Tuesday, July 17, 2012

Cinta Sang Bidadari


“Astaghfirullah….!” Aku tersentak dari tidurku. Jam beker mungil dekat kepalaku menunjukkan angka 08:15 WIB. Aku sudah terlambat untuk mengikuti materi kuliah pagi ini.
Semalam aku berkutat dengan komputerku yang rusak. Virus yang bersarang itu hampir saja memusnahkan semua data-dataku. Aku baru bisa tidur jam 03:00 pagi. Saat adzan subuh aku dipaksa bangun oleh jam bekerku yang berteriak nyaring dekat telinga. Setelah menunaikan kewajiban subuh, aku kembali terlelap. Namun aku lupa menyetel kembali jam bekerku ke angka 07:00
Cepat aku melompat ke kamar mandi. Hanya berwudlu. Lalu merapikan penampilan sebentar,dan tak lupa memakai kaca mata. Lalu cepat bergegas menyapa sepeda motor bututku. Motor keluaran tahun 70-an itu terbatuk beberapa kali ketika kustarter, sampai akhirnya ia mau juga diajak kompromi. Motor itu mengaum dengan keras, memekakkan telinga.
Menaiki sepeda ini, kadang aku merasa risih juga ketika dilirik teman-temanku dari kaum hawa. Walaupun aku sendiri tidak bisa mengartikan dengan pasti, apa arti lirikan itu.
“Apa kamu tidak merasa harus memperbaiki penampilanmu?” kata Doni suatu hari, sambil memperhatikan setiap lekuk body motorku dengan teliti.
“Coba kalau kamu mau sedikit berbenah, pasti para lelembut itu akan berebut untuk kau bonceng. Dengan tampang oke kamu itu, kamu bisa mengoleksi lelembut yang kamu sukai. Apa kamu tahu, kalau mereka itu hanya agak risih dengan penampilan motormu ini saja?. So, kenapa kamu tidak mengganti tahun 70-an dengan yang keluaran baru?. Bukankah kakakmu seorang juragan besi yang kaya raya?,” terang Doni yang suka menyebut-nyebut para mahasiswi dengan lelembut.
Pernah aku bertanya alasan dia menyebut mereka dengan lelembut. “Karena mereka memang lembut-lembut,” jawabnya sambil menyeringai, lalu tertawa keras.
“Justru karena itu, aku tidak ingin ada cewek yang minta tumpangan. Apalagi dengan alasan yang bisa membuatku harus memenuhi permintaannya. Aku tidak mau membonceng lelembut. Takut digigit,” jawabku dengan senyum kecil.
Doni menatapku heran. Dari matanya, mungkin hatinya sedang menggumam; Takut sama lelembut? Tidak normal orang ini barangkali.
“Tenang ko’, aku masih normal,” lanjutku diiringi tawa dan tepukan pada pundaknya. Doni ikut tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Aku larikan motorku dengan kecepatan maksimal yang ia miliki, 90 km/jam menuju gedung fakultas yang lumayan jauh dari tempat kosku. Butuh waktu ½ jam untuk sampai ke sana.
Di pintu gerbang, senyum hangat pak satpam menyapaku, “Bangun kesiangan lagi ya, Mas Dani?.”
Pak Kohar, satpam kami yang santun. Badannya tegap. Dulu semasa mudanya, beliau suka angkat beban. Sehingga badannya sehat dan berotot. Kumisnya melintang lebat di atas bibir hitamnya menyembunyikan sikap santunnya dan membuat penampilannya terlihat garang. Membuat dirinya, selaku petugas keamanan di sini disegani dan ditakuti. Tapi bagi mereka yang sudah mengenal beliau dengan baik, maka akan lebih melihat sisi lemah lembut dari dirinya. Seperti aku ini misalnya.
“Iya, Pak. Gara-gara semalam suntuk betulin komputer yang rewel,” aku memberi alasan.
“Oo… komputer ono’ seng rewel pisan toh, mas,” katanya sambil bersungut-sungut.
Aku hanya tersenyum geli dengan keluguannya.
“Udah masuk sana! Biar sini bapak yang markirin motornya. Nanti Mas dimarahi lagi sama bapak dekan lho.” Lalu dengan lembut dan agak memaksa, pak Kohar mengambil alih motorku kemudian menuntunnya pelan ke tempat parkir
“Makasih banyak, Pak” ucapku, lalu segera berlari ke ruang kuliah, memburu waktu yang tersisa pagi ini.
***
“Assalamu’alaikum,” sambil tertunduk aku berdiri di ambang pintu. Malu pada bapak Fauzi, dosen bahasa inggris yang terkenal santun itu.
“Wa’alaikum salam,” pak Fauzi menjawab salamku setelah beliau menghentikan sejenak materi kuliah yang ia sampaikan. Walaupun wajahku memandang lantai, tapi aku bisa membayangkan wajah teman-temanku saat ini. Pasti kesal karena keasyikan belajar mereka jadi terhenti karenaku.
“Ok Dani, sit down please!,” bijak beliau mempersilahkan. Tak ada rumus tindakan dalam kamusnya. Bahkan, marah pun jarang terlihat dari wajah yang senantiasa berhiaskan senyum itu.
Thank’s, Sir!” dengan menunduk, aku melenggang masuk dan langsung menuju tempat dudukku di baris paling depan sebelah kanan.
Duduk paling depan adalah keharusan bagiku, karena aku tidak mau mengambil resiko dengan tidak melihat dengan jelas oret-oretan dosenku. Mataku minus hampir 300, membuatku harus memakai kacamata yang lumayan tebal.
Namun tiba-tiba langkahku terhenti. Mataku sedikit melotot, pikiranku mencoba untuk sadar. Ada gadis cantik dengan kerudung orange yang tak kukenal, sedang duduk manis di kursiku.
