“Astaghfirullah….!” Aku tersentak
dari tidurku. Jam beker mungil dekat kepalaku menunjukkan angka 08:15 WIB. Aku
sudah terlambat untuk mengikuti materi kuliah pagi ini.
Semalam aku berkutat dengan komputerku
yang rusak. Virus yang bersarang itu hampir saja memusnahkan semua data-dataku.
Aku baru bisa tidur jam 03:00 pagi. Saat adzan subuh aku dipaksa bangun oleh
jam bekerku yang berteriak nyaring dekat telinga. Setelah menunaikan kewajiban
subuh, aku kembali terlelap. Namun aku lupa menyetel kembali jam bekerku ke
angka 07:00
Cepat aku melompat ke kamar mandi. Hanya
berwudlu. Lalu merapikan penampilan sebentar,dan tak lupa memakai kaca mata.
Lalu cepat bergegas menyapa sepeda motor bututku. Motor keluaran tahun 70-an
itu terbatuk beberapa kali ketika kustarter, sampai akhirnya ia mau juga diajak
kompromi. Motor itu mengaum dengan keras, memekakkan telinga.
Menaiki sepeda ini, kadang aku merasa
risih juga ketika dilirik teman-temanku dari kaum hawa. Walaupun aku sendiri
tidak bisa mengartikan dengan pasti, apa arti lirikan itu.
“Apa kamu tidak merasa harus memperbaiki
penampilanmu?” kata Doni suatu hari, sambil memperhatikan setiap lekuk body
motorku dengan teliti.
“Coba kalau kamu mau sedikit berbenah,
pasti para lelembut itu akan berebut untuk kau bonceng. Dengan tampang
oke kamu itu, kamu bisa mengoleksi lelembut yang kamu sukai. Apa kamu
tahu, kalau mereka itu hanya agak risih dengan penampilan motormu ini saja?.
So, kenapa kamu tidak mengganti tahun 70-an dengan yang keluaran baru?.
Bukankah kakakmu seorang juragan besi yang kaya raya?,” terang Doni yang suka
menyebut-nyebut para mahasiswi dengan lelembut.
Pernah aku bertanya alasan dia menyebut
mereka dengan lelembut. “Karena mereka memang lembut-lembut,” jawabnya sambil
menyeringai, lalu tertawa keras.
“Justru karena itu, aku tidak ingin ada
cewek yang minta tumpangan. Apalagi dengan alasan yang bisa membuatku harus
memenuhi permintaannya. Aku tidak mau membonceng lelembut. Takut digigit,” jawabku
dengan senyum kecil.
Doni menatapku heran. Dari matanya, mungkin
hatinya sedang menggumam; Takut sama lelembut? Tidak normal orang ini
barangkali.
“Tenang ko’, aku masih normal,” lanjutku
diiringi tawa dan tepukan pada pundaknya. Doni ikut tertawa sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Aku larikan motorku dengan kecepatan
maksimal yang ia miliki, 90 km/jam menuju gedung fakultas yang lumayan jauh
dari tempat kosku. Butuh waktu ½ jam untuk sampai ke sana.
Di pintu gerbang, senyum hangat pak satpam
menyapaku, “Bangun kesiangan lagi ya, Mas Dani?.”
Pak Kohar, satpam kami yang santun. Badannya
tegap. Dulu semasa mudanya, beliau suka angkat beban. Sehingga badannya sehat
dan berotot. Kumisnya melintang lebat di atas bibir hitamnya menyembunyikan
sikap santunnya dan membuat penampilannya terlihat garang. Membuat dirinya,
selaku petugas keamanan di sini disegani dan ditakuti. Tapi bagi mereka yang
sudah mengenal beliau dengan baik, maka akan lebih melihat sisi lemah lembut
dari dirinya. Seperti aku ini misalnya.
“Iya, Pak. Gara-gara semalam suntuk
betulin komputer yang rewel,” aku memberi alasan.
“Oo… komputer ono’ seng rewel pisan toh,
mas,” katanya sambil bersungut-sungut.
Aku hanya tersenyum geli dengan keluguannya.
“Udah masuk sana! Biar sini bapak yang
markirin motornya. Nanti Mas dimarahi lagi sama bapak dekan lho.” Lalu dengan
lembut dan agak memaksa, pak Kohar mengambil alih motorku kemudian menuntunnya
pelan ke tempat parkir
“Makasih banyak, Pak” ucapku, lalu segera
berlari ke ruang kuliah, memburu waktu yang tersisa pagi ini.
***
“Assalamu’alaikum,” sambil tertunduk aku
berdiri di ambang pintu. Malu pada bapak Fauzi, dosen bahasa inggris yang
terkenal santun itu.
“Wa’alaikum salam,” pak Fauzi menjawab
salamku setelah beliau menghentikan sejenak materi kuliah yang ia sampaikan.
Walaupun wajahku memandang lantai, tapi aku bisa membayangkan wajah teman-temanku
saat ini. Pasti kesal karena keasyikan belajar mereka jadi terhenti karenaku.
“Ok Dani, sit down please!,” bijak
beliau mempersilahkan. Tak ada rumus tindakan dalam kamusnya. Bahkan, marah pun
jarang terlihat dari wajah yang senantiasa berhiaskan senyum itu.
“Thank’s, Sir!” dengan menunduk,
aku melenggang masuk dan langsung menuju tempat dudukku di baris paling depan
sebelah kanan.
Duduk paling depan adalah keharusan
bagiku, karena aku tidak mau mengambil resiko dengan tidak melihat dengan jelas
oret-oretan dosenku. Mataku minus hampir 300, membuatku harus memakai kacamata
yang lumayan tebal.
Namun tiba-tiba langkahku terhenti. Mataku
sedikit melotot, pikiranku mencoba untuk sadar. Ada gadis cantik dengan
kerudung orange yang tak kukenal, sedang duduk manis di kursiku.
Ia tadinya juga terlihat kaget saat aku
berhenti tepat di depannya. Ia balas mentapku aneh, tapi kemudian ia menunduk.
