun. Hari-hariku di sana ku isi dengan belajar. dan ibadah. Bahkan saat-saat puber-ku hilang begitu saja di antara masjid dan madrsah. Akupun sering menorehkan prestasi. Sampai ayahku bangga punya anak sepertiku. bukan seperti anak lainya.
Aku sering menghitung-hitung sendiri. Sudah berapa banyak amal yang aku kerjakan. Sudah berapa besar pahala yang tercatat untukku. Aku sering membanding-bandingkannya dengan teman-teman yang seangkatan denganku. Namun semuanya jauh berada di bawah levelku.
Lalu berlanjut ke kakak seniorku. setelah beberapa kali aku memperhatikan tingkah dan amaliyah mereka, ternyata mereka masih di bawahku. Mereka mungkin dalam jenjang pendidikan ada di atasku tapi ’isi’nya, aku yakin, aku lebih dari mereka. Bahkan kalau di ajak berdiskusi pun aku bakalan siap meladeninya.
Acara hitung-menghitung itu terus berlanjut sampai ke para ustadz-ustadz muda. belum puas akhirnya sampai ke kiai pemangku pondok. Aku mengakui kalau kiai-ku itu sangat alim. tingkatanku mungkin masih ada di bawahnya sedikit. Tapi kiai tidak hafal al-Qur’an. sedangkan aku menghafal kalam-kalam suci itu, meski aku tidak banyak mengerti isinya. Kiai mungkin lebih khusuk. itu kan karena umurnya yang sudah tua renta. sehingga mungkin beliau lebih terbayangi kematian. bukan karena keikhlasan. Lain halnya denganku yang masih muda, tapi malah khusuk dan menghindari maksiat. Ah, kurasa aku lebih baih ketimbang kiai.
Pemikiran seperti itu membuatku tidak mau menerima nasihat dari kakak seniorku. Dan lebih parah lagi aku sudah tidak mau masuk sekolah. karna aku rasa guru-guruku itu agak bodoh dan lebih mementingkan duniawi ketimbang rasa ikhlas dalam mengajar.
Aku merasa diriku yang paling mulia dan tentu saja paling layak masuk surga.
***
”Samsul bangun sudah jam 07 pagi. kamu belum shalat subuh!” kata parman teman asramaku. Aku kaget.
”kenapa aku tidak di bangunkan?” marahku. Kecewa karna baru kali ini aku terlambat shalat tepat pada waktunya. Biasanya aku bangun 30 menit sebelum adzan subuh, Untuk melaksanakan shalat tahajjud terlebih dahulu.
”tadi sudah di banguni sama hilmi. Tapi kamu malah tidur lagi”.
aku baru ingat kalau semalam aku begadang sampai jam 02 pagi. Mungkin aku tidak sadar ketika mereka membangunkanku.
”kemana para pengurus kok tidak bangunin. Malah hilmi dan kamu yang bangunin aku. Apa pengurus-pengurus itu sudah melalaikan tugasnya membangunkan anak yang masih tidur?” sengitku. Biasanya kalau pengurus yang membanguni. aku pasti bangun. karna kalau sampai tiga kali dibanguni masih belum bangun juga maka rotan akan menjadi hidangan ter-pagi untuk sarapan para santri.
`”mereka semua sedang piket. Kamu tahukan, semalam ada istighotsah”.
Aku baru sadar sekarang tadi malam memang bertepatan malam jum’at kliwon. Bahkan aku juga baru ingat kalau aku juga lembur karna istighotsah itu.
Itulah pertama kali aku menunda shalat. Sampai akhirnya kebiasaan shalat telat telah menjadi rutinitasku sehari-hari bahkan sampai kebobolan shalat. Lalu shalat bolong-bolong. Di lanjutkan kebiasan shalat seingatnya dan ...
***
Aku di keluarkan dari pondok karna sering melakukan pelanggaran dan sering bolos sekolah. Aku baru menyadari kesalahanku. Aku takut ayahku akan murka. Bagaimana mungkin seorang kiai yang mengharuskan santrinya agar tidak melakukan pelanggaran dan menekankan wajibnya sekolah namun ternyata anaknya Sendiri tidak seperti itu. Pikiranku kalut. Pusing.
”Sul. kau di panggil kiai ke dalem” seru hamdi. Haddam kiai.
Aku beranjak dengan malas. Kenapa kiai masih memanggilku bukankah ia sudah mengusirku?.
Di emperan dalemnya kiai sudah menunggu dengan cerutu di jari-jemarinya. Sesekali beliau menyedotnya dalam-dalam.