Ia tadinya juga terlihat kaget saat aku berhenti tepat di depannya. Ia balas mentapku aneh, tapi kemudian ia menunduk. Entah malu atau bagaimana, tapi yang pasti teman-temanku tidak ada yang pakai jilbab seperti ini. “Mungkin aku salah masuk ruang,” pikirku bingung.
Namun setelah aku sapukan pandanganku ke seluruh isi ruangan, ternyata tidak. Aku tidak salah masuk ruang. Semua peserta yang hadir adalah teman-temanku satu angkatan. Ada Rosi, Linda, Shofi, Hasan, Afnan, Alan, Alda, Dian, Dewi …ah, lalu gadis ini siapa? Di tempat dudukku lagi.
“Dani. Sit down here,” Afnan menawariku tempat duduknya yang tepat berada di samping kiri tempat dudukku, atau tepatnya di samping gadis ini duduk, hanya dengan sekat jalan untuk lewat.
Afnan berdiri, lalu pindah ke satu-satunya bangku kosong yang tersisa di bagian belakang. Mungkin ia mengerti kalau aku tidak mungkin duduk di bangku paling belakang itu, karena mataku minus.
Thank’s,” ucapku sambil beranjak ke tempat duduknya.
OK everybody. Let’s continue our discuss today, about Management,” lanjut pak Fauzi tetap bersemangat.
Aku sudah tidak bisa konsentrasi lagi pada paparan cerdas pak Fauzi, dosen favoritku itu. Padahal biasanya, akulah yang paling bersemangat mengikuti materi kuliahnya. Namun kali ini konsentrasiku buyar, gadis itu penyebabnya.
Akhirnya pelajaran usai, bapak Fauzi mengundurkan diri setelah  mengakhiri dengan salam. Tapi sayangnya, materi pagi ini menyisakan tanda tanya besar bagiku. “Who is the girl?.”
***
 “Dani” seru Rosi tiba-tiba ketika aku sedang asyik menikmati sarapan nasi pecel di warung pak Hasan. Nafasnya terengah-engah, hidungnya yang bangir terlihat kembang-kempis.
“Gawat, Dan,” lanjutnya melabrakku.
“Emangnya setan mana yang ngejar kamu, Ros? Masak kalah serem sama setan sih?,” ku lihat ia masih susah mengatur nafas.
“Nih, minum dulu,” tawarku sambil menyodorkan teh hangat yang sedari tadi belum aku sentuh. Rosi memungutnya.
“Makasih ya Dan,” katanya langsung meneguk habis teh hangatku, membuatku harus melototinya.
“Emang ada apaan sih, kok kamu sampai segitunya?,” tanyaku penasaran.
“Nella nangis Dan,” bisiknya di telingaku.
“Ah, Nella yang mana? Adikku namanya Zella kok, bukannya Nella. Lagian mana mungkin tangisnya kedengaran sampai ke sini. Sekolahnya kan di SDN, di desa lagi. Bukannya di Surabaya sini. Ih ngaco kamu.”
“Ih.. itu lho, mahasiswi baru yang barusan duduk di bangkunya kamu. Cewek cakep yang pake kerudung itu, masak kamu lupa sih?.”
“Hah, ada apa dengannya?. Kenapa dia sampai nangis?,” tanyaku antusias dan langsung berdiri. “Ayo kita kesana. Dan sambil jalan, kamu ceritakan kenapa dan mengapanya.”
Kami berjalan beriringan sambil tergesa-gesa menuju kelas.
“Tadi pas kamu keluar, temen-temen semua pada pengen kenalan sama mahasiswi baru itu. Emang sih, pak dosen sudah memperkenalkan dia waktu pertama kali masuk, kalau cewek itu namanya Nella dan dia mahasiswi pindahan. Tapi biasanya kan gitu, temen-temen pengen kenal satu persatu. Tidak cuma cewek, para cowok pun nggak mau ketinggalan. Tapi pas bagian cowok, Nella nggak nyambut uluran tangan mereka. Dia cuma ngelipat kedua tangannya di depan dada sambil nyebutin nama. Teman-teman mungkin aja tersinggung diperlakukan kayak gitu. Soalnya selama ini mereka kan kalo kenalan ya pake jabat tangan gitu. Masak tangannya dibiarkan terkatung di udara, kan nggak ngehargain namanya. Akhirnya teman-teman sama mencemooh dia. Bahkan ada yang sampai mengatainya dengan kasar,” terang Rosi panjang lebar. Sesekali ia berusaha mensejajarkan langkahnya denganku.
Setibanya di depan pintu, teman-teman sudah bubar. Di dalam kulihat Nella menelungkupkan wajahnya ke meja. Bahunya sedikit berguncang menahan isak tangis. Di sampingnya, Alda sedang menghiburnya agar sabar. Ketika melihat kami hendak masuk, Alda memberi isyarat agar kami meninggalkan mereka. Kami pun melangkah kembali ke warung, hendak meneruskan sarapan yang tertunda.
“Kasihan ya,” Rosi angkat bicara. “Padahal dia kan baru pindah, kalo nggak kerasan nanti dia bisa minta pindah lagi.”
“Bukankah dulu aku juga bersikap seperti itu, seperti sikap Nella tadi,” aku coba protes. Soalnya dulu aku juga mendapat banyak uluran tangan dari para gadis-gadis, dan dengan halus aku menolak jabatan tangan-tangan halus itu. Dan mereka tidak marah, tapi sekarang kok…?
“Kamu sih lain ceritanya. Soalnya sekalipun cewek-cewek kampus ini nggak bisa lo ajak salaman, tapi lo tetep aja bisa ngakrab sama mereka. Walaupun akrab yang tetep jaga jarak, he… he… he…” Rosi melirikku sejenak, dan sambil memperhatikan penampilanku ia kembali berkomentar.
