Tuesday, July 17, 2012

Istriku Bidadariku


Pesantren, 20.00 Wis
Bayangmu, adalah semangat buat cita-citaku
Menantimu, adalah alasan hidupku
Rasa rindu kian menusuk dalam dada
Menunggu saat waktu tiba
Entah seperti apa ayu engkau
Kehadiranmu sangat kurindu
By: Afnan     
Kulipat kertas ditanganku. dan kumasukkan kedalam amplop kecil warna merah jambu. lalu kutulisi, "Buat calon istriku" disampul depannya. Namun aku tidak tahu, hendak kemana aku tujukan alamatnya. Entah kenapa, akhir-akhir ini aku sering menghayal, membayangkan seperti apa kiranya calon pendampingku kelak. aku Cuma pasrah pada pilihan orang tua. karna aku yaqin, keduanya lebih bijak dan arif. Toh, mana mungkin mereka mau punya mantu sembarangan. Lagian, kalau aku sendiri yang menentukan, mungkin pilihanku berdasarkan nafsu, bukannya agama. Yah, tuhan yang nentukan jodoh manusia. sedang perantaranya, bisa berbeda beda. Kuusap jenggot yang sudah melebat didagu. tak terasa kini umurku sudah dua puluh enam tahun. semua teman sebayaku telah menyempurnakan agamanya. Bahkan, rata-rata sudah menimang putra. Duh, andai bukan karena alasan Tholab al-Ilmi, mungkin aku sudah berkeluarga pula.
"Syawir yuk, Nan !". Qusyairi membuyarkan lamunanku.
"Eh, Qusy!, bab apa sekarang ?". terus terang, aku sangat bersemangat sekali untuk kegiatan yang satu ini.
"Bab nikah, di juz empat". setelah aku memilih kitab I'anah al-Thalibin diantara deretan kitab-kitab yang tertata rapi di atas lemari, aku bergegas mengekor dibelakang Qusyairi. menyusuri gang-gang sempit diantara komplek bangunan pondok pesantren, menuju gedung madrasah, tempat kami para santri senior mendiskusikan kitab-kitab kuning karya ulama' salaf.
***
Bangkalan, 09.00 Wis
"Kak afnan. anterin fitri kerumah teman ya.! ada yang musti fitri tanyain, masalah kembalian pondok". Adikku, Fitri yang nyantren di salafiyah merayuku dengan semangkuk mie goreng yang disodorkannya. kalau sudah begini, maka jawabannya tergantung apakah aku ngambil atau tidak.
"Afwan ya Ukhti. Brother lagi ngak nafsu makan nih". elakku sambil kembali membaca novel Pudarnya Pesona Cleopatra karya Habiburrahman el-Sirazi. Terharu dengan ending cerita kang Abik yang begitu epik dalam menyajikan tiap karyanya. tentang kisah akhir seorang Niyala yang ternyata dipersunting kakak angkatnya sendiri.
"Ah Kakak. sama adik sendiri kok pelit sih". Fitri menghentakkan kakinya kelantai, sambil menaruh mie diatas meja. wajahnya jadi bloon. begitulah kalau dia lagi ngambek.
"kalo ada keuntungan lain, maka akan kakak pertimbangkan kembali. masak Cuma dikasih mie doang. tukang ojek aja, sekarang minta dibayar mahal". bukannya jual mahal apalagi ngojek, pakek tawar manawar  segala. Namun, begitulah hubunganku dengan adikku semata wayang. kami sering bercanda dan saling gojloki. karna waktu kami berkumpul bersama keluarga, Cuma diwaktu liburan pondok. namun dengan begitu, hubungan keluarga kami tambah akrab. karna kami saling merasa rindu kangen saat jarak memisahkan kami. kami jadi saling mendo'akan dan saling merindu satu sama lain.
"Em.. oke kalo begitu, entar Fitri kenalin sama teman Fitri yang punya gelar Bidadari. dijamin halal kalo nganterin Fitri, kakak ngak bakalan nyessel deh.". tawarnya kemudian, agar aku tertarik tentunya. Tapi aku jadi kasian juga sama Fitri. karna sebenarnya, walau tanpa maksa pun, aku pasti menyanggupinya.
