Tuesday, July 17, 2012

Surat Surat Cinta


Pagi tadi, di rumah teman sekaligus familiku, Laila, aku bertemu dan sempat berkenalan dengan seorang cowok, namanya Salim. Dia masih kuliah di UNISMA Malang dan katanya sudah semester akhir.
Karena sedang libur, jadi dia sempatkan untuk bermain ke rumah temannya, Syahri, kakaknya Laila yang sudah wisuda tahun lalu. Katanya, di UNISMA keduanya sangat akrab, bahkan seperti kakak beradik. Karena memang rumah Salim masih satu kabupaten dengan rumah Syahri—juga dengan rumahku. Dan sudah lumrah, bila di suatu tempat yang jauh dan asing ada beberapa orang yang berasal dari satu daerah, maka mereka akan mempunyai ikatan kekeluargaan yang begitu kuat.
Orangnya cool banget, sopan, dan enak diajak ngomong. Kami sempat ngobrol lama. Dia lebih banyak cerita tentang kuliahnya di Malang saat bareng Syahri daripada tentang pribadi dan keluarganya.
Tapi bukan itu yang membuatku kaget setengah mati, tapi sebuah surat yang kini sudah berada dalam genggamanku. Kata Laila, Salim menitipkannya sebelum dia pulang. Memang tadi aku pulang lebih dulu dari Salim, karena ibuku memerlukan bantuanku untuk bikin kue.
Sambil tiduran kubaca suratnya:

Assalamu’alaikum warahmah wabarakah

Buat: Anita

Maaf sebelumnya, aku sekadar ingin bercerita tentang sebuah kisah yang baru saja kualami. Terserah apa akan kau abaikan atau tidak. Bahkan aku sendiri sangsi apa kau akan memberi sedikit perhatian untukku atau tidak.
                Baru tadi pagi, aku bertemu dengan seorang gadis, cantik dan manis. Kuperhatikan cara bicaranya sangat santun, tidak seperti gadis-gadis yang selama ini kukenal. Pokoknya dia beda.
                Ah, tanpa kusadari, hatiku terbang mengikuti langkahnya. Telah kukerahkan berbagai upaya untuk menangkapnya, tapi tak juga berhasil. Malah dia bertengger jinak di matanya. Aku berteriak-teriak. Hatiku lepas!! Hatiku lepas!! Tangkapkan dia!! Tapi tak seorangpun peduli. Entah apa aku berteriak kepada semua orang di sekitarku atau hanya padanya, dalam hati.
Yang pasti, sejak saat itu, pikiranku tiba-tiba tak tenang. Ia menggelepar-gelepar dalam sangkar kepalaku. Pasangannya telah pergi dan dia hendak menyusulnya. Memang begitulah antara hati dan pikiran, memiliki hubungan yang sangat erat, tidak bisa di pisah. Jika hati tertawan, pikiran-pun pasti demikian, tak jauh beda.
                Aku berharap gadis itu rela mengembalikan hatiku, karena pikiranku kesepian dan merindukan kehadirannya. Atau sekalian dia mengambil pikiranku untuk disandingkan dengan hatiku di hatinya.
Hai… apa kau masih menyimakku?
                Aku tak tahu, apakah gadis itu yang telah menawan hatiku dan mengurungnya dalam sangkar pikat di hatinya. Ataukah hatiku yang tak mau beranjak dari sisinya? Aku tak tahu, sampai saat ini aku tak tahu, karena hanya kau yang tahu.
Terima kasih telah sudi mendengar kisahku. Wassalam

Pengagummu,
Salim

            Kutaruh surat itu di bawah bantalku, berharap aku bertemu dengannya sekali lagi dalam mimpi. Ingin kutanya, apa maksudnya berkata seperti itu dalam suratnya? Gadis sepertiku pasti sudah dibuatnya mati penasaran oleh surat yang menggantung seperti itu.
***
            Kemarin kubalas suratnya, karena ingin kutahu sebabnya menulis surat itu. Dan jujur kukatakan padanya bahwa aku hampir mati penasaran dibuatnya. Hari ini surat balasannya datang dan kali ini dengan kata-kata yang yang membuat jantungku berdebar tak karuan.