Entah malu atau bagaimana, tapi yang pasti teman-temanku tidak ada yang pakai
jilbab seperti ini. “Mungkin aku salah masuk ruang,” pikirku bingung.
Namun setelah aku sapukan pandanganku ke
seluruh isi ruangan, ternyata tidak. Aku tidak salah masuk ruang. Semua peserta
yang hadir adalah teman-temanku satu angkatan. Ada Rosi, Linda, Shofi, Hasan,
Afnan, Alan, Alda, Dian, Dewi …ah, lalu gadis ini siapa? Di tempat dudukku lagi.
“Dani. Sit down here,” Afnan
menawariku tempat duduknya yang tepat berada di samping kiri tempat dudukku,
atau tepatnya di samping gadis ini duduk, hanya dengan sekat jalan untuk lewat.
Afnan berdiri, lalu pindah ke satu-satunya
bangku kosong yang tersisa di bagian belakang. Mungkin ia mengerti kalau aku
tidak mungkin duduk di bangku paling belakang itu, karena mataku minus.
“Thank’s,” ucapku sambil beranjak
ke tempat duduknya.
“OK everybody. Let’s continue our
discuss today, about Management,” lanjut pak Fauzi tetap bersemangat.
Aku sudah tidak bisa konsentrasi lagi pada
paparan cerdas pak Fauzi, dosen favoritku itu. Padahal biasanya, akulah yang
paling bersemangat mengikuti materi kuliahnya. Namun kali ini konsentrasiku
buyar, gadis itu penyebabnya.
Akhirnya pelajaran usai, bapak Fauzi
mengundurkan diri setelah mengakhiri
dengan salam. Tapi sayangnya, materi pagi ini menyisakan tanda tanya besar
bagiku. “Who is the girl?.”
***
“Dani” seru Rosi tiba-tiba ketika aku sedang
asyik menikmati sarapan nasi pecel di warung pak Hasan. Nafasnya
terengah-engah, hidungnya yang bangir terlihat kembang-kempis.
“Gawat, Dan,” lanjutnya melabrakku.
“Emangnya setan mana yang ngejar kamu, Ros?
Masak kalah serem sama setan sih?,” ku lihat ia masih susah mengatur nafas.
“Nih, minum dulu,” tawarku sambil menyodorkan
teh hangat yang sedari tadi belum aku sentuh. Rosi memungutnya.
“Makasih ya Dan,” katanya langsung meneguk
habis teh hangatku, membuatku harus melototinya.
“Emang ada apaan sih, kok kamu sampai
segitunya?,” tanyaku penasaran.
“Nella nangis Dan,” bisiknya di telingaku.
“Ah, Nella yang mana? Adikku namanya Zella
kok, bukannya Nella. Lagian mana mungkin tangisnya kedengaran sampai ke sini.
Sekolahnya kan di SDN, di desa lagi. Bukannya di Surabaya sini. Ih ngaco kamu.”
“Ih.. itu lho, mahasiswi baru yang barusan
duduk di bangkunya kamu. Cewek cakep yang pake kerudung itu, masak kamu lupa
sih?.”
“Hah, ada apa dengannya?. Kenapa dia
sampai nangis?,” tanyaku antusias dan langsung berdiri. “Ayo kita kesana. Dan
sambil jalan, kamu ceritakan kenapa dan mengapanya.”
Kami berjalan beriringan sambil
tergesa-gesa menuju kelas.
“Tadi pas kamu keluar, temen-temen semua
pada pengen kenalan sama mahasiswi baru itu. Emang sih, pak dosen sudah
memperkenalkan dia waktu pertama kali masuk, kalau cewek itu namanya Nella dan
dia mahasiswi pindahan. Tapi biasanya kan gitu, temen-temen pengen kenal satu
persatu. Tidak cuma cewek, para cowok pun nggak mau ketinggalan. Tapi pas
bagian cowok, Nella nggak nyambut uluran tangan mereka. Dia cuma ngelipat kedua
tangannya di depan dada sambil nyebutin nama. Teman-teman mungkin aja
tersinggung diperlakukan kayak gitu. Soalnya selama ini mereka kan kalo kenalan
ya pake jabat tangan gitu. Masak tangannya dibiarkan terkatung di udara, kan
nggak ngehargain namanya. Akhirnya teman-teman sama mencemooh dia. Bahkan ada
yang sampai mengatainya dengan kasar,” terang Rosi panjang lebar. Sesekali ia
berusaha mensejajarkan langkahnya denganku.
Setibanya di depan pintu, teman-teman
sudah bubar. Di dalam kulihat Nella menelungkupkan wajahnya ke meja. Bahunya
sedikit berguncang menahan isak tangis. Di sampingnya, Alda sedang menghiburnya
agar sabar. Ketika melihat kami hendak masuk, Alda memberi isyarat agar kami
meninggalkan mereka. Kami pun melangkah kembali ke warung, hendak meneruskan
sarapan yang tertunda.
“Kasihan ya,” Rosi angkat bicara. “Padahal
dia kan baru pindah, kalo nggak kerasan nanti dia bisa minta pindah lagi.”
“Bukankah dulu aku juga bersikap seperti
itu, seperti sikap Nella tadi,” aku coba protes. Soalnya dulu aku juga mendapat
banyak uluran tangan dari para gadis-gadis, dan dengan halus aku menolak
jabatan tangan-tangan halus itu. Dan mereka tidak marah, tapi sekarang kok…?
“Kamu sih lain ceritanya. Soalnya
sekalipun cewek-cewek kampus ini nggak bisa lo ajak salaman, tapi lo tetep aja bisa
ngakrab sama mereka. Walaupun akrab yang tetep jaga jarak, he… he… he…” Rosi
melirikku sejenak, dan sambil memperhatikan penampilanku ia kembali berkomentar.
“Lo itu ya, walaupun dengan dandanan ala
kadarnya, bahkan kadang juga sedikit acak-acakan. Tapi tampang lo itu potongan
seorang ustadz, model orang alim gitu. Apalagi dengan jenggot tipis plus
kacamata itu, wuih…bikin cewek agak sungkan kalo ngajak lo pacaran, ha..ha..”
kali ini ia tertawa lebar, aku diam aja. Pinter juga orang ini kalau nyindir,
gumamku tak habis pikir.
