Al-Kautsari
mengatakan "Bahwa Asy'ari ada di (tengah) antara Muktazilah dan Muhadditsin.
sedangkan Maturidi ada di (tengah) antara Muktazilah dan Asya'irah".
Analisis al-Kautsari di atas, kalau kita lihat sekelumit akan
memberikan pahaman bahwa keduanya berbeda. Padahal paham aqidah Ahlu sunnah
adalah hasil kawin silang dari kedua paham ini. Lalu bagaimana bisa keduanya
bisa di korelasikan dengan begitu sempurna. Asy'ari, ya Maturidi. Maturidi, ya
Asy'ari.
Perbedaan
Asy'ari-Maturidi
Asy’ari hidup di Bashrah sedangkan Maturidi menetap di Samarqand.
Keduanya hidup semasa. Asy’ari muncul di tengah-tengah sengitnya perdebatan
Muktazilah dengan Muhadditsin. Dan Asyari lebih cendrung pada pola pikir
Muhadditsin yang mengedepankan Naql (al-Qur'an dan Hadits) dari pada ‘aql
(ra’yu). Bedanya beliau tidak serta merta menolak ‘aql secara serampangan,
sebagaimana Muhadditsin kala itu. Pun pula beliau menolak bila ‘Aql lebih di
dahulukan dari pada Naql, seperti ciri khas Muktazilah. Asyari mengangap suatu
hal yang di cetuskan akal tapi tidak ada perintah (Imbauan) dari syara'
tidaklah baik.
Metode (Manhaj) Asy'ari adalah bayang dari metode Imam Ahmad bin
Hambal. Asy'ari meneruskan pola fikir imam Ahmad, yang lebih mengedepankan Naql
dari pada ra'yu (Akal).
Sedangkan pola pikir Maturidi oleh Para
ulama di nyatakan sebagai buah cabang (bagian) dari pemikiran Imam Abu Hanifah,
pendiri madzhab Hanafi. Yang lebih di dominasi Ra'yu karena memang Maturidi berhaluan
madzhab Hanafi.
Ulama juga menilai bahwa pendapat Maturidi lebih condong (Mirip) pada
Muktazilah (Yang rasional tulen) dari pada pendapat Fuqaha dan Muhadditsin
(Yang murni Naql dan sangat anti ra'yu).
Maturidi lebih bertendensi pada akal (Ra'yu), namun tetap
mengharuskan adanya petunjuk dari syara', Maturidi lebih menekankan nalar
pikiran (Rasional), walaupun nyatanya beliau tidak lepas tangan dari Naql.
berbeda dengan Muhadditsin yang mengharuskan bertendensi pada Naql, dan menutup
jalan bagi selain Naql.
Oleh karena itu, para ulama menyimpulkan, kalau ada empat aliran
ketika itu; Muhadditsin dan Fukaha yang murni bertendensi pada Naql. Muktazilah
yang lebih dominan terhadap Aql. Lalu di tengah keduanya, adalah Asy’ariyah dan
Maturidiyah, namun Asy’ari lebih dekat (condong) ke Muhadditsin. sedangkan
Maturidi lebih condong ke muktazilah.
Kecendrungan Maturidi terhadap Muktazilah itu terlihat dalam kemiripan
Maturidi dengan Muktazilah dalam membahas Al-Qur'an. Muktazilah menvonis Al-Qur'an
adalah Makhluk dan Maturidi menyebut Hadits (Baru), hampir sama dengan Muktazilah
(Makhluk-Hadits) hanya saja beliau tidak sampai mengatakan kalau Al-Qur'an itu Makhluk.
Berbeda dengan Asy'ari yang menegaskan bahwa Al-Quran itu Qadim (kekal).
Mengenai masalah ini ulama menengai bahwa perbedaan Asy'ari-Maturidi
di sini hanyalah Lafdzy (Penyebutannya saja berbeda tapi substansinya tetap
sama) karena ternyata Maturidi mengarahkan bahwa yang di maksud Al-Qur'an
Hadits adalah Mushaf yang tercetak seperti masa sekarang yang terdiri dari
lembaran-lembaran dan tulisan yang baru (hadits). Sedangkan
Muktazilah tidak demikian.
Namun begitu, Para ulama sepakat
mengatakan kalau perbedaan pendapat Asy’ari-Maturidi tidaklah begitu besar. Kata
Muhammad Abduh perbedaann keduanya tidak lebih dari sepuluh masalah saja. bahkan
kesemuanya bisa di korelasikan dengan baik karena sebenarnya perbedaan di
antara keduanya hanyalah Lafdzy saja. Sehingga tidak bertentangan satu
sama lain.
