Tatkala bumi dan langit murka atas tingkah laku manusia yang durhaka kepada nabinya. Dan tuhan merestui keduanya untuk meluapkan kemarahannya, maka aku; Air oleh keduanya diminta untuk unjuk gigi,pamer aksi,betapa tidak berdayanya manusia menghadapi kekuatan alam yang hanya segelintir saja dari makhluk Tuhan. Entah kenapa keduanya hanya meminta bantuanku saja. Kenapa jasa si api, angin dan tanah tidak dipakai. Padahal menurutku kekuatan mereka tak bisa dipandang sebelah mata.
“Aku sudah mengantongi nama kaum ’Ad,” kata angin, menjelaskan kalau dia sudah memiliki tugas berbeda.
“Aku juga sudah diberi jatah Qorun dan kaum Tsamud,” kata si tanah.
Tinggal si api belum memberi alasan. “Kalau kau tidak mempunyai tugas, kau temani aku ya,” pintaku pada si api.
Api tersenyum dalam kobarannya. “Kau ini bagaimana sih, ini adalah tugas tuhan. Dan tuhan tidak menyuruhku untuk ikut serta dalam misimu kali ini. Sudah kamu jalani saja. Lagi pula aku sedang melatih diri untuk menjadi dingin. Kau bayangkan saja, bagaimana sulitnya merubah tubuh yang panas menjadi dingin, bahkan tanpa bantuan si angin.”
Aku tertegun “untuk apa kau berlatih untuk menjadi dingin? Bukankah seharusnya kau meningkatkan daya bakarmu?.”
“Seorang Nabi akan dilemparkan ke tubuhku dan aku harus menyelamatkannya dengan izin tuhan agar dia merasa dingin di dalam dekapanku.”
Aku sebenarnya masih mau membujuk salah satu dari mereka agar menemaniku dalam menjalankan tugas ini. Tapi sudahlah. Segala sesuatu pasti ada hikmahnya. Tuhan hanya merestuiku saja sebagai senjata penghancur kali ini. Sedangkan titah tuhan tidak mungkin tidak beralasan.
Dan nyatanya, setelah aku pikir-pikir, ternyata benar juga. Kalau seandainya si api yang sangat rakus itu yang ditugaskan. Dia pasti melahap semua yang dilewatinya, lagi pula katanya dia masih belum bisa mengendalikan suhu badannya. Dia tentunya belum bisa menyesuaikan panas tubuhnya dengan korbannya. Padahal tidak semua makhluk durhaka kepada tuhannya. Juga kalau yang ditugaskan adalah si tanah yang dengan sekali belahan mampu melahap seluruh makhluk yang bertengger diatasnya, atau si angin yang tak bisa pilih kasih jika sudah bertiup sekencang tornado, maka bukan hanya makhluk yang durhaka saja yang akan celaka, tapi juga si iman akan ikut terhabisi.
Baiklah, tugas ini akan aku laksanakan dengan sebaik-baiknya. Takkan ada satu-pun makhluk durhaka yang akan aku lepaskan. Mereka akan aku kantongi dalam Samuderaku tanpa pandang bulu. Tapi bagaimana dengan si iman?. Oh ternyata aku tidak perlu pusing-pusing memikirkan keselamatan mereka dengan membuat mereka terapung-apung atau menghanyutkan sebilah kayu kepada mereka sebagai pegangan agar mereka selamat dari sepak terjangku. Tuhan sudah memerintah nabinya untuk membuat sebuah perahu besar untuk memuat hamba-hambanya yang beriman. Konsentrasiku cukup pada mereka yang tidak ada di dalam perahu itu saja.
Maka ketika waktu itu tiba, Aku segera meluncur deras ke bumi melalui celah-celah langit. Aku juga berloncatan dengan gesit dari sela-sela bumi. Berusaha mengumpulkan air sebanyak-banyaknya dan menciptakan banjir bandang yang sangat dahsyat di muka bumi. Gunung-gunung tak ada satupun yang terlihat. Sehingga daratan berubah menjadi lautan yang tak bertepi.