Assalamu’alaikum warahmah wabarakah

Buat: Jiwa nan suci, dambaan setiap insan, yang telah mengganggu malam-malamku dan mengusik hari-hariku

Ingin kulukis pesonamu dengan seindah bintang, sekilau permata, sesejuk purnama, dan secerah mentari. Tapi tak bisa, karena kau lebih indah dari apapun. Aku terlalu silau oleh cahayamu. Kau buat aku buta, hingga aku tak bisa melihat cahaya selain cahayamu.
Kan kuarungi lautan. Kan kuterjang badai. Kan kudaki seribu gunung. Kan kulintasi sejuta aral. Demi mendapatkan cintamu. Lalu kan kukail bintang. Kan kupetik bulan dan kujaring matahari. Untuk kupersembahkan padamu sebagai bukti cintaku.
Aku mencintaimu, tapi aku ragu. Ragu, apa aku pantas buatmu. Ragu, apa kau akan memilihku, sedang di pintu rumahmu seribu Arjuna menanti uluran kasihmu. Ragu, apa aku mampu mempersembahkan sebuah kebahagiaan untukmu.
Aku ingin memilikimu, tapi aku takut. Takut tak kau temukan kebahagiaan bersamaku. Takut kau tuai beribu sesal memilihku. Takut anak-anakmu kecewa mempunyai ayah sepertiku.
Jujur, tak kumiliki mahkota untuk menghiasi kepalamu. Tak kumiliki istana untuk istirahatmu. Yang kupunya hanya cinta dan ketulusan. Aku mencintaimu karena cinta dan demi cinta.
 Kusertakan hatiku bersama selembar kertas ini. Jika kau robek lalu kau campakkan dengan kasar, maka ia akan hancur, pecah berkeping-keping, dan takkan pernah bisa utuh lagi seperti semula. Jika kau acuhkan, maka tanpa kau sadari, sebuah retakkan luka kau torehkan di atasnya. Namun jika kau peluk ia di dadamu dengan seulas senyum, maka ia akan bersinar, berkilau, dan berbunga.
Jika kau terima cintaku, tolong kabarkan padaku lewat desiran angin malam yang berhembus di jendela kamarmu. Aku akan menantinya dengan hati berdebar dan mata terpejam.

Dari orang yang selalu merindukan senyum bidadari,
Salim

Nb: Maaf aku tak pandai merangkai kata, sebab kata-kata tak cukup menggantikan ungkapan cinta

Kupeluk suratnya sambil berguling-guling di atas kasur. Gadis mana yang tak mabuk kepayang, bila hatinya diaduk sedemikian rupa. Sambil kupejamkan mata, kubayangkan dia sedang membisikkan kata demi kata di telingaku. Ah, andai kau tahu bahwa hatiku telah kau tawan sejak pertama kali kita berjumpa.
Kata ibuku, hati-hatilah dua hal dari seorang laki-laki, yaitu mata dan kata-katanya. Tapi matanya telah membutakanku sejak pertama kali aku bersitatap dengannya. Dan kini kata-katanya telah melenakanku. Terlambat sudah, aku tak mampu mengelak lagi. Kini aku sudah terlanjur menjadi tawanannya. Ia penjarakan aku dalam sel cintanya, mengikatku dengan terali asmara dan menyiksaku dengan cambukan rindu.
Angin… tolong sampaikan jawabku ini padanya. Aku juga mencintaimu. Lebih dari apa yang kau rasakan.
***
            Kubalas suratnya dengan datar, karena aku masih belum punya kepastian. Langsung mengiyakan cintanya. Aku tak berani, tapi aku juga takut kehilangan dia. Aku bingung. Kami masih baru saja kenal dan dia langsung menyatakan cinta. Apakah cintanya tulus atau sekadar sandiwara?
Meski selama ini aku selalu mengorek keterangan tentang dirinya dari Syahri melalui perantara Laila. Aku masih takut kalau ternyata ia tidak mencintaiku dengan tulus. Karena nanti aku yang akan menderita karena cinta.
Maka kuajak dia bersahabat terlebih dahulu. Aku memanggilnya kakak dan dia boleh mengambilku adik. Sejak itu kami semakin akrab saja. Kami sering berkomunikasi via telepon tanpa rasa canggung lagi. Memang benar, senjata yang paling ampuh untuk membuat kita lebih dekat dengan seseorang adalah dengan saling menganggap kakak dan adik.
***
            Sebuah surat kembali singgah di tanganku, setelah agak lama surat itu tidak datang. Kubaca dengan jeli setiap inci lukisan perasaan yang dicoretnya:

Assalamu’alaikum warahmah wabarakah

Buat: Ukhty as-shaghirah al-karimah, allaty manqushah fi darby.

