Wednesday, July 25, 2012

JIWA, dan Gejala-Gejala Kejiwaan


Antara Jiwa, Nafsu dan Ruh

            Dalam kamus, jiwa bisa bermakna ruh, nafs, spirit/semangat dan watak. Juga dalam Al-Qur’an kalimat Nafs mempunyai beberapa makna. diantaranya adalah berarti watak/ karakter manusia, Jiwa, Bahkan ada yang bermakna ruh.



Karakter dasar Jiwa

            Manusia pada dasarnya mempunyai kecendrungan berbuat jahat dan tidak terpuji, firman allah

 ’’ان النفس لامارة بالسوء الا ما رحم ربي (يوسف)

dengan arti bebasnya “Nafsu itu pada dasarnya selalu mengajak pada kejelekan kecuali nafsu yang di berkahi”. juga dalam ayat lain

 ولكم فيها ما تشتهي انفسكم ولكم فيها ما تدعون ( فصلت – 31 )

            Diantara Karakter dasar manusia adalah sifat kikir. Firman allah

 واحضرة الانفس الشح ( النساء – 128 )

 “walaupun anfus (manusia) pada hakikatnya adalah kikir”. Karna memang tabiat manusia tak mau melepas sebagian haknya kepada orang lain dengan seikhlas hatinya.. namun sebenarnya tabiat buruk itu bisa di lepas dan dihindari. Firman allah dalam surah al-hasyr

 “ ومن يوق شح نفسه فالئك هم المفلحون

artinya : ‘orang yang dijaga dari sifat pelit mereka adalah orang-orang yang bearuntung’.

 bahwa orang yang selamat dari kikir itu masuk kategori orang yang beruntung karna dia berhasil melepaskan diri dari pengaruh buruk jiwanya. juga allah menjelaskan beberapa cara untuk bisa selamat dari sifat buruk tersebut diantaranya dengan melakukan ritual shalat, bersedekah, sebagaiman firmannya :

ان الانسان خلق هلوعا * اذا مسه الشر جزوعا * واذا مسه الخير منوعا * الا المصلين (المعارج – 19-22 )



Jiwa yang di patuhi

            Al-busyiri dalam qoshidah burdahnya mensifati naf`s sebagaimana anak kecil yang suka menetek kepada ibunya yang kebiasaan itu akan terus berlangsung bahkan sampai sang anak sudah besar dan berjenggot jika si ibu merasa tidak tega ketika anaknya merengek dan menangis minta nyusu padahal anak tersebut sudah waktunya di pisah. Syair beliau

والنقس كالطفل ان تهمله شب على*  حب الرضاع وان تفطمه ينفطم  ”.

Nafsu manusia tidak boleh terus di turuti kemauannya, kita harus punya rem yang kuat untuk menahan gerak lajunya, namun tidak lantas di kekang selamanya karna di saat tertentu nafsu itu perlu dilepas bebaskan. Jadi saran beliau “fashrif…..” maka palingkanlah nafsu itu”. Mengenai berpalingnya kearah mana itu terserah anda, bisa dengan memalingkannya seratus delapan puluh derajat, dari mau menjadi tidak mau atau mengarahkannya pada hal-hal lainnya yang di nilai berguna.



Jiwa yang celaka

Bila karakter dan kemauan jiwa-jiwa itu di turuti maka status jiwa itu menjadi jiwa yang celaka

 “ ولا اقسم بالنفس اللوامة (القيامة)

dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri),     karna setiap perbuatan pastilah akan di pinta pertanggung jawabannya,

 كل نفس بما سبت رهينة (المدثر – 38 )

 kalau jiwa itu sebelumnya melakukan hal-hal yang bertentangan dengan aturan tuhan maka jiwa itu pasti akan menyesal





Memerangi Jiwa

            Dalam sebuah perjalanan pulang dari peperang rasul bersabda kepada para shahabatnya

جئنا من جهاد الاصغر الى جهاد الاكبر

 para shahabat yang mendengarnya pun kontan jadi penasaran lantas bertanya “apa itu perang yang lebih dahsyat ya rasul?”.

 “ جهاد النفس perang melawan nafsu kita, jawab rasul.

Perang melawan nafsu bahkan lebih sulit dan berbahaya dari pada musuh yang menghunus pedang di depan hidung kita. karna selain tidak tampak, nafsu merupakan bagian dari diri kita atau istilahnya “musuh dalam selimut” jadi karna satu ‘selimut’ (tubuh) dengan kita lantas kita merasa sulit memeranginya.