”assalamu ’alaikum”
”waalaikum salam. Duduk sini”
aku melangkah sambil merunduk tapi agak terpaksa. Aku terpaksa menghormat.
”Kamu merasa dirimu paling hebat ya?” tanya kiai. Langsung ke poin dan anehnya itu belum pernah aku utarakan ke siapapun apalagi kepada kiai. Aku tertunduk.
”Kamu merasa amalmu paling banyak. Dan merasa yang paling berhak masuk surga”. Tambahnya.
”Terus karena kamu hafal al-Qur’an. Kamu lantas meremehkan mereka yang tidak menghafalnya. Begitu?”.
aku tambah bingung.
”apa kamu masih merasa paling baik. Padahal shalatmu sekarang sudah jarang-jarang?”. Kalau kamu masih merasa paling baik. Karna menghafal al-Qur’an. coba teruskan ayat ini”. Lalu beliau membacakan suatu ayat:
. وما ابرئ نفسي ان النفس لأمارة بالسؤ الا ما رحم ربي....... الاية “.
Aku mencoba untuk menjawabnya. Tapi kenapa ayat ini malah tidak tergambar di kepalaku. Padahal aku sudah menghafalnya di luar kepala. Kenapa? Apa karna aku sedang gugup?.
“Kamu ingat, kalau beberapa bulan ini kamu tidak pernah mengaji?”. kata kiai setelah lama aku tidak bisa menjawab. Ya memang aku sudah tidak pernah mengaji belakangan ini. Tapi sudah berapa lama. Aku tidak tahu.
”Amalanmu sudah kau tinggalkan. Hafalanmu sudah hilang. Kini apa yang kau andalkan?”.
aku baru tersadar kini, kalau aku sudah tidak ada apa-apanya lagi.
Tiba-tiba aku menangis. Menangisi semuanya. Menangisi keteledoranku. Dan kelemahanku. Aku menangis sejadinya. Hancur sudah cita-citaku. Dari kecil aku ingin menjadi hamba tuhan yang shaleh, Hafidz dan ’alim. Kini anganku hancur karena kecerobohanku sendiri
”tidak ada kiai. Aku tidak punya apa-apa lagi untuk di andalkan”. Jawabku sambil sesenggukan.
”Sul. Tuhanlah yang mengangkat derajat seseorang dan juga yang merendahkannya. Belum tentu yang sekarang taat keesokan harinya malah terjerumus dosa.. Begitu pula yang saat ini bergelimang dosa keesokan harinya malah bertaubat. Untung tidaknya manusia itu tergantung akhir hidupnya. Apa husnul khotimah ataukah su`ul khotimah. Semuanya tuhan yang menentukan. Seharusnya ketika kau sedang dalam keadan baik, Taat. kau bersyukur dan memohon supaya ditetapkan iman. Bukan malah takabbur. Tuhan akan membalik posisimu”.
”Kau lihat orang itu” tunjuk kiai pada orang gila yang sering mondar mandir di halaman pesantren. Aku mengangguk.
”Mungkin saja dia masih lebih baik darimu”.
Aku tercengang. Masih dengan mata sembab.
”Dia tidak ditaklif oleh Allah. Dia tak berdosa. Dan kalau ia mati dia tidak akan di hisab. Sedangkan kamu...”. lanjut kiai sambil menatapku dengan menyisakan kalimat yang menggantung. tapi aku dapat menerka kelanjutannya.
Ternyata sedemikian rendahnya aku. Selama ini aku terbuai dengan amalku sendiri. Aku terlena dengan ibadahku.
”Manusia itu tergantung hatinya, Sehebat apapun dia. Kalau hatinya baik maka seluruhnya baik demikian pula sebaliknya. Begitulah Kata nabi. Jadi kalau menilai bukan dari amal dzahirnya tapi dari hati”.
Aku tersentak. Aku kembali pada ’matematika’ pahalaku. teman-temanku ternyata lebih baik dariku. Mereka bersekolah. Mentaati peraturan. Tidak sepertiku. Juga mungkin santri-santri ayah yang begitu takdzim kepadanya.
***
Keesokan harinya aku pergi dari pondok. Aku merasa di lingkungan pesantren aku paling hina. Tidak di pondok ini, apalagi di rumah. belum di tambah cercaan ayah dan ibu kemudian di susul tetangga-tetanga yang mendengar keterusiranku atau bahkan santri yang terbiasa memanggilku Gus itu turut mencibirku.