“Lo itu ya, walaupun dengan dandanan ala kadarnya, bahkan kadang juga sedikit acak-acakan. Tapi tampang lo itu potongan seorang ustadz, model orang alim gitu. Apalagi dengan jenggot tipis plus kacamata itu, wuih…bikin cewek agak sungkan kalo ngajak lo pacaran, ha..ha..” kali ini ia tertawa lebar, aku diam aja. Pinter juga orang ini kalau nyindir, gumamku tak habis pikir.
“Den Bagus,” sapa pak Hasan tiba-tiba dari depan warungnya dengan senyuman khasnya. Aku membalas senyuman itu.
“Tadi pesanan Aden belum dibayar,” katanya dengan kalem.
Aku nyengir. ternyata bukan hanya sekedar sapaan, tapi juga tagihan. He..he..he...
***
Aku bergegas masuk musholla. Aku lupa belum melaksanakan shalat sunnah Dluha. Tapi langkahku terhenti ketika kulihat di dalam Nella sedang duduk bersandar ke dinding. Matanya terpejam, bibir mungilnya terlihat bergerak-gerak, dan samar-samar suara alunan kalam-kalam Ilahi mendayu merdu di telingaku. Semakin aku melangkah masuk, semakin jelas di telingaku surat Yusuf yang dilantunkan Nella dengan nada bayati qarar itu.
Kemudian seakan aku terbawa arus, hanyut ke beberapa abad silam, menyaksikan Nabi Yusuf yang digoda habis oleh Zulaikha. Belum puas aku menikmati dan menyelami keindahan ayat-ayat al-Qur’an, tiba-tiba lantunan itu terhenti.
Jayyidah, Fashihah. Teruskan Yusuf-nya Ukhti…!,” pintaku.
Kulihat ia menatapku heran. Mungkin ia terkejut karena mengetahui surah apa yang ia baca.
Antum hafidz juga Akhi?.”
Aku tersenyum dan mengiyakan dengan sedikit anggukan. Nella tersenyum. Lesung pipit di kedua pipinya nampak indah. Lalu, tiba-tiba dengan perlahan wajah manis itu merona kemerahan kemudian tertunduk malu. Aku jadi salah tingkah.
“Maaf,” sesalku. Kemudian entah mengapa kakiku langsung berbelok dan melangkah keluar. Ketika akhirnya aku tersadar… Ya Allah..! aku kan hendak melaksanakan shalat Dluha. Gimana ya..? masak balik lagi?
“Kenapa Akhi?,” tegur Nella dari dalam. Mungkin dia melihatku kebingungan di tangga mushalla.
“Saya lupa belum ambil air wudlu’,” kilahku. Padahal wudlu’-ku belum batal.
Nella berdiri di pintu, “Kalau begitu, saya ke kelas duluan Akhi,”
“Maaf ya,” sesalku. Aku telah mengganggu ngajinya.
“Tak apa, aku bisa melanjutkannya di kelas sambil menunggu dosen masuk. Oh iya, yang khusuk ya shalatnya.”
Aku tertegun. Bisakah aku khusuk dalam shalatku? Di luar shalat saja pikiranku sudah kacau. Ya Allah... bersihkan hatiku.
***
 “Gool…..!“ Aku berteriak. Teman-teman dan supporter bersorak, tendangan saltoku membobol gawang kesebelasan mahasiswa jurusan lain. Skor 3-1 sudah cukup menunjukkan bahwa kemenangan ada di pihak kami, sebelum akhirnya peluit panjang dari wasit mengakhiri pertandingan persahahatan antar mahasiswa tiap jurusan yang digelar pihak UKM dalam rangka menyambut harlah kampus kami.
Tim kami pun dengan bangganya melambai-lambaikan tangan ke arah penonton yang lumayan tidak sedikit itu, temanku ada yang berlari mengelilingi lapangan, lalu sambil berangkulan kami beriringan menuju teman-teman lain yang menunggu dan mensupport kami dari sudut lapangan.
Nella menyambutku dengan senyumnya yang menawan. “Nih, minum dulu biar segar.” Ia menyodorkan botol air mineral. “Selamat ya! Aku nggak nyangka seorang hafidz juga jago main sepak bola.”
 Thanks Ya.” Langsung kuteguk habis minuman darinya setelah membaca basmalah terlebih dahulu.
“Para sahabat, yang memorinya menyimpan Kalamullah dan ribuan sabda Nabi, juga pandai berlaga di medan perang. Hafid itu tidak harus identik dengan sikap santunnya saja kan? Tapi juga harus enerjik dan prima,” kataku sok.
“Tapi....” Kata-katanya terputus. Membuatku penasaran.
“Ada yang salah?,” tanyaku hati-hati, takut kalau pendapatku tadi kurang tepat menurut dia.
“Bukan.”
“Tapi apa?,” selidikku tambah penasaran.
“Kamu BAU,” imbuhnya sambil menaruh jemari lentik di hidung mancungnya. Lalu tertawa lepas, menampakkan barisan ujung gigi putihnya yang indah.
“Hmmm..... Awas ya,” aku gemes dibuatnya. Bisa-bisanya ia menggodaku. Hampir saja kucubit hidung mancung itu, kalau saja aku tidak langsung teringat bahwa gadis di depanku adalah Nella bukannya Zella, adik kecilku yang memang sering menggodaku.
***
 Aku berdiri di depan teras asrama panti asuhan di sebuah desa yang indah di daerah Situbondo Jawa Timur. Tempat ini menampung beberapa anak-anak yatim-piatu dan anak-anak dari keluarga tidak mampu. Di sini mereka bisa belajar dan sekolah gratis atas biaya sepenuhnya dari yayasan. Di tempat inilah kelompok kami yang beranggotakan enam orang melaksanakan KKN.
 “Kak Dani,” tiba-tiba Nella memanggilku dari belakang. “Kakak ada waktu?.”
Entah kenapa akhir-akhir ini Nella lebih sering memanggilku kakak daripada Akhi, bahasa arabnya.
“Ada apa?,” tanyaku.