Vonis
terhadap Ghazali
Setelah masa Asy'ariyah, muncul beberapa kelompok aliran,
diantaranya adalah para pendukung madzhab Asyari yang terlalu fanatik. Mereka di
ketuai oleh Abu Bakar al-Baqilani,
beliau mengatakan "Tidak boleh mengikuti apa yang tidak di tetapkan dalam
Muqaddimah(start)nya madzhab Asy'ariyah untuk mencapai Nataij (tujuan/finis)
dari Madzhab yang sama".
Kelompok ini mewajibkan agar pendapat Asy'ari diikuti secara
keseluruhan (luar-dalam) mulai dari Muqaddimahnya sampai Nataij yang di capainya.
Tidak boleh mengambil setengah-setengah, Mukaddimahnya saja, atau Nataijnya saja.
apalagi tidak mengikuti metode Asy'ariyah sama sekali. Toh sekalipun hasil (Nataij)nya
nanti sama. Pendapat ini jelaslah memberatkan. karena bisa saja Mukaddimahnya berbeda
tapi Nataijnya sama. Tidak menutup kemungkinan, Jalan yang di lewati berbeda
namun tujuan dan hasilnya sama.
Kelompok yang ke dua adalah mereka yang hanya mengadopsi Nataij dari
Asy'ari namun Mukaddimahnya berbeda. Mereka memulai sendiri Mukaddimahnya
bahkan menambah dalil-dalilnya dan hasilnya ternyata sama dengan Nataij yang di
hasilkan melalui metode Asy'ari. Diantaranya adalah Imam al-Baidlawi, al-Jurjani
dll.
Al-Ghazali Juga termasuk kelompok yang kedua ini. Al-Ghazali secara
terang-terangan tidak mengikuti madzhab Asyari dan Al-Maturidi, beliau
menentang mereka yang mewajibkan ikut madzhab Asy'ari apalagi secara
keseluruhan, oleh karena itu beliau di cap Kufur dan Zindik oleh kelompok
pertama.
Al-Ghazali pun menjawab mereka yang menuduh beliau kufur hanya
karena tidak beraliran Asy'ariyah, lewat bukunya Attafriqah Baina al-Islam
Wa al-Zindiqiyah. Beliau mengatakan "Kalian menvonis mereka yang
bertentangan dengan Asyari walau hanya sehelai rambut, dengan kata Kufur. Orang
yang menyangsikan pendapat Asy'ari walau
Cuma sebutir kalian cap dengan sesat lagi merugi. tanyakan pada dirimu sendiri
dan tanyakan juga pada temanmu. Carilah tahu, sebatas mana kufur itu?. Kalau
mereka mengukur kufur itu sebatas orang yang tidak mengikuti Asy'ari-Maturidi atau
Hambali dan lain-lainnya maka ketahuilah bahwa ukuran seperti itu sangatlah menipu
dan bodoh".
Al-Ghazali mempunyai pemikiran yang berbeda yang terbebas dan tidak
terbelenggu oleh pemikiran dua ulama besar itu, Namun nyatanya pendapat Beliau
hampir seluruhnya sama dengan pendapat kedua Imam itu. Sama sekali tidak ada
yang bertentangan.
Satu
tujuan
Kalau
kita kembali lagi ke proses awal. Pemikiran Asy'ari muncul karena beliau kecewa
dan banyak berbeda pendapat dengan al-Jubai, Gurunya yang beraliran Muktazilah.
Permasalahan Al-Maturidi pun hampir serupa. Sedangkan al-Ghazali mempunyai
pemikiran sedemikian rupa karena dalam rangka menolak sebuah pemikiran dari
al-Baqilani yang menurut beliau kurang logis dan terburu-buru.
Asy'ari, al-Maturidi dan al-Ghazali sekalipun mempunyai berbagai
macam corak dan pola pikir yang berbeda. Dan pemikiran mereka juga berangkat
dari start yang berbeda. Namun tujuan mereka sama dan tidak bertentangan satu
sama lain. Sama halnya dengan Imam kita yang empat, yang mempunyai ciri khas
masing-masing dalam berijtihad. (Wallahu a’lam)
[Referensi
sepenuhnya dari kitab Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah hal. 163-209]
0 comments:
Post a Comment