“Den Bagus,” sapa pak Hasan tiba-tiba dari
depan warungnya dengan senyuman khasnya. Aku membalas senyuman itu.
“Tadi pesanan Aden belum dibayar,” katanya
dengan kalem.
Aku nyengir. ternyata bukan hanya sekedar
sapaan, tapi juga tagihan. He..he..he...
***
Aku bergegas masuk musholla. Aku lupa
belum melaksanakan shalat sunnah Dluha. Tapi langkahku terhenti ketika
kulihat di dalam Nella sedang duduk bersandar ke dinding. Matanya terpejam,
bibir mungilnya terlihat bergerak-gerak, dan samar-samar suara alunan
kalam-kalam Ilahi mendayu merdu di telingaku. Semakin aku melangkah masuk,
semakin jelas di telingaku surat Yusuf yang dilantunkan Nella dengan nada bayati
qarar itu.
Kemudian seakan aku terbawa arus, hanyut
ke beberapa abad silam, menyaksikan Nabi Yusuf yang digoda habis oleh Zulaikha.
Belum puas aku menikmati dan menyelami keindahan ayat-ayat al-Qur’an, tiba-tiba
lantunan itu terhenti.
“Jayyidah, Fashihah.
Teruskan Yusuf-nya Ukhti…!,” pintaku.
Kulihat ia menatapku heran. Mungkin ia
terkejut karena mengetahui surah apa yang ia baca.
“Antum hafidz juga Akhi?.”
Aku tersenyum dan mengiyakan dengan
sedikit anggukan. Nella tersenyum. Lesung pipit di kedua pipinya nampak indah.
Lalu, tiba-tiba dengan perlahan wajah manis itu merona kemerahan kemudian
tertunduk malu. Aku jadi salah tingkah.
“Maaf,” sesalku. Kemudian entah mengapa kakiku
langsung berbelok dan melangkah keluar. Ketika akhirnya aku tersadar… Ya
Allah..! aku kan hendak melaksanakan shalat Dluha. Gimana ya..? masak balik
lagi?
“Kenapa Akhi?,” tegur Nella dari dalam.
Mungkin dia melihatku kebingungan di tangga mushalla.
“Saya lupa belum ambil air wudlu’,”
kilahku. Padahal wudlu’-ku belum batal.
Nella berdiri di pintu, “Kalau begitu,
saya ke kelas duluan Akhi,”
“Maaf ya,” sesalku. Aku telah mengganggu
ngajinya.
“Tak apa, aku bisa melanjutkannya di kelas
sambil menunggu dosen masuk. Oh iya, yang khusuk ya shalatnya.”
Aku tertegun. Bisakah aku khusuk dalam
shalatku? Di luar shalat saja pikiranku sudah kacau. Ya Allah... bersihkan
hatiku.
***
“Gool…..!“ Aku berteriak. Teman-teman dan supporter
bersorak, tendangan saltoku membobol gawang kesebelasan mahasiswa jurusan lain.
Skor 3-1 sudah cukup menunjukkan bahwa kemenangan ada di pihak kami, sebelum
akhirnya peluit panjang dari wasit mengakhiri pertandingan persahahatan antar
mahasiswa tiap jurusan yang digelar pihak UKM dalam rangka menyambut harlah
kampus kami.
Tim kami pun dengan bangganya
melambai-lambaikan tangan ke arah penonton yang lumayan tidak sedikit itu, temanku
ada yang berlari mengelilingi lapangan, lalu sambil berangkulan kami beriringan
menuju teman-teman lain yang menunggu dan mensupport kami dari sudut lapangan.
Nella menyambutku dengan senyumnya yang
menawan. “Nih, minum dulu biar segar.” Ia menyodorkan botol air mineral. “Selamat
ya! Aku nggak nyangka seorang hafidz juga jago main sepak bola.”
“Thanks
Ya.” Langsung kuteguk habis minuman darinya setelah membaca basmalah
terlebih dahulu.
“Para sahabat, yang memorinya menyimpan Kalamullah
dan ribuan sabda Nabi, juga pandai berlaga di medan perang. Hafid itu
tidak harus identik dengan sikap santunnya saja kan? Tapi juga harus enerjik
dan prima,” kataku sok.
“Tapi....” Kata-katanya terputus.
Membuatku penasaran.
“Ada yang salah?,” tanyaku hati-hati,
takut kalau pendapatku tadi kurang tepat menurut dia.
“Bukan.”
“Tapi apa?,” selidikku tambah penasaran.
“Kamu BAU,” imbuhnya sambil menaruh jemari
lentik di hidung mancungnya. Lalu tertawa lepas, menampakkan barisan ujung gigi
putihnya yang indah.
“Hmmm..... Awas ya,” aku gemes dibuatnya. Bisa-bisanya
ia menggodaku. Hampir saja kucubit hidung mancung itu, kalau saja aku tidak
langsung teringat bahwa gadis di depanku adalah Nella bukannya Zella, adik
kecilku yang memang sering menggodaku.
***
Aku
berdiri di depan teras asrama panti asuhan di sebuah desa yang indah di daerah
Situbondo Jawa Timur. Tempat ini menampung beberapa anak-anak yatim-piatu dan
anak-anak dari keluarga tidak mampu. Di sini mereka bisa belajar dan sekolah
gratis atas biaya sepenuhnya dari yayasan. Di tempat inilah kelompok kami yang
beranggotakan enam orang melaksanakan KKN.
“Kak
Dani,” tiba-tiba Nella memanggilku dari belakang. “Kakak ada waktu?.”
Entah kenapa akhir-akhir ini Nella lebih
sering memanggilku kakak daripada Akhi, bahasa arabnya.
“Ada apa?,” tanyaku.
Nella melirik Ami yang sedari tadi
bersamanya, gadis yatim kecil yang semenjak berumur beberapa bulan sudah
ditinggal mati kedua orang tuanya sekaligus karena kecelakaan.
