Bayangmu, adalah semangat
buat cita-citaku
Menantimu, adalah alasan
hidupku
Rasa rindu kian menusuk dalam dada
Menunggu saat waktu tiba
Entah seperti apa ayu
engkau
Kehadiranmu sangat kurindu
By:
Afnan
Kulipat kertas ditanganku. dan kumasukkan kedalam
amplop kecil warna merah jambu. lalu kutulisi, "Buat calon
istriku" disampul depannya. Namun aku tidak tahu, hendak kemana aku
tujukan alamatnya. Entah kenapa, akhir-akhir ini aku sering menghayal,
membayangkan seperti apa kiranya calon pendampingku kelak. aku Cuma pasrah pada
pilihan orang tua. karna aku yaqin, keduanya lebih bijak dan arif. Toh, mana
mungkin mereka mau punya mantu sembarangan. Lagian, kalau aku sendiri yang
menentukan, mungkin pilihanku berdasarkan nafsu, bukannya agama. Yah, tuhan
yang nentukan jodoh manusia. sedang perantaranya, bisa berbeda beda. Kuusap
jenggot yang sudah melebat didagu. tak terasa kini umurku sudah dua puluh enam
tahun. semua teman sebayaku telah menyempurnakan agamanya. Bahkan, rata-rata
sudah menimang putra. Duh, andai bukan karena alasan Tholab al-Ilmi,
mungkin aku sudah berkeluarga pula.
"Syawir yuk, Nan !". Qusyairi membuyarkan
lamunanku.
"Eh, Qusy!, bab apa sekarang ?". terus
terang, aku sangat bersemangat sekali untuk kegiatan yang satu ini.
"Bab nikah, di juz empat". setelah aku
memilih kitab I'anah al-Thalibin diantara deretan kitab-kitab yang
tertata rapi di atas lemari, aku bergegas mengekor dibelakang Qusyairi.
menyusuri gang-gang sempit diantara komplek bangunan pondok pesantren, menuju
gedung madrasah, tempat kami para santri senior mendiskusikan kitab-kitab
kuning karya ulama' salaf.
***
Bangkalan, 09.00 Wis
"Kak afnan. anterin fitri kerumah teman ya.!
ada yang musti fitri tanyain, masalah kembalian pondok". Adikku, Fitri
yang nyantren di salafiyah merayuku dengan semangkuk mie goreng yang
disodorkannya. kalau sudah begini, maka jawabannya tergantung apakah aku
ngambil atau tidak.
"Afwan ya Ukhti. Brother lagi ngak nafsu makan
nih". elakku sambil kembali membaca novel Pudarnya Pesona Cleopatra
karya Habiburrahman el-Sirazi. Terharu dengan ending cerita kang Abik yang
begitu epik dalam menyajikan tiap karyanya. tentang kisah akhir seorang Niyala
yang ternyata dipersunting kakak angkatnya sendiri.
"Ah Kakak. sama adik sendiri kok pelit
sih". Fitri menghentakkan kakinya kelantai, sambil menaruh mie diatas
meja. wajahnya jadi bloon. begitulah kalau dia lagi ngambek.
"kalo ada keuntungan lain, maka akan kakak
pertimbangkan kembali. masak Cuma dikasih mie doang. tukang ojek aja, sekarang
minta dibayar mahal". bukannya jual mahal apalagi ngojek, pakek tawar
manawar segala. Namun, begitulah
hubunganku dengan adikku semata wayang. kami sering bercanda dan saling
gojloki. karna waktu kami berkumpul bersama keluarga, Cuma diwaktu liburan
pondok. namun dengan begitu, hubungan keluarga kami tambah akrab. karna kami
saling merasa rindu kangen saat jarak memisahkan kami. kami jadi saling
mendo'akan dan saling merindu satu sama lain.
"Em.. oke kalo begitu, entar Fitri kenalin sama
teman Fitri yang punya gelar Bidadari. dijamin halal kalo nganterin Fitri,
kakak ngak bakalan nyessel deh.". tawarnya kemudian, agar aku tertarik
tentunya. Tapi aku jadi kasian juga sama Fitri. karna sebenarnya, walau tanpa maksa
pun, aku pasti menyanggupinya.