Nella melirik Ami yang sedari tadi bersamanya, gadis yatim kecil yang semenjak berumur beberapa bulan sudah ditinggal mati kedua orang tuanya sekaligus karena kecelakaan.
“Ami ada perlu sama Kakak.”
Aku beranjak menghampiri sosok mungil itu, berjongkok, lalu membelai kepalanya yang dibalut jilbab cantik.
“Ada apa sayang?,” kutatap mata bulatnya yang menyimpan sebuah harapan.
“Boleh nggak, kalau Ami panggil Abi ke Ustadz KKN?.”
Karna belum hafal nama kami satu persatu, anak-anak di sini biasa memanggil kami dengan sebutan ustadz dan ustadzah KKN.
“Nggak boleh,” kataku dan kulihat ia sempat terkejut atas jawabanku.
“Nggak boleh, pokoknya nggak boleh manggil Abi ke Ustadz KKN. Tapi kalau ke Ustadz Dani, Ami boleh panggil Abi. Bahkan Ustadz ... eh, Abi seneng banget kalau Ami manggil Abi,” sambungku kemudian dan tubuh mungil itu Iangsung menubruk memelukku penuh bahagia, seakan kini ia baru menemukan sosok ayah yang selama ini dirindu-rindukannya. Seorang ayah yang telah meninggalkannya sejak umurnya masih beberapa bulan, sejak ia masih belum sanggup untuk sekedar memanggilnya dengan kata “Abi”.
Sebagai penghibur mereka, biar mereka sabar dan menerima kenyataan yang ada, sering kali aku menceritakan pada mereka tentang kisah Rasulullah, sang Nabi yang sudah yatim sejak dalam kandungan, dan ketika berumur beberapa tahun, sang ibu turut meninggalkannya. Namun beliau tetap lapang dada dan bersabar. Bahkan di usianya yang masih enam tahun ia sudah bekerja sebagai pengembala.
“Bukan cuma itu saja,” tambahku setelah ia melepas pelukannya.
“Sama Ustadzah Nella, Ami juga boleh panggil Ummi.” Aku melirik pada Nella. Dia tersenyum.
“Bolehkan, Bolehkan Dzah.. kalau Ami panggil Abi ke Ustadz dan panggil Ummi ke Ustadzah?.” Pertanyaan Ami sempat membuat Nella salah tingkah. Ia melirikku. Aku tersenyum.
“Boleh. Tentu saja boleh. Masak sih Ustadzah nggak seneng kalau dipanggil Ummi sama Ami.”
Dan Nella pun dipeluknya. Bocah kecil itu lalu melompat-lompat sambil berteriak kegirangan, “Ami punya Abi, Ami punya Ummi, Ami punya Abi, Ami punya Ummi,” kemudia ia berlari mencari teman-temannya di dalam asrama.
“Lihat betapa hahagianya dia Ummi.... Eh, Nella!“
***
 “Mas Dani,” Alda berlari-lari kecil ke arahku. Rambut hitamnya yang tergerai panjang melambai-lambai di terpa angin. Wajahnya sedikit pucat.
“Ada apa?.”
“Nella sakit,” katanya sambil mencari sesuatu di tasnya.
“Sakit apa?,” tanyaku sedatar mungkin, karna tak ingin Alda curiga padaku hanya karena aku panik oleh kabar sakitnya Nella. Memang sudah tiga kali pertemuan, Nella tidak masuk kuliah.
Alda mengeluarkan sepucuk surat dari tasnya dan menyerahkannya padaku.
“Nih, Mas baca sendiri. Tadi Nella titip ini sama aku.”
“Surat izin sakit kah?,” tanyaku sekenanya, sekali lagi, biar Alda tidak menyangka macam-macam atau setidaknya ia tahu kalau aku tidak tahu sama sekali perihal surat ini.
Tapi Alda malah berlalu begitu saja, tanpa sepatah kata. Cemburukah dia? Atau mungkin kecewa karna dulu surat-suratnya tidak pernah aku tanggapi?.
Dulu, aku sering menghindar bila ia mau bicara berduaan denganku. Sampai akhirnya aku terpaksa harus menolaknya terus terang. Aku jelaskan kalau aku tidak suka berduaan dengan wanita, apalagi pacaran. Namun Alda tidak mau menyerah. Pengalamannya sejak SMP sampai saat ini, membuat ia mengambil kesimpulan bahwa “Tak ada laki-laki yang menolak untuk diajak pacaran oleh cewek cantik seperti dirinya”. Akhirnya dengan cara tertulis ia rutin melayangkan surat-suratnya.
Ia pernah sangat marah padaku ketika suratnya langsung aku kembalikan tanpa kubuka terlebih dahulu. Lalu setelah kejadian itu ia tidak mau lagi menyapaku sampai beberapa hari.
Aku pun merasa bersalah padanya, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya meminta maaf. Apa nanti tidak membuat ia salah tanggap dengan maksud baikku? Aku takut nantinya ia malah beranggapan kalau aku menerima cintanya. Tapi apa salahnya minta maaf?. Aku coba menghubunginya via telepon, namun segera ia putus, sampai tiga kali. Aku SMS, dia tidak membalasnya.
Besoknya ia masuk pelajaran. Aku hampiri dia.
“Maaf, atas kejadian itu. Aku salah.”
“Mungkin benar kata Mas dulu. Kita lebih baik berteman daripada pacaran,” katanya dengan senyum dipaksakan.
“Insya allah ini jalan yang terbaik,” timpalku dengan senyum simpul.
***
Setelah berputar-putar di areal kampus dan tidak menemukan tempat yang sepi sekaligus nyaman untuk membaca surat dari Nella. Aku putuskan untuk membacanya di dalam toilet umum. Dan seperti dugaanku, ternyata toilet  sedang sepi.