“Ami ada perlu sama Kakak.”
Aku beranjak menghampiri sosok mungil itu,
berjongkok, lalu membelai kepalanya yang dibalut jilbab cantik.
“Ada apa sayang?,” kutatap mata bulatnya
yang menyimpan sebuah harapan.
“Boleh nggak, kalau Ami panggil Abi ke
Ustadz KKN?.”
Karna belum hafal nama kami satu persatu,
anak-anak di sini biasa memanggil kami dengan sebutan ustadz dan ustadzah KKN.
“Nggak boleh,” kataku dan kulihat ia
sempat terkejut atas jawabanku.
“Nggak boleh, pokoknya nggak boleh manggil
Abi ke Ustadz KKN. Tapi kalau ke Ustadz Dani, Ami boleh panggil Abi. Bahkan
Ustadz ... eh, Abi seneng banget kalau Ami manggil Abi,” sambungku kemudian dan
tubuh mungil itu Iangsung menubruk memelukku penuh bahagia, seakan kini ia baru
menemukan sosok ayah yang selama ini dirindu-rindukannya. Seorang ayah yang
telah meninggalkannya sejak umurnya masih beberapa bulan, sejak ia masih belum
sanggup untuk sekedar memanggilnya dengan kata “Abi”.
Sebagai penghibur mereka, biar mereka
sabar dan menerima kenyataan yang ada, sering kali aku menceritakan pada mereka
tentang kisah Rasulullah, sang Nabi yang sudah yatim sejak dalam kandungan, dan
ketika berumur beberapa tahun, sang ibu turut meninggalkannya. Namun beliau
tetap lapang dada dan bersabar. Bahkan di usianya yang masih enam tahun ia
sudah bekerja sebagai pengembala.
“Bukan cuma itu saja,” tambahku setelah ia
melepas pelukannya.
“Sama Ustadzah Nella, Ami juga boleh
panggil Ummi.” Aku melirik pada Nella. Dia tersenyum.
“Bolehkan, Bolehkan Dzah.. kalau Ami
panggil Abi ke Ustadz dan panggil Ummi ke Ustadzah?.” Pertanyaan Ami sempat
membuat Nella salah tingkah. Ia melirikku. Aku tersenyum.
“Boleh. Tentu saja boleh. Masak sih
Ustadzah nggak seneng kalau dipanggil Ummi sama Ami.”
Dan Nella pun dipeluknya. Bocah kecil itu
lalu melompat-lompat sambil berteriak kegirangan, “Ami punya Abi, Ami punya
Ummi, Ami punya Abi, Ami punya Ummi,” kemudia ia berlari mencari teman-temannya
di dalam asrama.
“Lihat betapa hahagianya dia Ummi.... Eh,
Nella!“
***
“Mas Dani,” Alda berlari-lari kecil ke arahku.
Rambut hitamnya yang tergerai panjang melambai-lambai di terpa angin. Wajahnya
sedikit pucat.
“Ada apa?.”
“Nella sakit,” katanya sambil mencari
sesuatu di tasnya.
“Sakit apa?,” tanyaku sedatar mungkin,
karna tak ingin Alda curiga padaku hanya karena aku panik oleh kabar sakitnya
Nella. Memang sudah tiga kali pertemuan, Nella tidak masuk kuliah.
Alda mengeluarkan sepucuk surat dari
tasnya dan menyerahkannya padaku.
“Nih, Mas baca sendiri. Tadi Nella titip ini
sama aku.”
“Surat izin sakit kah?,” tanyaku
sekenanya, sekali lagi, biar Alda tidak menyangka macam-macam atau setidaknya
ia tahu kalau aku tidak tahu sama sekali perihal surat ini.
Tapi Alda malah berlalu begitu saja, tanpa
sepatah kata. Cemburukah dia? Atau mungkin kecewa karna dulu
surat-suratnya tidak pernah aku tanggapi?.
Dulu, aku sering menghindar bila ia mau
bicara berduaan denganku. Sampai akhirnya aku terpaksa harus menolaknya terus
terang. Aku jelaskan kalau aku tidak suka berduaan dengan wanita, apalagi
pacaran. Namun Alda tidak mau menyerah. Pengalamannya sejak SMP sampai saat ini,
membuat ia mengambil kesimpulan bahwa “Tak ada laki-laki yang menolak untuk diajak
pacaran oleh cewek cantik seperti dirinya”. Akhirnya dengan cara tertulis
ia rutin melayangkan surat-suratnya.
Ia pernah sangat marah padaku ketika
suratnya langsung aku kembalikan tanpa kubuka terlebih dahulu. Lalu setelah
kejadian itu ia tidak mau lagi menyapaku sampai beberapa hari.
Aku pun merasa bersalah padanya, tapi aku
tidak tahu bagaimana caranya meminta maaf. Apa nanti tidak membuat ia salah
tanggap dengan maksud baikku? Aku takut nantinya ia malah beranggapan kalau
aku menerima cintanya. Tapi apa salahnya minta maaf?. Aku coba menghubunginya
via telepon, namun segera ia putus, sampai tiga kali. Aku SMS, dia tidak
membalasnya.
Besoknya ia masuk pelajaran. Aku hampiri
dia.
“Maaf, atas kejadian itu. Aku salah.”
“Mungkin benar kata Mas dulu. Kita lebih
baik berteman daripada pacaran,” katanya dengan senyum dipaksakan.
“Insya allah ini jalan yang terbaik,”
timpalku dengan senyum simpul.
***
Setelah berputar-putar di areal kampus dan
tidak menemukan tempat yang sepi sekaligus nyaman untuk membaca surat dari
Nella. Aku putuskan untuk membacanya di dalam toilet umum. Dan seperti dugaanku,
ternyata toilet sedang sepi.
Aku masuk ke toilet dan langsung
menutupnya rapat-rapat. Sambil bersandar ke dinding, kuraih surat yang tadi
diantar Alda. Pink, warna kesukaan Nella dan warna yang turut menyihirku.