"Oke.. demi adikku yang cantik dan imut ini.
dan karna pertimbangan-pertimbangan yang lainnya. maka kakak memutuskan, untuk
ngebantu dan bersedia mengantarkan ke tempat tujuannya dengan syarat-syarat
yang telah di sepakati bersama". akhirnya aku memutuskan, persis seperti
membaca SK yang resmi. dan dalam hitungan detik mangkuk mie sudah berada di
tanganku.
"Loh kok rasanya hambar, ya Fit ?".
"Jelas aja hambar, Fitri Cuma ngasih kecapnya
doang".
Fitri tertawa, sambil ngasih bungkus bumbu yang tadi
disimpanya. yah, kali ini aku kembali di kelabuhinya, dasar cerdik.
***
Di sebuah desa di bangkalan, 01.00 Wis
Ku parkir motorku dibawah pohon mangga yang rindang,
di halaman sebuah rumah megah dengan taman yang indah menghiasi sekelilingnya.
adikku langsung masuk kerumah itu tanpa permisi. aneh juga, bertamu kok tidak
pake' salam dan ketuk pintu dulu. mungkin ia sering kesini, hingga ia anggap
seperti rumahnya sendiri. sementara adikku didalam, aku melihat-lihat taman
yang terawat dengan indah di sekelilingku. bermacam jenis bunga diatas pot dan
vasnya tertata sedemikan rapinya. Warna-warninya sejuk di pandang. aromanya
harum semerbak, di bawakan angin kehidungku. Ehm.. aku jadi betah. disamping
teras sana mataku menangkap setangkai mawar merah yang baru merekah, berdiri
dengan anggunnya. Kudekati, dan kuciumi harum mewanginya.
"Assalamu 'alaikum".
Tiba-tiba seorang gadis, dari pintu gerbang
melangkah kearahku. kerudung merah muda yang dipakainya menunjukkan bahwa ia juga santri salafiyah, sama seperti fitri.
aku sedikit gugup, maklum aku belum pernah berhadapan langsung dengan
perempuan, apalagi gadis secantik ini.
"Wa'alaikum salam. santri salafiyah ya?
silahkan masuk. kebetulan Fitri juga ada di dalam".
"Fitri ada didalam ? sudah lama ?".
“Barusan".
Mungkin ia mengira aku salah satu tuan rumah ini.
Jadi, sesopan mungkin aku persilahkan. Eh.. jadi teringat sama janji fitri nih.
apa betul dia ya?. tapi bukannya langsung masuk kedalam, malah ia juga tertarik
pada mawar yang sedari tadi memesonakanku.
"Mawarnya cantik ya, boleh buat aku?".
pintanya sambil memetik tangkainya. aku bingung, soalnya aku bukan si empunya.
tapi biarlah, toh ia teman dari yang punya.
"Makasih ya!". dengan senyum manis ia
melangkah masuk. aku terpesona dengan sekilas senyum menawannya. tiba-tiba
fitri muncul dari balik pintu
"Masuk yuk! Ngak enak ada di luar ".
tawarnya sambil mengedipkan sebelah mata. Aku menurutinya, masuk kerumah besar
itu sambil clingukan. "kemana
cewek tadi ?" ungkapku kecewa, setelah masuk keruang tamu ternyata
fitri Cuma duduk sendirian.
"tenang. entar tak kenalin, tapi jangan sampe'
naksir. soalnya si bidadari sudah ada
yang punya. katanya sih, dia sudah di pinang oleh seorang santri". aku
sedikit kecewa dengan penjelasan adikku. yah kalau tau jadinya begini, mana
mungkin aku lulusin permintaannya. kayak ngak ada kerjaan aja, kenalan sama
cewek yang sudah punya tunangan.
"Ira… kok malah ngerepotin sih". adikku
menyapa gadis pembawa nampan berisi tiga gelas es sirup.
"ngak juga, si mbok sedang pulang kampong, jadi
aku deh yang ngelayanin tamu. lagian kalian kan jauh-jauh datang kesini".
upps.. jadi cewek yang barusan metik bunga itu,
memang pemiliknya. kenapa pake' izin ke aku segala. Ah, jadi malu aku kalo
ingat ketika mersilahin masuk tadi.