Tarian ombak yang kumainkan meliuk-liuk dengan cepat, begitu melihat makhluk-makhluk durhaka berusaha menyelamatkan diri, aku seret mereka, lalu kutelan tanpa ampun. Tapi begitu tarianku sudah mendekati perahu Nuh aku segera kembali menjauh. Aku tidak ingin membuat mereka terganggu dengan tarian kematianku. Perjalanan mereka kubuat senyaman mungkin. Lanyo adem ayem. Aku memberikan servis excelen kepada mereka hingga mereka bisa istirahat dengan tenang setelah selama ini mereka telah berdakwah dan membuat kapal yang super besar yang kini dikendarainya itu.
Aku terus saja mempermainkan permainanku hingga terjadi sebuah masalah. Ketika itu Nuh melihat putranya nyimplung-ngentas, terombang-ambing berlama-lama menikmati pedihnya siksa tuhan sebagai pelajaran kepada para generasi berikutnya. Nuh malah berseru “wahai anakku, naiklah ke kapal bersama kami.”
Aku bingung, tarianku kuhentikan sejenak. Apakah akan kuberikan Kan’an kepadanya karena memang dia putranya dan Nuh, nabi itu memintaku agar anaknya diselamatkan. Tapi sekalipun dia adalah seorang anak nabi, bukankah dia termasuk orang-orang yang musyrik. Dia bukan tergolong hamba Allah yang beriman sehingga aku harus menyelamatkannya. Dia bahkan menjadi provokator dan penghambat dakwah ayahnya sendiri.
Aku bimbang. Akankah aku penuhi permintaan Nuh, karena mungkin saja berkat doa mustajabnya si Kan’an bisa berubah dalam sekejap menjadi hamba yang beriman. Bisa saja. Tak ada yang mustahil. Apalagi dia adalah anak seorang nabi yang bergelar Ulul Azmi.
Ketika aku hendak menyerahkannya kepada Nuh, Kan’an tiba-tiba menolak “tidak! Aku akan menyelamatkan diri ke gunung,” katanya angkuh menolak ajakan ayahandanya. Dia mulai berenang menuju sebuah gunung yang tertinggi, satu-satunya gunung yang belum aku ratakan.
Nuh kembali mengingatkan, “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) yang maha penyayang.” Tapi Kan’an kembali menolaknya. Maka tak ada lagi keraguan bagiku, tak ada yang selamat kecuali atas kehendak tuhan dan tuhan tidak menghendakinya selamat meski dia adalah anak seorang nabi. Segera kutarikan kembali lagu kematian yang sempat terhenti. Kuhempaskan tubuh Kan’an kesana kemari sebelum akhirnya kutelan dia kedasar tubuhku yang terdalam.
Tapi Nuh ternyata protes kepada tuhan, “Tuhan, bukankah dia anakku, dan anakku adalah bagian dari keluargaku. Sedangkan engkau telah berjanji akan menyelamatkan seluruh keluargaku?.” Aku bergidik. Aku tidak tahu kalau ternyata tuhan telah menjanjikan keselamatan kepada seluruh keluarga nabinya. Padahal anak Nuh telah aku tenggelamkan. Tuhan pasti akan murka kepadaku.
Ternyata tuhan malah mendukungku, “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan keselamatannya), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.” Nuh terdiam meratapi putranya.
Segera kulafalkan tasbih dan tahmid berkali-kali. Aku bersyukur karena tindakanku tidak menyalahi perintah dari tuhan penciptaku.
Hingga apabila perintah Kami datang dan dapur telah memancarkan air,Kami berfirman: “muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman.”Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit. Dan Nuh berkata: “naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya.” Sesungguhnya tuhanku benar-benar Maha pengampun lagi maha penyayang. Dan bahtera berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. (Qs. Huud [11] 40-420.
0 comments:
Post a Comment