Memang warna ini agak beda dengan warna lainnya. Karna, Nella dengan kerudung
pinknya sangat beda dengan Nella dengan kerudung warna lainnya. Walaupun
sama-sama cantik, tapi Nella dengan kerudung Pink bagai bidadari atau mungkin
lebih cantik lagi, dan membuatku sering terlanjur memandanginya lama-lama.
Padahal aku tahu ini dosa dan berbahaya.
Di sampul depan, kulihat nama ‘Mada’ —nama
kecilku, dan Nella sering memanggilku dengan nama itu— ditulis tangan dengan
indah, ciri khas tulisan Nella. Aku sampai hafal tulisan tangan Nella karna aku
sering meminjam buku-bukunya. Nella suka membubuhi catatan-catatan tangan hampir
di setiap bukunya.
Kubuka dan secarik kertas kutarik keluar. Kubuka
Iipatannya yang rapi, lalu kubaca.
Buat : Kak Mada
Assalamu ’alaa man ittaba’ al-hudaa
Semoga kita senantiasa tetap dalam
rengkuhan dan dekapan rahmat-Nya. Amin.
Sebelumnya, beribu maaf Ella haturkan
ke pangkuan Kakak. Semoga diri yang lancang ini sudi Kakak maafkan.
Setelah sekian lama bara itu kupendam,
sekam tak mampu menahan gejolak api yang meradang, menerjang rasa dan asa tuk
segera memiliki. Takut kehilangan adalah hantu yang menakuti.
Ah.. . esok pasti kan menjelang. Mimpi
buruk jua kan menghampiri. Saat itu hanya tinggal puing dan sejuta kenangan,
tanpa Kamu.
Terima kasih telah menganggap Ella
adik. Ella masih ingat saat Kakak bercerita tentang adik Kakak yang bernama
Zella, saat itu juga Kakak menganggap Ella seperti adik sendiri. Namun bagi
Ella terlalu kecil jika Ella harus menyayangi hanya sekedar sebagai Adik. Karna
Ella sudah melangkah lebih jauh, bahkan terlalu jauh.
Jika nanti Ella tidak bisa ikut mengantar
kakak ke bandara, buat melanjutkan studi Kakak di Kairo Mesir, seperti yang
pernah Ella janjikan. Ella cuma titip satu pesan : “Jangan lupakan Ella, seorang
yang pernah mengasihi Kakak”.
Juga kirim salam pada istri Kakak kelak
-yang pernah kakak impikan seperti bidadari itu-, “Betapa beruntungnya Kau yang
mendapatkan semua cinta kakakku.” Itu saja.
Kak. Ella ingin menjadi Bidadari kakak
kelak di surga, karna tak mungkin kita bersatu di dunia.
Wassalam.
Adikmu,
Nailul khoiriyah
Kudekap surat mungil di tanganku. Oh dia
yang kucinta, ternyata kau pun sama merana denganku. Maafkan aku yang tak
pernah merasakan tanda-tanda itu. Mengapa aku tidak membaca gelagat rindu dan isyarat
cinta yang kau kirimkan.
Sambil terpejam dan tersandar, beberapa
penggal kisah kami berdua kembali berkelebat di pikiranku. Ruhku seakan terbang
melayang, kembali ke masa lalu.
Saat itu kami seangkatan bertamasya,
menikmati liburan di pantai. Saat teman-teman sedang asyik ngobrol dan minum es
degan di warung, kulihat Nella sedang berdiri seorang diri di bibir pantai.
Panorama laut biru dengan langit jingga dan matahari orange, menampilkan
lukisan yang maha agung. Kakinya yang tak beralas, dibelai-belai oleh air laut
yang pasang-surut. Kerudung Pinknya berkibaran. Matanya memandang lurus kearah
mentari sore yang hampir terbenam.
Kuhampiri dia setelah terlebih dahulu
kulepas sandal yang aku pakai.
“Nella”
“Hmmh…” Nella menoleh sebentar lalu
kembali larut. Di sampingnya aku turut menyaksikan matahari ‘telur’ itu,
merayap sedikit demi sedikit ke dalam laut. Sampai nanti ia terbenam.
“Kak. Aku ingin seperti mentari itu.”
“Maksud kamu?.”
“Kakak tahu, kenapa mentari baru
menyejukkan justru ketika ia akan hampir tiada?.”
Mungkin Nella mau menyinggung akhir
semester mendatang. Dan setelah wisuda nanti, kami pasti akan berpisah. Oh
betapa cepatnya waktu ini berputar. Seperti kata para pujangga, andai
bisa ku hentikan waktu barang sehari untuk sekedar memandangi wajahnya pasti
akan kulakukan. Tapi waktu malah berlari, bahkan melesat jauh
meninggalkanku hancur dengan sejuta puing kenangan lain.
“Mungkin ia ingin menyalami alam dengan
begitu hangatnya, sebelum ia pergi meninggalkannya,” kataku. Kulihat wajahnya
begitu sayu.
“Nella. Setelah lulus nanti, kamu ingin ke
mana?”
“Sebenarnya Nella punya sebuah keinginan
setelah lulus nanti. Tapi setelah Nella yakin itu tak mungkin terjadi, Nella
tidak lagi mengharapkan apa-apa selain kebahagiaan di akhir kehidupan ini.”
Akhir hidup? Apa mungkin maksudnya
adalah akhir semester?. Ah entahlah. Memang akhir-akhir ini Nella lebih sering
menyinggung soal hidup dan akhir hidup. Kadang aku pernah berpikiran itu adalah
pertanda akhir hidup Nella. Soalnya menurut mitos-mitos yang pernah mewabah di
kampungku, orang yang sering mengigau kematian itu pertanda bahwa kematiannya
sudah amat dekat, Tapi cepat aku buang jauh-jauh pikiran itu. Terlalu ngeri
untuk sekedar membayangkannya. Mungkin fobia perpisahan membuat pikiranku
sering membayangkan yang tidak-tidak. Namanya saja takut berpisah.
