Pagi
tadi, di rumah teman sekaligus familiku, Laila, aku bertemu dan sempat
berkenalan dengan seorang cowok, namanya Salim. Dia masih kuliah di UNISMA
Malang dan katanya sudah semester akhir.
Karena
sedang libur, jadi dia sempatkan untuk bermain ke rumah temannya, Syahri,
kakaknya Laila yang sudah wisuda tahun lalu. Katanya, di UNISMA keduanya sangat
akrab, bahkan seperti kakak beradik. Karena memang rumah Salim masih satu
kabupaten dengan rumah Syahri—juga dengan rumahku. Dan sudah lumrah, bila di
suatu tempat yang jauh dan asing ada beberapa orang yang berasal dari satu
daerah, maka mereka akan mempunyai ikatan kekeluargaan yang begitu kuat.
Orangnya
cool banget, sopan, dan enak diajak ngomong. Kami sempat ngobrol lama. Dia
lebih banyak cerita tentang kuliahnya di Malang
saat bareng Syahri daripada tentang pribadi dan keluarganya.
Tapi
bukan itu yang membuatku kaget setengah mati, tapi sebuah surat yang kini sudah berada dalam
genggamanku. Kata Laila, Salim menitipkannya sebelum dia pulang. Memang tadi
aku pulang lebih dulu dari Salim, karena ibuku memerlukan bantuanku untuk bikin
kue.
Sambil
tiduran kubaca suratnya:
Assalamu’alaikum warahmah wabarakah
Buat: Anita
Maaf sebelumnya, aku sekadar ingin
bercerita tentang sebuah kisah yang baru saja kualami. Terserah apa akan kau abaikan
atau tidak. Bahkan aku sendiri sangsi apa kau akan memberi sedikit perhatian
untukku atau tidak.
Baru
tadi pagi, aku bertemu dengan seorang gadis, cantik dan manis. Kuperhatikan cara
bicaranya sangat santun, tidak seperti gadis-gadis yang selama ini kukenal.
Pokoknya dia beda.
Ah,
tanpa kusadari, hatiku terbang mengikuti langkahnya. Telah kukerahkan berbagai
upaya untuk menangkapnya, tapi tak juga berhasil. Malah dia bertengger jinak di
matanya. Aku berteriak-teriak. Hatiku lepas!! Hatiku lepas!! Tangkapkan dia!!
Tapi tak seorangpun peduli. Entah apa aku berteriak kepada semua orang di
sekitarku atau hanya padanya, dalam hati.
Yang pasti, sejak saat itu, pikiranku
tiba-tiba tak tenang. Ia menggelepar-gelepar dalam sangkar kepalaku. Pasangannya
telah pergi dan dia hendak menyusulnya. Memang begitulah antara hati dan
pikiran, memiliki hubungan yang sangat erat, tidak bisa di pisah. Jika hati
tertawan, pikiran-pun pasti demikian, tak jauh beda.
Aku
berharap gadis itu rela mengembalikan hatiku, karena pikiranku kesepian dan
merindukan kehadirannya. Atau sekalian dia mengambil pikiranku untuk
disandingkan dengan hatiku di hatinya.
Hai… apa kau masih menyimakku?
Aku tak
tahu, apakah gadis itu yang telah menawan hatiku dan mengurungnya dalam sangkar
pikat di hatinya. Ataukah hatiku yang tak mau beranjak dari sisinya? Aku tak
tahu, sampai saat ini aku tak tahu, karena hanya kau yang tahu.
Terima kasih telah sudi mendengar
kisahku. Wassalam
Pengagummu,
Salim
Kutaruh surat itu di bawah bantalku, berharap aku
bertemu dengannya sekali lagi dalam mimpi. Ingin kutanya, apa maksudnya berkata
seperti itu dalam suratnya? Gadis sepertiku pasti sudah dibuatnya mati
penasaran oleh surat
yang menggantung seperti itu.
***
Kemarin kubalas suratnya, karena
ingin kutahu sebabnya menulis surat
itu. Dan jujur kukatakan padanya bahwa aku hampir mati penasaran dibuatnya.
Hari ini surat
balasannya datang dan kali ini dengan kata-kata yang yang membuat jantungku berdebar
tak karuan.
Assalamu’alaikum warahmah wabarakah
Buat: Jiwa nan suci, dambaan setiap insan, yang telah
mengganggu malam-malamku dan mengusik hari-hariku
Ingin kulukis pesonamu dengan seindah
bintang, sekilau permata, sesejuk purnama, dan secerah mentari. Tapi tak bisa, karena
kau lebih indah dari apapun. Aku terlalu silau oleh cahayamu. Kau buat aku
buta, hingga aku tak bisa melihat cahaya selain cahayamu.