"Oke.. demi adikku yang cantik dan imut ini. dan karna pertimbangan-pertimbangan yang lainnya. maka kakak memutuskan, untuk ngebantu dan bersedia mengantarkan ke tempat tujuannya dengan syarat-syarat yang telah di sepakati bersama". akhirnya aku memutuskan, persis seperti membaca SK yang resmi. dan dalam hitungan detik mangkuk mie sudah berada di tanganku.
"Loh kok rasanya hambar, ya Fit ?".
"Jelas aja hambar, Fitri Cuma ngasih kecapnya doang".
Fitri tertawa, sambil ngasih bungkus bumbu yang tadi disimpanya. yah, kali ini aku kembali di kelabuhinya, dasar cerdik.
***
Di sebuah desa di bangkalan, 01.00 Wis
Ku parkir motorku dibawah pohon mangga yang rindang, di halaman sebuah rumah megah dengan taman yang indah menghiasi sekelilingnya. adikku langsung masuk kerumah itu tanpa permisi. aneh juga, bertamu kok tidak pake' salam dan ketuk pintu dulu. mungkin ia sering kesini, hingga ia anggap seperti rumahnya sendiri. sementara adikku didalam, aku melihat-lihat taman yang terawat dengan indah di sekelilingku. bermacam jenis bunga diatas pot dan vasnya tertata sedemikan rapinya. Warna-warninya sejuk di pandang. aromanya harum semerbak, di bawakan angin kehidungku. Ehm.. aku jadi betah. disamping teras sana mataku menangkap setangkai mawar merah yang baru merekah, berdiri dengan anggunnya. Kudekati, dan kuciumi harum mewanginya.
"Assalamu 'alaikum".
Tiba-tiba seorang gadis, dari pintu gerbang melangkah kearahku. kerudung merah muda yang dipakainya menunjukkan bahwa  ia juga santri salafiyah, sama seperti fitri. aku sedikit gugup, maklum aku belum pernah berhadapan langsung dengan perempuan, apalagi gadis secantik ini.
"Wa'alaikum salam. santri salafiyah ya? silahkan masuk. kebetulan Fitri juga ada di dalam".
"Fitri ada didalam ? sudah lama ?".
“Barusan".
Mungkin ia mengira aku salah satu tuan rumah ini. Jadi, sesopan mungkin aku persilahkan. Eh.. jadi teringat sama janji fitri nih. apa betul dia ya?. tapi bukannya langsung masuk kedalam, malah ia juga tertarik pada mawar yang sedari tadi memesonakanku.
"Mawarnya cantik ya, boleh buat aku?". pintanya sambil memetik tangkainya. aku bingung, soalnya aku bukan si empunya. tapi biarlah, toh ia teman dari yang punya.
"Makasih ya!". dengan senyum manis ia melangkah masuk. aku terpesona dengan sekilas senyum menawannya. tiba-tiba fitri muncul dari balik pintu
"Masuk yuk! Ngak enak ada di luar ". tawarnya sambil mengedipkan sebelah mata. Aku menurutinya, masuk kerumah besar itu sambil  clingukan. "kemana cewek tadi ?" ungkapku kecewa, setelah masuk keruang tamu ternyata fitri Cuma duduk sendirian.
"tenang. entar tak kenalin, tapi jangan sampe' naksir.  soalnya si bidadari sudah ada yang punya. katanya sih, dia sudah di pinang oleh seorang santri". aku sedikit kecewa dengan penjelasan adikku. yah kalau tau jadinya begini, mana mungkin aku lulusin permintaannya. kayak ngak ada kerjaan aja, kenalan sama cewek yang sudah punya tunangan.
"Ira… kok malah ngerepotin sih". adikku menyapa gadis pembawa nampan berisi tiga gelas es sirup.
"ngak juga, si mbok sedang pulang kampong, jadi aku deh yang ngelayanin tamu. lagian kalian kan jauh-jauh datang kesini".
upps.. jadi cewek yang barusan metik bunga itu, memang pemiliknya. kenapa pake' izin ke aku segala. Ah, jadi malu aku kalo ingat ketika mersilahin masuk tadi.