“Kalau Kakak mau ke mana?.”
“Aku mau melanjutkan studiku ke Kairo,
Mesir. Dan aku ingin nanti menjelang keberangkatanku, kamu ikut mengantarku
sampai ke bandara.”
“Insya Allah, nanti Nella antar kok. Emang
mau berapa lama di sana?.”
“Mungkin barang dua atau tiga tahun.”
“Apa tidak keburu tua di sana. Atau kakak
malah... punya rencana menikah di sana?.”
Kutolehkan wajahku. Aku menyangka kalau
aku akan menemukan sebuah wajah yang tersenyum karna sudah mencandaiku. Tapi tidak.
Dia bahkan tidak berpaling dari mentari di kejauhan sana. Ujung bibirnya tidak
ditarik.
“Aku sih terserah calonku nanti, apa dia
mau menungguku selama aku di Kairo atau kita mau kawin dulu,” candaku. Berharap
keningnya berkerut, lalu menertawakanku. Tapi tidak. Ia mungkin menganggap
kata-kataku serius. Wajahnya tetap tidak menoleh dan keningnya tidak berkerut.
“Kira-kira, seperti apa sih calon yang diimpikan
oleh kakakku ini. Pasti dia sangat beruntung mendapatkan suami seganteng
kakakku ini,” tanggapnya datar.
Ah, Nella. Kenapa kau bertanya seperti
itu. Sebenarnya, maksudku ingin kau turut mengantarku tiada lain karna
kaulah calon yang kuimpi-impikan itu. Aku ingin kaulah yang menunggu
kedatanganku dengan sepenuh cintamu.
“Kamu sungguh ingin tahu seperti apa calon
kakak?.”
Ia menoleh, “Ya,” jawabnya sambil
mengangguk. Tapi kulihat anggukannya lemah, dan sinar matanya seakan redup.
“Dia itu cantik, seperti bidadari,”
jawabku sambil memandangnya tajam. Aku ingin memberi tahu kalau bidadari itu
sebenarnya adalah dia.
Tapi dia malah kembali menoleh ke arah
matahari yang sudah menyentuh permukaan air.
“Nella, boleh tidak, kalau aku memanggilmu
Ella?,” ucapku hati-hati, takut kalau dia tidak suka.
“Ella?,” ulangnya sambil menoleh dan dengan
dahi berkerut.
“Ella. Tanpa ‘N’. Entah kenapa aku punya
pikiran seperti itu, bukannya aku mau mengubah-ubah nama kamu. Tapi menurutku
nama itu lebih simpel. Itu pun menurutku, terserah kamu, bila kamu tidak suka,”
ucapku dengan berbagai alasan, takut dia tersinggung atau tak suka.
Tapi ternyata Nella malah tersenyum dengan
begitu manisnya. “Ella, Ella, nama yang bagus, malah aku suka. Apalagi itu nama
dari kakak. Jadi kita sama-sama punya nama yang hanya kita berdua yang tahu.
Dulu setelah Kakak cerita kalau nama kecil kakak adalah ‘Mada’ maka Kakak
sering aku panggil kak Mada, dan kakak malah suka.”
Matahari sudah tenggelam hampir seutuhnya
dan Nella kembali memandanginya. Namun kali ini Dengan air mata menggenangi
pelupuk matanya.
“Ada apa Ell?”
“Nggak. Nggak ada apa-apa,” jawabnya lalu cepat
berlari. Meninggalkanku dengan penuh penasaran.
Ada misteri apa sebenarnya?. Saat kulihat
matahari itu sudah hilang, yang tersisa tinggal siluet sinarnya yang kemerahan.
Dan kembali aku berpikiran yang tidak-tidak.
DOR DOR DOR.. “Udah belom, lama banget,”
umpat seseorang.
Ah, Aku baru tersadar dari lamunanku. Ternyata
aku masih berada di dalam toilet. Segera kukantongi surat Ella lalu kubuka
pintu dengan sedikit senyam-senyum. Kulihat mahasiswa gendut yang menungguku
memegangi perut besarnya erat-erat dengan sebelah tangannya, sedang tangan lainnya
memegang jalur belakangnya. Mungkin dia sudah tak tahan ingin segera jongkok di
WC.
Belum sepenuhnya aku keluar dari pintu
toilet, dia langsung nyerobot masuk. Namun sebelum dia menutup pintu dengan sempurna,
tiba-tiba Brooooot broot........ broootttt... “Akh” pekikku sambil memegang
hidung. karna bersamaan dengan itu, bau yang sangat tengik menyerbu ke dalam
hidungku. segera aku ngacir dengan perut mual-mual.
***
Kurebahkan tubuhku di atas kasur di kamar
kosku. Lelah, penat, dan letih terasa sangat menghimpit tubuhku. Seharian
beraktivitas membuat tubuhku kehabisan energi. Pikiran terasa buntu jika sudah
begini. Padahal sekarang waktunya aku mengulang kembali hafalanku. Biar tidak hilang,
aku selalu mengulangi hafalan setiap harinya lima juz. Sehingga setiap pekannya
aku pasti sudah mengkhatamkan al-Qur’an dengan sempurna, tepatnya setiap Jum’at
pagi aku mulai dari awal dan berakhir pada Kamis sore sebelum magrib, sore ini.
Kupejamkan mata lalu kutarik nafas
pelan-pelan. Aku tahan sebentar di perut kemudian menghembuskannya dengan
perlahan lewat mulut. Fiuuhhh.... Kuulangi tiga kali, lalu kubuka mataku. Ah...
lega rasanya, pikiranku kembali jernih, kepalaku terasa plong, beban berat dan
kejenuhan yang tadi kurasa kini sudah hilang.
Segera aku bangkit dan melangkah ke luar
menuju kamar mandi. Aku tidak ingin berlarut-larut dengan jam istirahat yang nanti
akan menyebabkanku terlena kemudian malah tertidur pulas dan mengorbankan
jadwal aktivitas yang sudah aku target sebelumnya. Target dengan skala
prioritas ini kubuat untuk jangka panjang. Bahkan sampai sepuluh tahun ke depan
-termasuk married- sudah aku rencanakan masak-masak. Memang kadang
melelahkan tapi itulah prinsip. Dan masa depanku sudah kuatur jauh-jauh hari
sebelumnya. Prinsipnya ‘Rencanakan apa yang ingin kau lakukan dan lakukanlah
apa yang telah kau rencanakan’.