Sebelumnya, maafku yang tak terkira, menyapa tanpa permisi, dan tak ketuk pintu terlebih dahulu. Andai bukan karena rindu, andai kangen tak terlalu menguasai, mungkin aku tidak punya cukup nyali untuk sebatas menyapa, apalagi bermimpi tuk sekadar bertutur sapa, denganmu.
Ah, rasanya baru kemarin saja kita bertemu. Sepertinya baru semalam kita bercengkrama, merangkai kata, dan menyulam hati. Senyummu masih jelas di mata. Candamu masih renyah di telinga. Dan parasmu makin tergambar jernih di hatiku yang terdalam.
Kemarin, saat kita masih bersama, saat kau di sampingku, harapku, waktu tak cepat berlalu. Matahari ingin kuajak bernego, agar tak segera beranjak menjadi senja dan tenggelam. Tapi, waktu tetap saja berputar, matahari juga tenggelam. Akhirnya, waktu juga yang memisahkan kita.
Mengingatmu Dik, bagai membolak-balikkan lembar mushafku, tak pernah ada rasa jemu. Walau kisah kita hanya dalam hitungan jari hari, tapi masa itu, seakan terus berputar, mengikuti rotasi, timbul tenggelam dalam benak, entah sampai kapan, dan semoga abadi.
Saat ini, walau –mungkin menurutmu- belum waktunya untuk merindu, tapi bagiku, waktu sudah terbentang begitu lama, dan rindu sudah mencapai puncaknya. Akhirnya, pena tertuang di atas lembar kusam, menari, menggoreskan cermin hati yang merindu-redam. Mohon adik sudi mendengar, membuka hati buat kakak tersayang. Kakak ingin Adik tetap selalu semangat, dan jadilah yang terbaik dari yang baik.
                Terakhir, terimakasih kakak tiada terkira, bila nama kakak, Adik selipkan di setiap tangis doa Adik. Adik sematkan di setiap sujud malam Adik. Dan, terimakasih telah meluangkan sedikit celah untukku, di hatimu.

Love Never Ending for you,
Dari Kakak yang selalu merindumu,
Salim

            Duh, kak Salim… kau begitu perhatian padaku, kau juga sangat romantis. Aku takkan menyia-nyiakanmu aku sangat berharap kau sungguh-sungguh mencintaiku agar aku tak ragu untuk meraih cintamu.
Aku bangkit ke kamar mandi untuk bersuci Lalu ku laksanakan shalat malam Setelah itu aku panjatkan doa semoga kak Salim menjadi jodohku, dunia dan akhirat. amin
***
            Setelah lama kami saling berhubungan dan kutahu kalau cintanya begitu mandalam padaku akhirnya kupastikan padanya kalau aku juga cinta.
Dia tidak cuma bahagia tapi dia berjanji padaku selepas wisuda tahun ini dia akan meminangku. Aku menangis campur haru.
            Suratnya kembali melayang, kubaca dengan senyum mengembang dan hati mengharu biru.

 Assalamu’alaikum warahmah wabarakah

Buat: Imra`ah al-karimah al-manqushah fi qalby, al-mutakhayyalah fi fikry allaty tunawwiru ayyamy wa layaly bi jamali nuri wajhiha