"silahkan kak esnya di minum, maaf seadanya". sopan ia mempersilahkan, tak lupa sambil tersenyum manis. namun tidak seindak yang sebelumnya. setelah aku tau, bahwa tidak ada harapan lagi buat ngedapeti dia. begitu pula ketika adikku memperkenalkan aku dengannya, semuanya terasa hambar. hanya saja yang kuketahui, namanya Ira dan dia nyantren bareng adikku, itu saja.
***
Pesantren, 06.00 Wis
Hari ini. surat resmi keluar (boyong) dari pondok telah ku terima. setelah kemarin, aku di telpon Ummy agar pulang, untuk melaksanakan akad nikah yang tinggal satu hari lagi.
"Ummy ingin kamu nerima istrimu apa adanya. mungkin kurang cocok dengan selera kamu. tapi Ummy yakin, dia yang terbaik dan insyaallah kufu' dengan kamu" tutur Ummy mengingatkanku pada syarat yang pernah ku ajukan buat calon pendamping hidupku. “seng penting akhlake apik, le' iso seng santri my". ya, kadang aku ingin sekali menambah dengan syarat-syarat yang lain. tapi biarlah Aby dan Ummy yang menentukan.
***
Bangkalan, 21.00 Wis
Akad nikah sudah di laksanakan. Namun, aku belum tahu. seperti apa gerangan istriku yang telah sah aku nikahi barusan ?. yang ku tahu, dia bernama Siti Juwairiyah binti al-marhum Haji Aminullah. Itupun, dari seorang kiai yang tadi menjadi  wakil wali nikah dari pihak perempuan. langkahku terasa berat untuk kulangkahkan menuju kamar pengantin. jantungku tiba-tiba berdenyut lebih kencang, seperti genderang mau perang.. (eh kebablasan ke nyanyiannya dewa..) perasaanku galau, antara rasa rindu ingin segera bertemu dengan seorang yang kini telah menjadi separuh hidupku, setelah sekian lama aku menanti kehadirannya. dan rasa penasaran yang selama ini telah mengusik hari-hariku, seperti apakah ia ?,
***
Ku buka pintu dengan basmalah. lalu ku ucapkan salam.
"Assalamu 'alaikum wa rahmah wa barakah". kemudian terdengar jawaban yang begitu merdu mendayu dari dalam. ku langkahkan kaki kearah permaisuriku yang sedang duduk manis diatas ranjang pengantin. wajahnya merunduk malu-malu. bisa kutebak, pasti ia juga merasa gugup seperti aku.
"istiku, tidakkah kau perkenankan suamimu ini, untuk sekedar menikmati indah cahaya wajahmu ?". tanpa menunggu jawabannya yang terasa lambat, ku ulurkan tanganku, meraih dagu halusnya. lalu kutengadahkan. dan wajah merona itu…
"Ira?". aku terlonjak kaget, hingga tanganku hampir terlepas dari dagunya. tapi tangan Ira terlebih dahulu meraih tanganku, dan menaruhnya di pipinya yang lembut. seperti seekor kucing jinak yang minta untuk segera dibelai. Dari keterangan Ira, ternyata yang dulu meminangnya adalah ummyku sendiri. yang di peruntukkan buat putra satu-satunya. Dan yang tak kusadari, beliau dengan ibunya ira masih ada hubungan tali kerabat. Ira masih kerabat jauhku. Dan aku tidak mengetahuinya. "ternyata kaulah bidadari yang selama ini ku nanti-nanti, tersenyumlah istriku".
Istriku
Andai kutahu
Bahwa kamu kan jadi istriku
'Kan ku tunggui kelahiranmu
'Kan kusiapkan berkaleng kaleng susu
Dan kain hangat untuk tidurmu
Sebab terima kasihku
Kau telah sediakan waktu
Untuk temani hidupku[1]
*­_*_*_*


17, Juni 2007

(1) Puisi Dwy Sadoellah dalam kumpulan esai dan puisi “ah, Santri”


[1] Cuplikan Sajak Istri dalam ah, santri karya dwy sadoellah

2 comments:

Wah bener itu mas, kok kaya di film yah..... jadi pingin lagi nih...

Post a Comment