Termasuk saat ini, bulan ini dan tahun ini
juga telah terencana sejak empat tahun yang lalu ketika aku baru pertama kali
melangkahkan kaki ke Perguruan Tinggi. Aku harus menyelesaikan kuliahku tanpa
harus terhambat. Dan sekarang, al-hamdulillah satu programku telah
terselesaikan dengan baik. Skripsiku mendapatkan nilai terbaik, dan aku lulus.
“Mas Dani nggak makan dulu?,” tegur Andi
teman kosku, ketika aku baru keluar dari kamar mandi.
Seperti biasa, sore-sore begini dia sedang
asyik melahap sebuah buku. Dengan ditemani segelas es sirup dan makanan ringan
ia betah lama-lama duduk di kursi dengan daya konsentrasi tetap stabil. Aku
menjulukinya Predator Buku. Karna memang di antara kami berempat yang
menempati rumah kos ini, hanya dialah yang paling doyan sama yang namanya buku,
sampai-sampai dia punya rak khusus untuk koleksi-koleksi bukunya yang cukup
banyak itu. Itu sangat menguntungkan bagiku. Ketika aku butuh referensi,
sebelum ke perpustakaan atau Gramedia, terlebih dahulu aku melongok
buku-bukunya.
Beda dengan Saiful dan Suryo, Saiful lebih
suka main dan keluyuran, kalau tidak Play Station ya pasti keluyuran.
Katanya sih dia punya pacar. Kalau Suryo lehih banyak berada di atas kasur atau
tidur.
“Kan, hari Kamis,” kataku mengingatkan.
“Oh iya, maaf mas. Aku lupa kalau mas
sedang puasa.”
“Saiful mana?.”
“Biasa, paling sedang manjain pacarnya ke
mall.”
“Oh. Sudah kalau begitu. Ehm.. kamu sudah
sholat Asar?.”
“Entar aja mas, lagian masih baru adzan
kayaknya,” jawab Andi seperti biasanya. Setiap kali aku mengajaknya untuk shalat
jamaah bareng di awal waktu, dia selalu menjawab seperti itu. Biasanya di kosan
ini yang mau diajak berjamaah cuma Saiful.
“Ya udah, aku sholat dulu ya.”
“Ok,” jawabnya sambil tetap menekuri
setiap inci deretan kata di dalam bukunya yang berjudul “Digitarium”.
Setelah sholat dan sedikit dizikir, aku
langsung membaca surat al-Ahqaq kemudian surat Muhammad, juz ke
26 bil-ghoib (dengan tanpa melihat teks). Sampai surah al-Waaqi’ah
semuanya terasa lancar bagai mengalir begitu saja dari bibirku. “Wa huurun
‘iin” dan bidadari-bidadari yang elok.
Surah al-Waaqi’ah memang indah, di
dalamnya menceritakan tentang kehidupan surga dan kenikmatan-kenikmatan yang
Tuhan janjikan kepada hamba-Nya. Entah mengapa setiap kali aku membaca ayat
tentang bidadari, hatiku selalu bergetar. Ah, mungkin hanya perasaanku saja
yang terlalu berlebihan. Karna memang selama ini aku selalu penasaran dengan
bidadari pendampingku di dunia dan akhirat. Ataukah di akhirat saja atau
mungkin hanya di dunia saja. Tapi yang paling akhir ini, aku mohon kepada Allah
agar dijauhi.
Sambil meresapi maknanya, aku terus
membaca. Tiba-tiba, suara HPku membuyarkan “bidadariku”.
Kuhentikan keasyikanku sebentar. “Ah,
mengganggu sekali,” gerutuku.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.” Suara di seberang itu
sangat kukenal. Suara Alda.
“Ada apa, Al...?.”
“Mas bisa datang ke Rumah Sakit As-Syifa
sekarang?.”
“Memangnya ada apa?.”
“Nella sedang koma, penyakit jantungnya
kambuh.”
“Penyakit jantung?,” ulangku tidak
percaya. Selama ini Nella tidak pernah bercerita masalah ini.
“Maaf. Selama ini aku tidak menceritakannya
pada Mas. Itu karna janjiku pada Nella. Biar mas tetap konsentrasi dan bisa lulus
dengan baik. Sekarang saatnya aku cerita sama mas, kalau Nella itu sudah lama
mengidap penyakit jantung, dan menurut prediksi dokter penyakitnya tidak
mungkin bisa disembuhkan karna sudah terlalu akut dan..... ”
“Dan... apa?,” tanya gamang.
“Dan umur Nella sudah tidak lama lagi.”
Degh.. Tubuhku lemas. Oh, hatiku
begitu perih. Dia yang ku cinta sebegitu menderitanya. Ingin segera aku peluk
dia Iayaknya seorang kakak yang melihat adiknya di cekam ketakutan, atau
seperti kekasih yang melihat kekasihnya sedang dilanda sedih. Ingin ku peluk
dia dan ku katakan padanya “Tenanglah, ada aku di sini”. Ah, andai dia
halal hagiku.
Oh, mengapa semua itu terjadi padanya. Dia
yang selalu tersenyum dan tabah meski vonis dokter sangat menyakitkan baginya.
Dia yang begitu pasrah dengan nasib yang digariskan untuknya. Dia yang
menutup-nutupi rahasia kematiannya, tanpa mengeluh. Dia yang sudah rela atas
takdimya. Oh Tuhan, mengapa?. Oh Tuhan, kenapa?. Astaghfirullah.
Ampunilah aku Tuhan, aku khilaf.
“Mas?”.
“Halo”.
“Mas masih ada di sana?”.
“Halo.. Mas baik-baik saja kan?”.
“I..iya saya baik..baik saja kok”.