Mungkin kau kaget, kenapa tiba-tiba kertas lusuh ini berada di tanganmu. Sebenarnya aku juga tidak menyangka akan membubuhi kertas ini dengan beberapa patah kata. Tiba-tiba saja sebuah coretan tercipta. Sebuah coretan yang terpantul dari balik kaca hati yang terdalam. Pantulan itu menggambarkan sejuta rindu yang bergolak, sebongkah cinta yang memuncak dan hamparan kasih yang mendalam, kepadamu. Lalu coretan itu kuberi sentuhan dengan hati dan kupoles dengan asa lalu terciptalah rangkaian kata, yang mungkin menurutmu begitu ‘gombal’.
Terima kasih terlebih dahulu kusampaikan, atas cinta yang kau persembahkan dan harapan yang kau janjikan buat jiwa yang hina ini. Dulunya aku grogi, minder, dan sejuta rasa tak percaya diri tumbuh di dasar hati. Tapi setelah kau beri aku kepastian, aku seakan terbangun dari mimpi-mimpi, seakan tak percaya, benarkah kau mencintaiku? Dengan tulus?
Dulu, ketika kita pertama kali berta’aruf, aku merasa seperti Fahri yang begitu terkesima dengan pandangan pertamanya kepada Aisyah. Kau buka cadar misterimu padaku, kau singkap cadar asingmu buatku. Kau yang dulunya adalah orang lain yang sama sekali tak kukenal, tiba-tiba saja muncul di depanku dengan sejuta pesonamu, aku-pun buta oleh kemilau senyummu, aku pun jatuh karena kerling matamu. Tahukah kau? Kala itu adalah kali pertama aku bersitatap dengan seorang gadis sepertimu.
Waktu itu, kau yang begitu jelita tertunduk malu di depanku, tak begitu menghiraukan kalau sebenarnya aku juga grogi, tak sempat memandangmu berlama-lama, tak sempat mengukir setiap inci wajahmu dan mengabadikan manis senyummu dalam sanubari. Aku cuma sekilas memandangmu tapi cukup membuatku jatuh, jatuh ke dalam hatimu, jatuh ke dalam cintamu.
Pernah terbesit dalam hati, sebuah keraguan. Ragu, karena diri yang begitu tak sempurna dan mungkin tak seperti yang kau inginkan. Ragu, apakah aku bisa membahagiakanmu dengan sekadar yang aku miliki, karena aku tak berpunya. Aku hanyalah insan papa yang merindukan kehadiran seseorang yang bisa kuajak bersama melintasi liku-liku kehidupan, yang bisa menemani langkah mengarungi bahtera kehidupan yang penuh gelombang, dan yang bisa mengajari anak-anakku sebuah arti kehidupan sekaligus ibu yang menyayangi. Juga ragu, karena kau yang begitu sempurna bahkan sangat sempurna lebih memilihku daripada jutaan pilihan yang jauh lebih sempurna dariku. Apakah ada ketulusan? Doaku semoga cinta kita abadi.
                Terakhir, aku titipkan hatiku padamu, aku ingin kau menjaganya dengan baik, jangan kau retakkan hanya sebab isu yang berhembus padamu, jangan kau kotori dengan prasangka-prasangka, jangan kau banting karena sebab yang tak jelas. Aku ingin kau mempersembahkannya kembali dengan utuh kepadaku, kelak, saat kita telah mengikat tali nan abadi. Dan jangan lupa berdoa, untuk kebaikan kita dan masa depan kita, semoga cerah, barakah, dan dirahmati.
Harapku, waktu cepat membawamu kepadaku di hari nan suci, di hari yang begitu sakral itu aku akan menyumpahkan janji bahwa kau adalah milikku, rusukku dan belahan jiwaku.