Aku masuk ke toilet dan langsung menutupnya rapat-rapat. Sambil bersandar ke dinding, kuraih surat yang tadi diantar Alda. Pink, warna kesukaan Nella dan warna yang turut menyihirku. Memang warna ini agak beda dengan warna lainnya. Karna, Nella dengan kerudung pinknya sangat beda dengan Nella dengan kerudung warna lainnya. Walaupun sama-sama cantik, tapi Nella dengan kerudung Pink bagai bidadari atau mungkin lebih cantik lagi, dan membuatku sering terlanjur memandanginya lama-lama. Padahal aku tahu ini dosa dan berbahaya.
Di sampul depan, kulihat nama ‘Mada’ —nama kecilku, dan Nella sering memanggilku dengan nama itu— ditulis tangan dengan indah, ciri khas tulisan Nella. Aku sampai hafal tulisan tangan Nella karna aku sering meminjam buku-bukunya. Nella suka membubuhi catatan-catatan tangan hampir di setiap bukunya.
Kubuka dan secarik kertas kutarik keluar. Kubuka Iipatannya yang rapi, lalu kubaca.
Buat : Kak Mada
Assalamu ’alaa man ittaba’ al-hudaa

Semoga kita senantiasa tetap dalam rengkuhan dan dekapan rahmat-Nya. Amin.
Sebelumnya, beribu maaf Ella haturkan ke pangkuan Kakak. Semoga diri yang lancang ini sudi Kakak maafkan.
Setelah sekian lama bara itu kupendam, sekam tak mampu menahan gejolak api yang meradang, menerjang rasa dan asa tuk segera memiliki. Takut kehilangan adalah hantu yang menakuti.
Ah.. . esok pasti kan menjelang. Mimpi buruk jua kan menghampiri. Saat itu hanya tinggal puing dan sejuta kenangan, tanpa Kamu.
Terima kasih telah menganggap Ella adik. Ella masih ingat saat Kakak bercerita tentang adik Kakak yang bernama Zella, saat itu juga Kakak menganggap Ella seperti adik sendiri. Namun bagi Ella terlalu kecil jika Ella harus menyayangi hanya sekedar sebagai Adik. Karna Ella sudah melangkah lebih jauh, bahkan terlalu jauh.
Jika nanti Ella tidak bisa ikut mengantar kakak ke bandara, buat melanjutkan studi Kakak di Kairo Mesir, seperti yang pernah Ella janjikan. Ella cuma titip satu pesan : “Jangan lupakan Ella, seorang yang pernah mengasihi Kakak”.
Juga kirim salam pada istri Kakak kelak -yang pernah kakak impikan seperti bidadari itu-, “Betapa beruntungnya Kau yang mendapatkan semua cinta kakakku.” Itu saja.
Kak. Ella ingin menjadi Bidadari kakak kelak di surga, karna tak mungkin kita bersatu di dunia.

Wassalam.
Adikmu,
Nailul khoiriyah

Kudekap surat mungil di tanganku. Oh dia yang kucinta, ternyata kau pun sama merana denganku. Maafkan aku yang tak pernah merasakan tanda-tanda itu. Mengapa aku tidak membaca gelagat rindu dan isyarat cinta yang kau kirimkan.
Sambil terpejam dan tersandar, beberapa penggal kisah kami berdua kembali berkelebat di pikiranku. Ruhku seakan terbang melayang, kembali ke masa lalu.
Saat itu kami seangkatan bertamasya, menikmati liburan di pantai. Saat teman-teman sedang asyik ngobrol dan minum es degan di warung, kulihat Nella sedang berdiri seorang diri di bibir pantai. Panorama laut biru dengan langit jingga dan matahari orange, menampilkan lukisan yang maha agung. Kakinya yang tak beralas, dibelai-belai oleh air laut yang pasang-surut. Kerudung Pinknya berkibaran. Matanya memandang lurus kearah mentari sore yang hampir terbenam.
Kuhampiri dia setelah terlebih dahulu kulepas sandal yang aku pakai.
“Nella”
“Hmmh…” Nella menoleh sebentar lalu kembali larut. Di sampingnya aku turut menyaksikan matahari ‘telur’ itu, merayap sedikit demi sedikit ke dalam laut. Sampai nanti ia terbenam.
“Kak. Aku ingin seperti mentari itu.”
“Maksud kamu?.”
“Kakak tahu, kenapa mentari baru menyejukkan justru ketika ia akan hampir tiada?.”
Mungkin Nella mau menyinggung akhir semester mendatang. Dan setelah wisuda nanti, kami pasti akan berpisah. Oh betapa cepatnya waktu ini berputar. Seperti kata para pujangga, andai bisa ku hentikan waktu barang sehari untuk sekedar memandangi wajahnya pasti akan kulakukan. Tapi waktu malah berlari, bahkan melesat jauh meninggalkanku hancur dengan sejuta puing kenangan lain.
“Mungkin ia ingin menyalami alam dengan begitu hangatnya, sebelum ia pergi meninggalkannya,” kataku. Kulihat wajahnya begitu sayu.
“Nella. Setelah lulus nanti, kamu ingin ke mana?”
“Sebenarnya Nella punya sebuah keinginan setelah lulus nanti. Tapi setelah Nella yakin itu tak mungkin terjadi, Nella tidak lagi mengharapkan apa-apa selain kebahagiaan di akhir kehidupan ini.”
Akhir hidup? Apa mungkin maksudnya adalah akhir semester?. Ah entahlah. Memang akhir-akhir ini Nella lebih sering menyinggung soal hidup dan akhir hidup. Kadang aku pernah berpikiran itu adalah pertanda akhir hidup Nella. Soalnya menurut mitos-mitos yang pernah mewabah di kampungku, orang yang sering mengigau kematian itu pertanda bahwa kematiannya sudah amat dekat, Tapi cepat aku buang jauh-jauh pikiran itu. Terlalu ngeri untuk sekedar membayangkannya. Mungkin fobia perpisahan membuat pikiranku sering membayangkan yang tidak-tidak. Namanya saja takut berpisah.