Aku putuskan untuk segera pergi mencari orang yang lebih hina dariku. Karna aku akan sedikit lega bisa hidup di tengah-tengan orang yang lebih hina dariku. Aku lebih senang kalo aku lebih baik dari pada orang di sekitarku.
”Carilah orang yang lebih rendah darimu. Yang kau rasa lebih hina dari pada kamu. Orang yang kau anggap paling nista. lalu bandingkan dengan dirimu. Carilah celah kebaikannya. Juga teliti kejelekannya. Siapa tahu dibalik kejelakannya ternyata menyimpan sebuah kebajikan!”. tergiang pesan kiai semalam.
***
Aku di kejutkan seseorang yang lari tergesa-gesa ke arahku.
”Maling.......maliiing.. Kejaaarrr......” teriak orang-orang di kejauhan semakin mengejutkanku. Aku pikir orang inilah yang mereka teriaki maling. Karna kulihat ia sedang membawa karungan di pundaknya. Dan sekarang ia sudah dekat dengan tempatku berdiri. Sedangkan orang-orang yang mengejarnya belum kelihatan. Aku minggir ke tepi jalan. takut di tabraknya. Tapi malah ia mendekatiku.
”Mas tolong saya mas ya. Mas jangan beritahu orang-orang kampung ya. Aku mohon. Kalau tidak aku pasti mati. Saya akan ngumpet di tong itu”. Pintanya dengan nafas ngos-ngosan. Kemudian masuk ke tong sampah di belakangku.
Orang-orang yang mengejarnya sudah terlihat di tikungan jalan.
”Maling.... Maling.. Maling..”
”Kejar terus...Habisi... Bunuh...”
”Bakarrr........”
Aku bingung. Antara keinginan berlari sekencang-kencangnya atau malah ikut sembunyi. Tapi kedua-duanya tidak mungkin kulakukan karna sudah terlanjur dekat. sampai mereka sudah di depanku,
”Nah mungkin ini dia nih orangnya. Mau mencoba mengelabuhi kami dengan cara berganti pakaian”. Kata salah satu dari mereka.
”Ganyang...........” orang-orang mulai meringsek maju.
Kakiku kaku. Mulutku kelu hanya nganga lebar yang ada. Mungkinkah hidupku cukup sampai di sini. Di bawah amukan massa. Aku teringat amalku. Su`ul khotimahkah aku. Tuhan, jangan sekarang. Aku belum bertaubat.
”Tunggu”. Tiba-tiba seseorang maju. Menghalangi aksi buta teman-temannya.
”Kita jangan sampai salah orang. Malingnya tadi kurus. Dan botak. Nah ini agak gemuk dan tidak botak”.
Orang-orang mulai mundur. Memperhatikanku dengan teliti lalu manggut-manggut. untung mereka belum menyentuhku. Coba kalau misalnya saya sudah babak belur?. Apa cukup dengan minta maaf?
”Iya, sepertinya bukan dia orangnya” kata yang tadi meneriakkan ’Ganyang’ padaku
”kamu lihat orang yang lari lewat sini”. Tanya si penyelamatku.
”Tadi ia lari kearah sana” tunjukku ke suatu arah. Tapi dia sekarang sudah tidak lari lagi ke arah itu. Melainkan seedang bersembunyi di belakangku. di dalam tong. Lanjut hatiku. Aku tak ingin berbohong. Dan menjadi lebih hina ketimbang maling yang mereka kejar itu. Aku yakin aku lebih baik darinya.
Mereka pergi tanpa minta maaf terlebih dahulu. Setelah cukup jauh. Maling itu keluar.
”Makasih ya mas”.
Terima kasih?. Ah, Aku telah menolong orang dalam berbuat dosa. Yang imbasnya, aku juga telah berbuat dosa. Seperti perbuatannya. Mencuri.
”Kalau tidak ada mas mungkin aku sudah mati dikeroyok orang-orang tadi. Dan anak-biniku tidak bisa makan”. Sambil megulurkan suatu benda yang di ambil dari hasil curiannya. Sebagai terima kasihnya. Aku tidak menerimanya.
”jadi......... bapak mencuri karena terpaksa?”. kagetku
”Istriku hamil. Dan besok waktunya ia melahirkan. Anakku ada lima. Yang paling kecil sedang dirawat di rumah sakit, dan aku tidak punya uang. bahkan untuk sekedar makan sehari-hari aku harus banting tulang seharian”. Ternyata bapak ini mencuri karna memang sangat kepepet. Dia tidak bersalah. Mungkin juga tidak berdosa. Ia sangat membutuhkan uang untuk anak-bininya yang sakit. Jadi dia masih bisa memberikan alasan kepada tuhan, kenapa dia mencuri.