Salam cinta tulus nan abadi,
Salim

            Kudekap suratnya di dada sampai aku terlelap. Berharap dia sudi menemuiku dalam mimpi untuk kembali membisikkan kata-kata itu di depanku.
***
Paginya setelah aku terbangun, kulihat nenek sudah duduk di samping kasurku sambil membaca surat pemberian kak Salim yang semalam kubawa tidur, lalu tersenyum melihatku. Aku jadi malu. Aku berusaha untuk merebutnya, tapi nenek malah mencandaiku. Baru setelah aku ngambek nenek mengembalikannya padaku.
“Membaca suratmu, aku jadi teringat masa lalu nenek dengan kakekmu,” kata nenek. Aku diam saja, sambil melipat rapi surat yang berhasil aku rebut dari nenek.
“Cinta semacam itulah yang sangat dahsyat. Cinta yang murni dan tulus, seperti kisah roman zaman dahulu. Bertemu hanya sekali-kali, itu-pun hanya lirikan dan tatapan syahdu yang akan terus terbayang sampai terbawa dalam mimpi. Selebihnya hanya kata-kata yang mewakili, melukiskan perasaan masing-masing. Tanpa didasari nafsu dan birahi. Tidak seperti yang marak akhir-akhir ini, pacaran di tempat-tempat umum, boncengan, pegang-pegangan, dan… ah entahlah,” nenek menerawang lalu menatapku. Aku jadi salah tingkah.
“Yang nenek khawatirkan darimu adalah kandasnya cinta kalian. Nenek khawatir cinta kalian tidak berkelanjutan. Karena hal itu pasti akan berdampak besar bagi kejiwaan kalian.” Kata-kata nenek sedikit bergetar, sejenak kulihat matanya sembab. Air matanya menggenang di pelupuk matanya yang keriput lalu cepat-cepat melangkah keluar kamar. Aku diam tercenung.
***
Ah, aku seperti sedang bermimpi, mimpi yang sangat indah. Aku ingin terus lelap. Semoga ibu tidak membangunkanku saat ini. Tapi ini nyata, kucubit lenganku, auu… sakit! Tapi kenapa aku masih merasa sedang berada dalam mimpi. Atau ini karena bahagia yang berlebihan sehingga aku seperti tidak sadarkan diri.
“Hari ini aku akan datang meminangmu.” Kata-kata kak Salim terus terngiang dalam gendang telingaku. Aku seperti orang mabuk, atau malah gila. Seharian kuterlentang di atas kasur dengan perasaan campur aduk antara bahagia, malu, cemas, dan harap jadi satu.
Maka sejak pagi-pagi sekali aku sudah mematut-matutkan diri di depan cermin. Memilih baju yang cocok dan berdandan se-cantik mungkin. Ah, cinta memang aneh dan membuat orang yang mengidapnya juga aneh.
Sore hari, kak Salim tiba bersama beberapa orang kerabatnya. Satu orang kulihat memakai surban yang melilit di kepalanya. Pasti dia Kiai Subhan, pamannya yang mengasuh sebuah pesantren. Memang kata Syahri keluarganya adalah keluarga yang agamis dan terpandang. Ayahku menemui mereka dengan wajah berseri.
“Subhan apa kabar? Ah, mimpi apa aku semalam, hingga aku bisa bertemu sobat terbaikku ini, hah?” sapa ayahku terkejut campur gembira lalu mempersilakan tamunya untuk masuk.
“Oh, rupanya kau Hannan, sobat lamaku. Aku cuma mengantarkan saudaraku ini, tak kusangka ternyata aku menuju ke istanamu, ha… ha...,” sapa kiai Subhan tak kalah kagetnya.
Aku menguping pembicaraan mereka dari kamarku. Ternyata ayahku dengan Kiai Subhan sudah bersahabat sejak muda. Mereka pernah menimba ilmu di satu pesantren.
Melihat keakraban yang terjalin di antara keduanya, kemungkinan lamarannya di tolak sangat tipis bahkan mustahil. Duh, gadis mana yang tak bahagia bila dipinang oleh orang yang dicintai dan mencintainya.
Setelah lama ngobrol kesana kemari akhirnya ayahku bertanya kepada Kiai Subhan.
“Ada maksud apa kau kemari Han?”
“Ehm.. begini Nan, maksud kami ke sini ingin menyambung tali kekeluargaan dengan keluargamu. Keponakanku ini, Salim mencintai anakmu, Nita. Jadi kami ingin meminang anakmu untuk disandingkan dengan si Salim ini,” kata Kiai Subhan tenang.
Lama ayahku diam. Pinangan Kiai Subhan tidak langsung dikomentarinya. Suasana seketika menjadi hening. Aku jadi cemas. Perasaan tak enak tiba-tiba menghampiriku. Sampai ayah berkata,
“Sebelumnya aku minta maaf …”
Semuanya diam.
“Jujur aku sangat senang jika punya menantu seperti Salim. Melihat pribadi Salim sendiri yang lulusan pesantren sekaligus fakultas ternama, sangatlah membanggakan. Apalagi melihat dari sisi keluarganya yang berpendidikan dan terpandang. Tapi……..”
Kembali ayahku diam, menghela nafas dan mengatur kata yang tepat.
“Sayangnya Nita sudah terlebih dahulu bertunangan…”
Semua kaget. Terlebih aku. Kapan aku pernah bertunangan? Kapan? Apa ini hanya sekadar alasan ayah saja untuk menolak lamaran kak salim. Tapi kenapa?!
Ayah melanjutkan, “Memang selama ini aku belum cerita kepada siapapun, termasuk kepada Nita sendiri. Dulu sewaktu Nita masih kecil, kakek Nita berwasiat agar Nita dijodohkan dengan anak saudaraku, Rahmat, sepupu Nita sendiri, yang juga masih kecil ketika itu. Waktu itu keluarga kami dan keluarga Rahmat sama-sama menyanggupi dan menerimanya dengan senang hati. Jadi…. mohon maaf saya tidak bisa menerima lamaran nak Salim. Sekali lagi saya mohon maaf.”
Betapa hancurnya hati dua orang pencinta ketika cintanya tidakkan mungkin pernah bersatu selamanya. Petaka mana yang lebih dahsyat bagi para pencinta selain karamnya bahtera cintanya, padahal dermaga sudah di ambang mata.
Tiba-tiba bumi seperti berputar, kepalaku pusing lalu semuanya gelap. Aku ambruk tak sadarkan diri.
Setelah aku tersadar, aku langsung berlari ke ruang tamu, ingin mengejar kak Salim. Aku ingin ikut dengannya, aku ingin pergi bersamanya. Kak Salim tunggu aku…
Tapi kak Salim sekeluarga telah pergi. Kak Salim kenapa pergi? Kau bilang kau akan membawaku bersamamu? Kenapa kau pergi….? Aku mulai sesenggukan.
Belum yakin, kukejar dia ke teras lalu ke halaman, mencari-cari kalau saja kak Salim masih ada di sana, tapi hampa yang ku temui.
Kak… jangan tinggalkan Nita sendiri. Kakak sudah berjanji akan membawa Nita pergi ke suatu tempat yang kata Kakak sangat indah itu. Kakak sudah berjanji akan membahagiakan Nita. Kak Salim….. Mana janji Kakak… Mana…..……
Tak terasa air mataku tumpah lalu tangis menguasaiku. Aku terkulai lemah, tersandar ke pagar rumah, lalu terduduk mendekap kedua lutut. Kak… jangan tinggalkan Nita. Jangan tinggalkan Nita Kak….. jeritku dalam hati. Sementara air mataku telah membanjiri kerudung putih pemberian Kak Salim. Kak……
***
Sejak saat itu aku tak pernah bertemu lagi dengan kak Salim. Dia pergi merantau ke Irian Jaya, bekerja sambil membina sebuah yayasan milik pamannya. Juga untuk melupakan semua kenangannya bersamaku. Katanya jika dia di sini, dia masih selalu mengingatku. Inilah yang kutakuti dari cinta, siksaannya yang tak terperihkan. Untuk melepaskan diri dari jeratnya harus dengan membedah hati. Itupun dengan luka yang menganga dan bekas yang takkan pernah terhapuskan.
Suratnya yang terakhir sebelum ia berangkat merantau selalu kubaca berulang-ulang untuk mengobati rindu yang semakin menggunung.