“Kalau bisa, secepatnya Mas ke sini”.
“Insya’allah nanti sehahis Isya’
aku ke sana. Oh iya, titip salam dulu ke Ella”
“Ella?” ulangnya. Aku segera sadar kalau
nama itu hanya aku dan Nella yang tahu.
“Maksudku .... Nella. Tolong sampaikan
padanya, salam dari kak Mada akhir surah Ali Imran”. Nella juga sering
rnengingatkanku akan ayat ini. Ayat yang menganjurkan agar kita bersabar.
“Baik, akan saya sampaikan nanti kalau
sudah bangun”.
“Assalamu ’alaikum”
“Wa’alaikumsalam”
Konsentrasiku buyar. Aku coba herbagai
terapi untuk mengembalikan kestabilan daya konsentrasiku. Namun semuanya gagal.
Akhirnya Aku sadar kalau aku sedang tidak lelah pikiran melainkan sedang kacau
pikiran dan hati terguncang. Maka terapi apapun tidak akan membantu sama
sekali. Ku Ianjutkan bacaanku yang masih tinggal tiga juz lagi untuk sampai
pada batas akhir target, namun kali ini aku membacanya bin-nadzar (dengan
membaca teks) karna tidak mungkin aku memaksa untuk membacanya bil-Ghoib dengan
lancar dalam kondisi seperti ini.
Setelah rampung juz 30, aku panjatkan doa
dengan penuh linangan air mata untuk keselamatan Nella. Semoga Tuhan sudi
meringankan cobaan hamba-Nya yang tabah itu. Semoga kami masih diperkenankan
bersama lagi. Amin.
***
Malam tidak begitu pekat, bulan separo
bergelantungan di awan mengiringi laju motorku yang menggila. Jalan beraspal
yang dilindas roda motorku memercikkan sisa-sisa air gerimis.
Ku pacu motorku dengan tergesa-gesa, aku
tidak ingin terlambat. Dinginnya Angin malam dan licinnya jalanan tak bisa
menghambat keinginanku untuk segera duduk di sisi Nella begitu dia sadar nanti.
“Kini baru aku mengerti, Mentari itu
adalah kau. Tapi kenapa tidak kau ceritakan semuanya padaku?. Bagaimana seorang
adik menyimpan rahasia besar kepada kakaknya, apalagi itu menyangkut hidupnya?.
Dulu kamu bilang hanya terkena penyakit asma, ketika aku temukan kau sedang meringis
menahan sakit sambil mendekap dadamu. Kenapa kau tidak terus terang padaku
Ell?. Kamu ingat bidadari yang pernah ku ceritakan padamu dulu?. Kaulah
bidadari yang ku impikan itu Ell” batinku miris.
Kurasakan laju motorku terasa Iebih
kencang. Di depan, sebuah truk dari arah berlawanan terlihat berjalan zig-zag.
Entah karena bannya kempes atau memang sopirnya yang mabuk. Aku agak menepi.
Sorot lampunya membutakan mataku, tangan kiri ku angkat menghalangi sinarnya.
“Akh....”
Truk itu hendak menyerempetku. Ku banting
stir ke kiri. Keseimbanganku hilang. Sebentar kulihat aku sedang melaju
menghantam beton.
Brakkk...!!!
“Allah..”, lalu gelap
***
Nella tak tertolong, setelah tadi sempat
siuman sebentar. Alda menyampaikan salam dari Dani. Nella tersenyum, lalu
berkata dengan terbata-bata.
“Sampaikan juga pada kak Mada, bidadarimu
akan selalu merindukanmu di sana”.
Tak lama setelah itu, Nella menutup mata
untuk selamanya. Alda menangisi teman terbaiknya itu. Teman yang telah
membimbingnya meraih manisnya islam yang kaffah. Nella pemah bercerita
kalau sejak duduk di bangku MTs, penyakit jantung itu bersarang di tubuhnya.
Nella juga bercerita bagaimana dia mengahafal al-Qur’an hanya dalam waktu satu
tahun setengah. Kemudian bagaimana dia minta kuliah kepada ayahnya, padahal
dokter menyarankan agar dia banyak istirahat. Malah Nella bilang kalau
istirahat itu akan mempercepat kematian dan membuat sisa hidupnya akan
membosankan dan tidak bermakna.
“Maaf. Aku belum sempat memakai jilbab
sebelum kau pergi. Mulai hari ini aku berjanji akan memakai jilbab. Untuk
mengenangmu, sahabatku”.
Dani belum datang. Tadi dia berjanji
datang setelah Isya’. Mungkin dia masih dalam perjalanan. Alda tidak bisa
membayangkan bagaimana perasaan Dani nanti kalau mendengar kematian Nella. Alda
harus menyampaikannya dengan hati-hati. Juga pesan terakhir Nella, Dani tidak
boleh terkejut.
Di seberang sana, beberapa petugas sedang
mengevakuasi mayat seseorang dengan dipan dorong. Tangan mayat itu terjulur
penuh darah, sepertinya kecelakaan. Alda menepi, membiarkan rombongan itu
lewat. Dia tidak ingin melihatnya. Tapi ketika rombongan itu melintas di
depannya, tidak sengaja Alda melirik wajah korban itu. Alda terlonjak kaget,
wajah mayat itu seperti sedang tersenyum. Tapi bukan itu yang membuat Alda
kaget. Melainkan karena vajah itu adalah milik seseorang yang di kenalnya
dengan baik. Wajah yang selalu menghiasi mimpi-mimpinya di malam hari. Dan
wajah seseorang yang kini sedang dia tunggu kedatangannya. Dani.
Tiba-tiba seluruh persendiannya lemas.
Matanya berkunang, bumi seakan berputar. Hampir dia tidak sadarkan diri. Alda
jatuh terpuruk di lantai rumah sakit bersimbah air mata, memandangi dipan
dorong yang terus menjauh ke kamar mayat.
“Temyata takdir tidak ingin memisahkan
kalian berdua. Semoga kalian bahagia disana”.
0 comments:
Post a Comment