"silahkan kak esnya di minum, maaf
seadanya". sopan ia mempersilahkan, tak lupa sambil tersenyum manis. namun
tidak seindak yang sebelumnya. setelah aku tau, bahwa tidak ada harapan lagi
buat ngedapeti dia. begitu pula ketika adikku memperkenalkan aku dengannya,
semuanya terasa hambar. hanya saja yang kuketahui, namanya Ira dan dia nyantren
bareng adikku, itu saja.
***
Pesantren, 06.00 Wis
Hari ini. surat resmi keluar (boyong) dari pondok
telah ku terima. setelah kemarin, aku di telpon Ummy agar pulang, untuk
melaksanakan akad nikah yang tinggal satu hari lagi.
"Ummy ingin kamu nerima istrimu apa adanya.
mungkin kurang cocok dengan selera kamu. tapi Ummy yakin, dia yang terbaik dan
insyaallah kufu' dengan kamu" tutur Ummy mengingatkanku pada syarat
yang pernah ku ajukan buat calon pendamping hidupku. “seng penting akhlake
apik, le' iso seng santri my". ya, kadang aku ingin sekali menambah
dengan syarat-syarat yang lain. tapi biarlah Aby dan Ummy yang menentukan.
***
Bangkalan, 21.00 Wis
Akad nikah sudah di laksanakan. Namun, aku belum
tahu. seperti apa gerangan istriku yang telah sah aku nikahi barusan ?. yang ku
tahu, dia bernama Siti Juwairiyah binti al-marhum Haji Aminullah. Itupun, dari
seorang kiai yang tadi menjadi wakil
wali nikah dari pihak perempuan. langkahku terasa berat untuk kulangkahkan
menuju kamar pengantin. jantungku tiba-tiba berdenyut lebih kencang, seperti
genderang mau perang.. (eh kebablasan ke nyanyiannya dewa..) perasaanku galau,
antara rasa rindu ingin segera bertemu dengan seorang yang kini telah menjadi
separuh hidupku, setelah sekian lama aku menanti kehadirannya. dan rasa
penasaran yang selama ini telah mengusik hari-hariku, seperti apakah ia ?,
***
Ku buka pintu dengan basmalah. lalu ku ucapkan
salam.
"Assalamu 'alaikum wa rahmah wa barakah".
kemudian terdengar jawaban yang begitu merdu mendayu dari dalam. ku langkahkan
kaki kearah permaisuriku yang sedang duduk manis diatas ranjang pengantin.
wajahnya merunduk malu-malu. bisa kutebak, pasti ia juga merasa gugup seperti
aku.
"istiku, tidakkah kau perkenankan suamimu ini,
untuk sekedar menikmati indah cahaya wajahmu ?". tanpa menunggu jawabannya
yang terasa lambat, ku ulurkan tanganku, meraih dagu halusnya. lalu
kutengadahkan. dan wajah merona itu…
"Ira?". aku terlonjak kaget, hingga
tanganku hampir terlepas dari dagunya. tapi tangan Ira terlebih dahulu meraih
tanganku, dan menaruhnya di pipinya yang lembut. seperti seekor kucing jinak
yang minta untuk segera dibelai. Dari keterangan Ira, ternyata yang dulu
meminangnya adalah ummyku sendiri. yang di peruntukkan buat putra satu-satunya.
Dan yang tak kusadari, beliau dengan ibunya ira masih ada hubungan tali
kerabat. Ira masih kerabat jauhku. Dan aku tidak mengetahuinya. "ternyata
kaulah bidadari yang selama ini ku nanti-nanti, tersenyumlah istriku".
Istriku
Andai kutahu
Bahwa kamu kan
jadi istriku
'Kan ku tunggui
kelahiranmu
'Kan kusiapkan
berkaleng kaleng susu
Dan kain hangat
untuk tidurmu
Sebab terima
kasihku
Kau telah
sediakan waktu
Untuk temani
hidupku[1]
*_*_*_*
17, Juni 2007
(1) Puisi Dwy Sadoellah dalam kumpulan esai dan puisi “ah,
Santri”
2 comments:
Wah bener itu mas, kok kaya di film yah..... jadi pingin lagi nih...
keren mas ceritanya (y)
Post a Comment