Assalamu’alaikum warahmah wabarakah

Buat: Anita





Kuharap kau tak menyesal pernah mengenalku, walau dengan mengenalku telah menyebabkanmu menderita seperti saat ini. Mungkin kau berandai, kalau saja dulu kau tak pernah mengenalku, niscaya takkan pernah seperti  ini. Mohon jangan pernah kau katakan itu.
Tak ada sesuatu yang abadi di dunia ini, kita hanyalah satu di antara bukti kelemahan manusia. Kita terima saja ketentuannya, meski dengan hati penuh luka.
Aku sadar sepenuhnya kalau selama ini ternyata aku hanya sedang bermimpi. Mimpi yang mirip kenyataan. Begitu indah. Dalam mimpiku, kau hadir dalam sosok bidadari yang begitu menawan. Di pelaminan surga kau suapkan seteguk cinta padaku. Tapi setelah aku terbangun, kau sudah tak ada lagi di sini. Karena aku cuma bermimpi dan kau adalah ilusi. Hanya satu yang tetap melekat dalam ingatanku, bahwa kau adalah mimpi terindahku.
Menangislah jika kau ingin menangis. Karena tangis mampu meredam pilu, isakannya bisa meringankan rasa perih. Dengan tangis rasa nyeri akan sedikit terobati. Dengan sesenggukan ngilu akan sedikit berkurang.
 Tapi setelah itu, hapuslah air matamu dan tataplah masa depanmu dengan lebih tegar. Jangan pernah kau menoleh ke belakang karena masa lalu yang pahit hanya akan membuatmu tersandung, terjatuh lalu terluka. Lupakan aku dan semua tentang kita. Hapuslah semua kenangan yang masih tersisa dalam hatimu.
Aku-pun juga akan berusaha melupakanmu, sebisaku dan sekuat tenagaku. Meski aku tak yakin akan jumpa misalmu. Karena pikatku hanya padanmu, lain tak.

Wassalam
Yang pernah kau anggap kakak,
Salim

Aku terus membacanya berulang-ulang, setiap hari, setiap saat, tak pernah ada rasa jemu sampai surat itu kusam oleh air mata.


Sidogiri, 17–Shafar–1430/12–Pebruari–2009
(Setelah Habiburrahman el-Shirazi berkunjung ke Sidogiri)

0 comments:

Post a Comment