“Kalau Kakak mau ke mana?.”
“Aku mau melanjutkan studiku ke Kairo, Mesir. Dan aku ingin nanti menjelang keberangkatanku, kamu ikut mengantarku sampai ke bandara.”
“Insya Allah, nanti Nella antar kok. Emang mau berapa lama di sana?.”
“Mungkin barang dua atau tiga tahun.”
“Apa tidak keburu tua di sana. Atau kakak malah... punya rencana menikah di sana?.”
Kutolehkan wajahku. Aku menyangka kalau aku akan menemukan sebuah wajah yang tersenyum karna sudah mencandaiku. Tapi tidak. Dia bahkan tidak berpaling dari mentari di kejauhan sana. Ujung bibirnya tidak ditarik.
“Aku sih terserah calonku nanti, apa dia mau menungguku selama aku di Kairo atau kita mau kawin dulu,” candaku. Berharap keningnya berkerut, lalu menertawakanku. Tapi tidak. Ia mungkin menganggap kata-kataku serius. Wajahnya tetap tidak menoleh dan keningnya tidak berkerut.
“Kira-kira, seperti apa sih calon yang diimpikan oleh kakakku ini. Pasti dia sangat beruntung mendapatkan suami seganteng kakakku ini,” tanggapnya datar.
Ah, Nella. Kenapa kau bertanya seperti itu. Sebenarnya, maksudku ingin kau turut mengantarku tiada lain karna kaulah calon yang kuimpi-impikan itu. Aku ingin kaulah yang menunggu kedatanganku dengan sepenuh cintamu.
“Kamu sungguh ingin tahu seperti apa calon kakak?.”
Ia menoleh, “Ya,” jawabnya sambil mengangguk. Tapi kulihat anggukannya lemah, dan sinar matanya seakan redup.
“Dia itu cantik, seperti bidadari,” jawabku sambil memandangnya tajam. Aku ingin memberi tahu kalau bidadari itu sebenarnya adalah dia.
Tapi dia malah kembali menoleh ke arah matahari yang sudah menyentuh permukaan air.
“Nella, boleh tidak, kalau aku memanggilmu Ella?,” ucapku hati-hati, takut kalau dia tidak suka.
“Ella?,” ulangnya sambil menoleh dan dengan dahi berkerut.
“Ella. Tanpa ‘N’. Entah kenapa aku punya pikiran seperti itu, bukannya aku mau mengubah-ubah nama kamu. Tapi menurutku nama itu lebih simpel. Itu pun menurutku, terserah kamu, bila kamu tidak suka,” ucapku dengan berbagai alasan, takut dia tersinggung atau tak suka.
Tapi ternyata Nella malah tersenyum dengan begitu manisnya. “Ella, Ella, nama yang bagus, malah aku suka. Apalagi itu nama dari kakak. Jadi kita sama-sama punya nama yang hanya kita berdua yang tahu. Dulu setelah Kakak cerita kalau nama kecil kakak adalah ‘Mada’ maka Kakak sering aku panggil kak Mada, dan kakak malah suka.”
Matahari sudah tenggelam hampir seutuhnya dan Nella kembali memandanginya. Namun kali ini Dengan air mata menggenangi pelupuk matanya.
“Ada apa Ell?”
“Nggak. Nggak ada apa-apa,” jawabnya lalu cepat berlari. Meninggalkanku dengan penuh penasaran.
Ada misteri apa sebenarnya?. Saat kulihat matahari itu sudah hilang, yang tersisa tinggal siluet sinarnya yang kemerahan. Dan kembali aku berpikiran yang tidak-tidak.
DOR DOR DOR.. “Udah belom, lama banget,” umpat seseorang.
Ah, Aku baru tersadar dari lamunanku. Ternyata aku masih berada di dalam toilet. Segera kukantongi surat Ella lalu kubuka pintu dengan sedikit senyam-senyum. Kulihat mahasiswa gendut yang menungguku memegangi perut besarnya erat-erat dengan sebelah tangannya, sedang tangan lainnya memegang jalur belakangnya. Mungkin dia sudah tak tahan ingin segera jongkok di WC.
Belum sepenuhnya aku keluar dari pintu toilet, dia langsung nyerobot masuk. Namun sebelum dia menutup pintu dengan sempurna, tiba-tiba Brooooot broot........ broootttt... “Akh” pekikku sambil memegang hidung. karna bersamaan dengan itu, bau yang sangat tengik menyerbu ke dalam hidungku. segera aku ngacir dengan perut mual-mual.
***
Kurebahkan tubuhku di atas kasur di kamar kosku. Lelah, penat, dan letih terasa sangat menghimpit tubuhku. Seharian beraktivitas membuat tubuhku kehabisan energi. Pikiran terasa buntu jika sudah begini. Padahal sekarang waktunya aku mengulang kembali hafalanku. Biar tidak hilang, aku selalu mengulangi hafalan setiap harinya lima juz. Sehingga setiap pekannya aku pasti sudah mengkhatamkan al-Qur’an dengan sempurna, tepatnya setiap Jum’at pagi aku mulai dari awal dan berakhir pada Kamis sore sebelum magrib, sore ini.
Kupejamkan mata lalu kutarik nafas pelan-pelan. Aku tahan sebentar di perut kemudian menghembuskannya dengan perlahan lewat mulut. Fiuuhhh.... Kuulangi tiga kali, lalu kubuka mataku. Ah... lega rasanya, pikiranku kembali jernih, kepalaku terasa plong, beban berat dan kejenuhan yang tadi kurasa kini sudah hilang.
