Dalam
kamus, jiwa bisa bermakna ruh, nafs, spirit/semangat dan watak. Juga dalam
Al-Qur’an kalimat Nafs mempunyai beberapa makna. diantaranya adalah berarti
watak/ karakter manusia, Jiwa, Bahkan ada yang bermakna ruh.
Karakter dasar Jiwa
Manusia
pada dasarnya mempunyai kecendrungan berbuat jahat dan tidak terpuji, firman
allah
’’ان النفس لامارة بالسوء الا ما
رحم ربي (يوسف)
dengan arti bebasnya “Nafsu itu pada dasarnya selalu
mengajak pada kejelekan kecuali nafsu yang di berkahi”. juga dalam ayat lain
ولكم
فيها ما تشتهي انفسكم ولكم فيها ما تدعون ( فصلت – 31 )
Diantara Karakter dasar
manusia adalah sifat kikir. Firman allah
واحضرة
الانفس الشح ( النساء – 128 )
“walaupun anfus (manusia)
pada hakikatnya adalah kikir”. Karna memang tabiat manusia tak mau melepas
sebagian haknya kepada orang lain dengan seikhlas hatinya.. namun sebenarnya
tabiat buruk itu
bisa di lepas dan dihindari. Firman allah dalam surah al-hasyr
“ ومن يوق شح نفسه فالئك هم المفلحون”
artinya : ‘orang yang dijaga dari sifat pelit mereka
adalah orang-orang yang bearuntung’.
bahwa orang yang
selamat dari kikir itu masuk kategori orang yang beruntung karna dia berhasil
melepaskan diri dari pengaruh buruk jiwanya. juga allah menjelaskan beberapa
cara untuk bisa selamat dari sifat buruk tersebut diantaranya dengan melakukan
ritual shalat, bersedekah, sebagaiman firmannya :
ان الانسان خلق
هلوعا * اذا مسه الشر جزوعا * واذا مسه الخير منوعا * الا المصلين (المعارج –
19-22 )
Jiwa yang di patuhi
Al-busyiri
dalam qoshidah burdahnya mensifati naf`s sebagaimana anak kecil yang suka
menetek kepada ibunya yang kebiasaan itu akan terus berlangsung bahkan sampai
sang anak sudah besar dan berjenggot jika si ibu merasa tidak tega ketika
anaknya merengek dan menangis minta nyusu padahal anak tersebut sudah waktunya
di pisah. Syair beliau
“ والنقس كالطفل ان تهمله شب على* حب الرضاع وان تفطمه ينفطم ”.
Nafsu manusia tidak boleh terus di
turuti kemauannya, kita harus punya rem yang kuat untuk menahan gerak lajunya,
namun tidak lantas di kekang selamanya karna di saat tertentu nafsu itu perlu
dilepas bebaskan. Jadi saran beliau “fashrif…..” maka palingkanlah nafsu
itu”. Mengenai berpalingnya kearah mana itu terserah anda, bisa dengan
memalingkannya seratus delapan puluh derajat, dari mau menjadi tidak mau atau
mengarahkannya pada hal-hal lainnya yang di nilai berguna.
Jiwa yang celaka
Bila
karakter dan kemauan jiwa-jiwa itu di turuti maka status jiwa itu menjadi jiwa
yang celaka
“ ولا
اقسم بالنفس اللوامة (القيامة)”
dan
aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri), karna setiap perbuatan pastilah akan di pinta
pertanggung jawabannya,
كل نفس بما سبت
رهينة (المدثر – 38 )”
kalau jiwa itu sebelumnya melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan aturan tuhan maka jiwa itu pasti akan menyesal
Memerangi Jiwa
Dalam
sebuah perjalanan pulang dari peperang rasul bersabda kepada para shahabatnya
“ جئنا من جهاد الاصغر الى جهاد الاكبر ”
para shahabat yang mendengarnya pun kontan jadi
penasaran lantas bertanya “apa itu perang yang lebih dahsyat ya rasul?”.
“ جهاد
النفس ”
perang melawan nafsu kita, jawab rasul.
Perang melawan nafsu
bahkan lebih sulit dan berbahaya dari pada musuh yang menghunus pedang di depan
hidung kita. karna selain tidak tampak, nafsu merupakan bagian dari diri kita
atau istilahnya “musuh dalam selimut” jadi karna satu ‘selimut’ (tubuh) dengan
kita lantas kita merasa sulit memeranginya.