”aarrgghhh............. Aku lebih hinaaa........”. aku berlari. Sekuat tenaga.
Dan bapak itu melihat ulahku dengan tangan tetap terjulur memegang barang curian yang hendak di berikannya. Bingung.
***
Kali ini aku tinggal di kawasan lokalisasi pelacuran. Ini tempat maksiat, penuh dosa. Tidak ada ibadah, masjid, mushalla. Apalagi mengaji. Semua akses ritual keagamaan di blokir disini yang ada hanya Para pelacur dan lelaki hidung belang. Aku merasa akulah satu-satunya orang yang paling baik di sini. Yah, aku yakin sekali.
”Lisa. Kenapa kemarin kamu tidak ’dinas’?”. tanya perempuan dengan penampilan menor di antara kerumunan para lacur.
Aku menajamkan telinga. Berusaha menangkap obrolan mereka.
”Kamu tahu kan kalau anak saya kemarin sudah hatam ngaji ke pak ustadz. Jadi aku sibuk bikin jajanan buat selamettan”.
”Jadi si ahmad itu sudah hatam ngajinya ya. Selamat kalau begitu. Kalau anak saya, shaleh masih separuh katanya. He..eh”.
”Nah, si wawan, kakaknya shaleh katanya sudah lulus tsanawiyah dan mau mondok ya bu”. Balik lisa
”kalau mondok sih itu Cuma masih rencana. Karna selain masalah sandungan biaya. saya kadang agak pesimis. Anak pelacur kok di mondokkan. Ah, entah ya. Apa bisa?”.
”Kamu jangan berpikiran seperti itu. Kita semua meskipun pelacur. Masih mengharap anak-anak kita kelak jadi orang baik-baik. Pinter ngaji dan rajin ibadah. Lagi pula kita berada di sini juga karena terpaksa. Yang penting mereka tidak boleh tahu apa profesi kita yang sebenarnya. Biar mereka tenang mengaji dan sekolah. Iya kan”. Lalu di sambut anggukan kor teman-temannya.
Hah.... aku salah perhitungan. Ternyata mereka tidak sehina yang aku duga. Di balik kehinaan mereka terdapat kebajikan yang luar biasa. Bisa menyekolahkan anak-anaknya.
Mungkin sebab niat tulus dan do'a anak-anak mereka, Kemungkinan besar mereka akan taubat setelah anak-anak mereka dewasa lalu hidup secara baik-baik bersama. kemungkinan mereka bisa khusnul khotimah. Sedangkan aku, aku tak tahu akhir riwayatku kelak.
Seperti kesetrum listrik aku terlonjak dari tempat dudukku. Berdiri sambil meremas rambut yang agak gondrong. Lalu berlari, terus berlari ”Arrgghhhh....... aku lebih hina!”.
***
Aku meringkuk di balik tong sampah. Lelah. Aku paling hina. Aku terhina. Kata-kata itu terus tergiang di gendang telingaku. Membuat aku harus memegang keduanya rapat-rapat dengan telapak tanganku. Lelah Aku tertidur.
Klontang. Aku terbangun. ku lihat seorang pemuda sedang mabuk berat berjalan sempoyongan dengan botol minuman keras di tangannya.
Aku tersenyum. Ternyata masih ada yang lebih hina dariku.
Ia meracau tidak karuan. Tersandung.... ”astaghfirulloh” pekiknya. Mungkin di bawah alam sadarnya. Tapi cukup membuatku terkejut. Ia tersandung lagi. ”astaghfirulloh”. Lalu terbentur. ”astaghfirulloh”. Bangkit lagi. Berjalan. Terjatuh ”astaghfirulloh”.
”Kalau misalnya dia tersandung seratus kali, mungkin ia akan beristighfar seratus kali pula. Kalu lebih... ?”. Pikirku. Sekaligus meralat ucapanku tadi.
Kali ini aku menangis. Karna tak tahu lagi, akan berlari kemana. Semua orang lebih baik dariku. Tak ada Seorang pun yang lebih hina dariku. Aku terus menangis. terguling di samping tong sampah. Mungkin aku akan kembali ke pondok. Minta maaf ke kiai dan bertaubat. Ya muqallibal qulub tsabbitny 'ala dinik. Rabbana la tuzigh qulubana ba’da idz hadaytana.
Bahwa mulya dan hina adalah kehendak tuhan. Tanpa campur tangan manusia.
10. Jumadal Ula 1429 H.
Pernah dimuat di Buletin Ijtihad edisi 29
0 comments:
Post a Comment