Segera aku bangkit dan melangkah ke luar menuju kamar mandi. Aku tidak ingin berlarut-larut dengan jam istirahat yang nanti akan menyebabkanku terlena kemudian malah tertidur pulas dan mengorbankan jadwal aktivitas yang sudah aku target sebelumnya. Target dengan skala prioritas ini kubuat untuk jangka panjang. Bahkan sampai sepuluh tahun ke depan -termasuk married- sudah aku rencanakan masak-masak. Memang kadang melelahkan tapi itulah prinsip. Dan masa depanku sudah kuatur jauh-jauh hari sebelumnya. Prinsipnya ‘Rencanakan apa yang ingin kau lakukan dan lakukanlah apa yang telah kau rencanakan’.
Termasuk saat ini, bulan ini dan tahun ini juga telah terencana sejak empat tahun yang lalu ketika aku baru pertama kali melangkahkan kaki ke Perguruan Tinggi. Aku harus menyelesaikan kuliahku tanpa harus terhambat. Dan sekarang, al-hamdulillah satu programku telah terselesaikan dengan baik. Skripsiku mendapatkan nilai terbaik, dan aku lulus.
“Mas Dani nggak makan dulu?,” tegur Andi teman kosku, ketika aku baru keluar dari kamar mandi.
Seperti biasa, sore-sore begini dia sedang asyik melahap sebuah buku. Dengan ditemani segelas es sirup dan makanan ringan ia betah lama-lama duduk di kursi dengan daya konsentrasi tetap stabil. Aku menjulukinya Predator Buku. Karna memang di antara kami berempat yang menempati rumah kos ini, hanya dialah yang paling doyan sama yang namanya buku, sampai-sampai dia punya rak khusus untuk koleksi-koleksi bukunya yang cukup banyak itu. Itu sangat menguntungkan bagiku. Ketika aku butuh referensi, sebelum ke perpustakaan atau Gramedia, terlebih dahulu aku melongok buku-bukunya.
Beda dengan Saiful dan Suryo, Saiful lebih suka main dan keluyuran, kalau tidak Play Station ya pasti keluyuran. Katanya sih dia punya pacar. Kalau Suryo lehih banyak berada di atas kasur atau tidur.
“Kan, hari Kamis,” kataku mengingatkan.
“Oh iya, maaf mas. Aku lupa kalau mas sedang puasa.”
“Saiful mana?.”
“Biasa, paling sedang manjain pacarnya ke mall.”
“Oh. Sudah kalau begitu. Ehm.. kamu sudah sholat Asar?.”
“Entar aja mas, lagian masih baru adzan kayaknya,” jawab Andi seperti biasanya. Setiap kali aku mengajaknya untuk shalat jamaah bareng di awal waktu, dia selalu menjawab seperti itu. Biasanya di kosan ini yang mau diajak berjamaah cuma Saiful.
“Ya udah, aku sholat dulu ya.”
“Ok,” jawabnya sambil tetap menekuri setiap inci deretan kata di dalam bukunya yang berjudul “Digitarium”.
Setelah sholat dan sedikit dizikir, aku langsung membaca surat al-Ahqaq kemudian surat Muhammad, juz ke 26 bil-ghoib (dengan tanpa melihat teks). Sampai surah al-Waaqi’ah semuanya terasa lancar bagai mengalir begitu saja dari bibirku. “Wa huurun ‘iin” dan bidadari-bidadari yang elok.
Surah al-Waaqi’ah memang indah, di dalamnya menceritakan tentang kehidupan surga dan kenikmatan-kenikmatan yang Tuhan janjikan kepada hamba-Nya. Entah mengapa setiap kali aku membaca ayat tentang bidadari, hatiku selalu bergetar. Ah, mungkin hanya perasaanku saja yang terlalu berlebihan. Karna memang selama ini aku selalu penasaran dengan bidadari pendampingku di dunia dan akhirat. Ataukah di akhirat saja atau mungkin hanya di dunia saja. Tapi yang paling akhir ini, aku mohon kepada Allah agar dijauhi.
Sambil meresapi maknanya, aku terus membaca. Tiba-tiba, suara HPku membuyarkan “bidadariku”.
Kuhentikan keasyikanku sebentar. “Ah, mengganggu sekali,” gerutuku.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.” Suara di seberang itu sangat kukenal. Suara Alda.
“Ada apa, Al...?.”
“Mas bisa datang ke Rumah Sakit As-Syifa sekarang?.”
“Memangnya ada apa?.”
“Nella sedang koma, penyakit jantungnya kambuh.”
“Penyakit jantung?,” ulangku tidak percaya. Selama ini Nella tidak pernah bercerita masalah ini.
“Maaf. Selama ini aku tidak menceritakannya pada Mas. Itu karna janjiku pada Nella. Biar mas tetap konsentrasi dan bisa lulus dengan baik. Sekarang saatnya aku cerita sama mas, kalau Nella itu sudah lama mengidap penyakit jantung, dan menurut prediksi dokter penyakitnya tidak mungkin bisa disembuhkan karna sudah terlalu akut dan..... ”
“Dan... apa?,” tanya gamang.
“Dan umur Nella sudah tidak lama lagi.”
Degh.. Tubuhku lemas. Oh, hatiku begitu perih. Dia yang ku cinta sebegitu menderitanya. Ingin segera aku peluk dia Iayaknya seorang kakak yang melihat adiknya di cekam ketakutan, atau seperti kekasih yang melihat kekasihnya sedang dilanda sedih. Ingin ku peluk dia dan ku katakan padanya “Tenanglah, ada aku di sini”. Ah, andai dia halal hagiku.
Oh, mengapa semua itu terjadi padanya. Dia yang selalu tersenyum dan tabah meski vonis dokter sangat menyakitkan baginya. Dia yang begitu pasrah dengan nasib yang digariskan untuknya. Dia yang menutup-nutupi rahasia kematiannya, tanpa mengeluh. Dia yang sudah rela atas takdimya. Oh Tuhan, mengapa?. Oh Tuhan, kenapa?. Astaghfirullah. Ampunilah aku Tuhan, aku khilaf.
“Mas?”.
“Halo”.
“Mas masih ada di sana?”.
“Halo.. Mas baik-baik saja kan?”.