Pepatah mengatakan your enemy your self “musuh terbesarmu adalah dirimu sendiri”. diri kita memiliki beberapa kebiasaan yang bila kita palingkan begitu saja tentu akan terasa sulit dan kurang sreg kalau misalnya kita absent untuk kegiatan tertentu yang sebelumnya sudah menjadi rutinitas kita sehari-hari walaupun ternyata itu adalah kebiasaan buruk.



Jiwa yang terkendali

            Sabda nabi bahwa orang kuat bukannya orang yang pandai bergulat tapi orang kuat itu adalah

  الشديد الذي يملك نفسه عند الغضب

orang yang bisa menundukkan, menguasai nafsunya ketika emosinya memuncak. Nafsu yang dalam hadits di atas berarti emosi, di sejajarkan dengan musuh yang kuat yang dalam membantingnya butuh tenaga kuat, sehingga sang penakluk dikatakan orang yang kuat bahkan mempunyai nilai lebih dari pada melawan “Kris jhon”.

            Dalam hadits lain disebutkan

الكيس من دان نفسه

orang pandai adalah orang yang bisa menyoroti nafsunya (intropeksi diri). Juga di sebutkan dalam al-Qur’an tentang orang yang bisa mencegah nafsunya dari ‘hawa’
واما من خاف مقام ربه ونهى النفس عن الهوى”       (النازعات – 40 )



Jiwa yang Resah, Gelisah dan yang Rapuh

            Temanku pernah mengatakan bahwa “para sufi sebenarnya memiliki jiwa yang resah, gelisah dan jauh dari kata tenang. karna perumpamaan kejiwaan yang mereka miliki seperti seseorang yang tengah berada di dalam widuk kecil yang sedang terombang ambing oleh gelombang yang menggulung-gulung dan di terjang angin topan yang mengganas di tengan samudra pasifik sementara keadaan sekitar gelap gulita, pekat dan menakutkan". coba bayangkan siapa yang tahan dengan keadaan separti ini?. tapi bukan berarti jiwa mereka luluh dan Rapuh malah sebaliknya, jiwa mereka sangat Tegar dan penuh dengan Optimisme tinggi kepada tuhannya.



Jiwa yang Tenang

            “ العقل السليم في الجسم السليم

 Otak yang Jernih berada dalam Jiwa yang tenang. tak dapat di pungkiri bahwa kalau kondisi kita dalam keadaan stabil, prima dan segar, maka otak kita akan lebih Jernih, peka dan tanggap tehadap berbagai problem dan tentunya jauh dari akut dan error. dan ketenangan tersebut bisa diperoleh dengan berbagai cara, misalnya dengan pernafasan yoga, pendinginan (relaksasi) otak, refresing atau dengan mengalihkan kejenuhan pada hobi atau bisa dengan mendengarkan musik.

            kalau anda bertanya. “mengapa para Mujahid sama sekali tidak merasa takut pada kematian?, kenapa di wajah mereka tidak sedikitpun tergambar bayang-bayang ketakutan? padahal jelas di depan mereka, maut siap menerkam dan mencabik-cabik mereka. jawabnya mungkin sangat sederhana, yaitu karena mereka tidak melihat kematian yang siap melumat mereka, tapi di belakang itulah syurga menunggu, di baliknya para bidadari menanti mereka dengan penuh kerinduan. itulah sebabnya, dan perasaan semacam itu bisa di raih bila hati merasa mantap(yaqin), dan kemantapan itulah yang di sebut dengan keteguhan iman. di akhir surah annisa’ allah menggambarkan

 “ الذين قال لهم الناس ان الناس قد جمعوا لكم فاخشوهم فزادهم ايمانا وقالوا حسبنا الله ونعم الوكيل.

jadi, mereka sangat mengharapkan kematian yang terhormat itu, dan sejatinya mereka menginginkan ketenangan yang bakal di peroleh pasca kematian itu, yang disebut-sebut dengan Jiwa yang Tenang

ياايتهاالنفس المطمئنة     Jiwa ang kembali pada rengkuhan tuhannya dengan senyum lebar



Jiwa yang terjaga

            ان كل نفس لما عليها حافظ” (الطارق 4) tidak ada suatu jiwa pun (diri) melainkan ada pengawasnya”.

             


0 comments:

Post a Comment