Pepatah mengatakan your
enemy your self “musuh terbesarmu adalah dirimu sendiri”. diri kita
memiliki beberapa kebiasaan yang bila kita palingkan begitu saja tentu akan
terasa sulit dan kurang sreg kalau misalnya kita absent untuk kegiatan tertentu
yang sebelumnya sudah menjadi rutinitas kita sehari-hari walaupun ternyata itu adalah
kebiasaan buruk.
Jiwa yang terkendali
Sabda nabi bahwa orang
kuat bukannya orang yang pandai bergulat tapi orang kuat itu adalah
“ الشديد
الذي يملك نفسه عند الغضب
”
orang yang bisa menundukkan,
menguasai nafsunya ketika emosinya memuncak. Nafsu yang dalam hadits di atas
berarti emosi, di sejajarkan dengan musuh yang kuat yang dalam membantingnya
butuh tenaga kuat, sehingga sang penakluk dikatakan orang yang kuat bahkan
mempunyai nilai lebih dari pada melawan “Kris jhon”.
Dalam
hadits lain disebutkan
“ الكيس من دان نفسه ”
orang pandai adalah orang yang bisa
menyoroti nafsunya (intropeksi diri). Juga di sebutkan dalam al-Qur’an tentang
orang yang bisa mencegah nafsunya dari ‘hawa’
“واما من خاف مقام ربه ونهى النفس عن الهوى” (النازعات – 40 )
“واما من خاف مقام ربه ونهى النفس عن الهوى” (النازعات – 40 )
Jiwa
yang Resah, Gelisah dan yang Rapuh
Temanku pernah mengatakan bahwa “para sufi sebenarnya
memiliki jiwa yang resah, gelisah dan jauh dari kata tenang. karna perumpamaan
kejiwaan yang mereka miliki seperti seseorang yang tengah berada di dalam widuk
kecil yang sedang terombang ambing oleh gelombang yang menggulung-gulung dan di
terjang angin topan yang mengganas di tengan samudra pasifik sementara keadaan
sekitar gelap gulita, pekat dan menakutkan". coba bayangkan siapa yang
tahan dengan keadaan separti ini?. tapi bukan berarti jiwa mereka luluh dan
Rapuh malah sebaliknya, jiwa mereka sangat Tegar dan penuh dengan Optimisme
tinggi kepada tuhannya.
Jiwa yang Tenang
“ العقل السليم في
الجسم السليم ”
Otak
yang Jernih berada dalam Jiwa yang tenang. tak dapat di pungkiri bahwa kalau
kondisi kita dalam keadaan stabil, prima dan segar, maka otak kita akan lebih
Jernih, peka dan tanggap tehadap berbagai problem dan tentunya jauh dari akut
dan error. dan ketenangan tersebut bisa diperoleh dengan berbagai cara, misalnya
dengan pernafasan yoga, pendinginan (relaksasi) otak, refresing atau dengan
mengalihkan kejenuhan pada hobi atau bisa dengan mendengarkan musik.
kalau anda bertanya. “mengapa para Mujahid sama
sekali tidak merasa takut pada kematian?, kenapa di wajah mereka tidak
sedikitpun tergambar bayang-bayang ketakutan? padahal jelas di depan mereka,
maut siap menerkam dan mencabik-cabik mereka. jawabnya mungkin sangat
sederhana, yaitu karena mereka tidak melihat kematian yang siap melumat mereka,
tapi di belakang itulah syurga menunggu, di baliknya para bidadari menanti
mereka dengan penuh kerinduan. itulah sebabnya, dan perasaan semacam itu bisa
di raih bila hati merasa mantap(yaqin), dan kemantapan itulah yang di sebut dengan
keteguhan iman. di akhir surah annisa’ allah menggambarkan
“ الذين قال لهم الناس ان الناس قد جمعوا لكم فاخشوهم
فزادهم ايمانا وقالوا حسبنا الله ونعم الوكيل ”.
jadi, mereka sangat
mengharapkan kematian yang terhormat itu, dan sejatinya mereka menginginkan
ketenangan yang bakal di peroleh pasca kematian itu, yang disebut-sebut dengan
Jiwa yang Tenang
“ياايتهاالنفس
المطمئنة” Jiwa ang kembali pada
rengkuhan tuhannya dengan senyum lebar
Jiwa
yang terjaga
“ان
كل نفس لما عليها حافظ” (الطارق 4) “tidak ada suatu jiwa pun
(diri) melainkan ada pengawasnya”.
0 comments:
Post a Comment