“I..iya saya baik..baik saja kok”.
“Kalau bisa, secepatnya Mas ke sini”.
Insya’allah nanti sehahis Isya’ aku ke sana. Oh iya, titip salam dulu ke Ella”
“Ella?” ulangnya. Aku segera sadar kalau nama itu hanya aku dan Nella yang tahu.
“Maksudku .... Nella. Tolong sampaikan padanya, salam dari kak Mada akhir surah Ali Imran”. Nella juga sering rnengingatkanku akan ayat ini. Ayat yang menganjurkan agar kita bersabar.
“Baik, akan saya sampaikan nanti kalau sudah bangun”.
“Assalamu ’alaikum”
“Wa’alaikumsalam”
Konsentrasiku buyar. Aku coba herbagai terapi untuk mengembalikan kestabilan daya konsentrasiku. Namun semuanya gagal. Akhirnya Aku sadar kalau aku sedang tidak lelah pikiran melainkan sedang kacau pikiran dan hati terguncang. Maka terapi apapun tidak akan membantu sama sekali. Ku Ianjutkan bacaanku yang masih tinggal tiga juz lagi untuk sampai pada batas akhir target, namun kali ini aku membacanya bin-nadzar (dengan membaca teks) karna tidak mungkin aku memaksa untuk membacanya bil-Ghoib dengan lancar dalam kondisi seperti ini.
Setelah rampung juz 30, aku panjatkan doa dengan penuh linangan air mata untuk keselamatan Nella. Semoga Tuhan sudi meringankan cobaan hamba-Nya yang tabah itu. Semoga kami masih diperkenankan bersama lagi. Amin.
***
Malam tidak begitu pekat, bulan separo bergelantungan di awan mengiringi laju motorku yang menggila. Jalan beraspal yang dilindas roda motorku memercikkan sisa-sisa air gerimis.
Ku pacu motorku dengan tergesa-gesa, aku tidak ingin terlambat. Dinginnya Angin malam dan licinnya jalanan tak bisa menghambat keinginanku untuk segera duduk di sisi Nella begitu dia sadar nanti.
“Kini baru aku mengerti, Mentari itu adalah kau. Tapi kenapa tidak kau ceritakan semuanya padaku?. Bagaimana seorang adik menyimpan rahasia besar kepada kakaknya, apalagi itu menyangkut hidupnya?. Dulu kamu bilang hanya terkena penyakit asma, ketika aku temukan kau sedang meringis menahan sakit sambil mendekap dadamu. Kenapa kau tidak terus terang padaku Ell?. Kamu ingat bidadari yang pernah ku ceritakan padamu dulu?. Kaulah bidadari yang ku impikan itu Ell” batinku miris.
Kurasakan laju motorku terasa Iebih kencang. Di depan, sebuah truk dari arah berlawanan terlihat berjalan zig-zag. Entah karena bannya kempes atau memang sopirnya yang mabuk. Aku agak menepi. Sorot lampunya membutakan mataku, tangan kiri ku angkat menghalangi sinarnya.
“Akh....”
Truk itu hendak menyerempetku. Ku banting stir ke kiri. Keseimbanganku hilang. Sebentar kulihat aku sedang melaju menghantam beton.
Brakkk...!!!
“Allah..”, lalu gelap
***
Nella tak tertolong, setelah tadi sempat siuman sebentar. Alda menyampaikan salam dari Dani. Nella tersenyum, lalu berkata dengan terbata-bata.
“Sampaikan juga pada kak Mada, bidadarimu akan selalu merindukanmu di sana”.
Tak lama setelah itu, Nella menutup mata untuk selamanya. Alda menangisi teman terbaiknya itu. Teman yang telah membimbingnya meraih manisnya islam yang kaffah. Nella pemah bercerita kalau sejak duduk di bangku MTs, penyakit jantung itu bersarang di tubuhnya. Nella juga bercerita bagaimana dia mengahafal al-Qur’an hanya dalam waktu satu tahun setengah. Kemudian bagaimana dia minta kuliah kepada ayahnya, padahal dokter menyarankan agar dia banyak istirahat. Malah Nella bilang kalau istirahat itu akan mempercepat kematian dan membuat sisa hidupnya akan membosankan dan tidak bermakna.
“Maaf. Aku belum sempat memakai jilbab sebelum kau pergi. Mulai hari ini aku berjanji akan memakai jilbab. Untuk mengenangmu, sahabatku”.
Dani belum datang. Tadi dia berjanji datang setelah Isya’. Mungkin dia masih dalam perjalanan. Alda tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Dani nanti kalau mendengar kematian Nella. Alda harus menyampaikannya dengan hati-hati. Juga pesan terakhir Nella, Dani tidak boleh terkejut.
Di seberang sana, beberapa petugas sedang mengevakuasi mayat seseorang dengan dipan dorong. Tangan mayat itu terjulur penuh darah, sepertinya kecelakaan. Alda menepi, membiarkan rombongan itu lewat. Dia tidak ingin melihatnya. Tapi ketika rombongan itu melintas di depannya, tidak sengaja Alda melirik wajah korban itu. Alda terlonjak kaget, wajah mayat itu seperti sedang tersenyum. Tapi bukan itu yang membuat Alda kaget. Melainkan karena vajah itu adalah milik seseorang yang di kenalnya dengan baik. Wajah yang selalu menghiasi mimpi-mimpinya di malam hari. Dan wajah seseorang yang kini sedang dia tunggu kedatangannya. Dani.
Tiba-tiba seluruh persendiannya lemas. Matanya berkunang, bumi seakan berputar. Hampir dia tidak sadarkan diri. Alda jatuh terpuruk di lantai rumah sakit bersimbah air mata, memandangi dipan dorong yang terus menjauh ke kamar mayat.
“Temyata takdir tidak ingin memisahkan kalian berdua. Semoga kalian bahagia disana”.

0 comments:

Post a Comment