Kan kuarungi lautan. Kan kuterjang badai. Kan kudaki seribu gunung. Kan kulintasi sejuta aral. Demi mendapatkan
cintamu. Lalu kan
kukail bintang. Kan
kupetik bulan dan kujaring matahari. Untuk kupersembahkan padamu sebagai bukti
cintaku.
Aku mencintaimu, tapi aku ragu. Ragu,
apa aku pantas buatmu. Ragu, apa kau akan memilihku, sedang di pintu rumahmu
seribu Arjuna menanti uluran kasihmu. Ragu, apa aku mampu mempersembahkan
sebuah kebahagiaan untukmu.
Aku ingin memilikimu, tapi aku takut.
Takut tak kau temukan kebahagiaan bersamaku. Takut kau tuai beribu sesal
memilihku. Takut anak-anakmu kecewa mempunyai ayah sepertiku.
Jujur, tak kumiliki mahkota untuk
menghiasi kepalamu. Tak kumiliki istana untuk istirahatmu. Yang kupunya hanya
cinta dan ketulusan. Aku mencintaimu karena cinta dan demi cinta.
Kusertakan hatiku bersama selembar kertas ini.
Jika kau robek lalu kau campakkan dengan kasar, maka ia akan hancur, pecah
berkeping-keping, dan takkan pernah bisa utuh lagi seperti semula. Jika kau
acuhkan, maka tanpa kau sadari, sebuah retakkan luka kau torehkan di atasnya.
Namun jika kau peluk ia di dadamu dengan seulas senyum, maka ia akan bersinar,
berkilau, dan berbunga.
Jika kau terima cintaku, tolong
kabarkan padaku lewat desiran angin malam yang berhembus di jendela kamarmu.
Aku akan menantinya dengan hati berdebar dan mata terpejam.
Dari orang yang selalu merindukan senyum bidadari,
Salim
Nb: Maaf aku tak pandai merangkai kata,
sebab kata-kata tak cukup menggantikan ungkapan cinta
Kupeluk
suratnya sambil berguling-guling di atas kasur. Gadis mana yang tak mabuk
kepayang, bila hatinya diaduk sedemikian rupa. Sambil kupejamkan mata,
kubayangkan dia sedang membisikkan kata demi kata di telingaku. Ah, andai kau
tahu bahwa hatiku telah kau tawan sejak pertama kali kita berjumpa.
Kata
ibuku, hati-hatilah dua hal dari seorang laki-laki, yaitu mata dan kata-katanya.
Tapi matanya telah membutakanku sejak pertama kali aku bersitatap dengannya. Dan
kini kata-katanya telah melenakanku. Terlambat sudah, aku tak mampu mengelak
lagi. Kini aku sudah terlanjur menjadi tawanannya. Ia penjarakan aku dalam sel
cintanya, mengikatku dengan terali asmara
dan menyiksaku dengan cambukan rindu.
Angin…
tolong sampaikan jawabku ini padanya. Aku juga mencintaimu. Lebih dari apa yang
kau rasakan.
***
Kubalas suratnya dengan datar, karena
aku masih belum punya kepastian. Langsung mengiyakan cintanya. Aku tak berani,
tapi aku juga takut kehilangan dia. Aku bingung. Kami masih baru saja kenal dan
dia langsung menyatakan cinta. Apakah cintanya tulus atau sekadar sandiwara?
Meski selama
ini aku selalu mengorek keterangan tentang dirinya dari Syahri melalui
perantara Laila. Aku masih takut kalau ternyata ia tidak mencintaiku dengan
tulus. Karena nanti aku yang akan menderita karena cinta.
Maka
kuajak dia bersahabat terlebih dahulu. Aku memanggilnya kakak dan dia boleh
mengambilku adik. Sejak itu kami semakin akrab saja. Kami sering berkomunikasi
via telepon tanpa rasa canggung lagi. Memang benar, senjata yang paling ampuh
untuk membuat kita lebih dekat dengan seseorang adalah dengan saling menganggap
kakak dan adik.
***
Sebuah
surat kembali singgah di tanganku, setelah agak
lama surat itu
tidak datang. Kubaca dengan jeli setiap inci lukisan perasaan yang dicoretnya:
Assalamu’alaikum warahmah wabarakah
Buat: Ukhty as-shaghirah al-karimah, allaty manqushah fi
darby.
Sebelumnya, maafku yang tak terkira,
menyapa tanpa permisi, dan tak ketuk pintu terlebih dahulu. Andai bukan karena
rindu, andai kangen tak terlalu menguasai, mungkin aku tidak punya cukup nyali
untuk sebatas menyapa, apalagi bermimpi tuk sekadar bertutur sapa, denganmu.
Ah, rasanya baru kemarin saja kita
bertemu. Sepertinya baru semalam kita bercengkrama, merangkai kata, dan menyulam
hati. Senyummu masih jelas di mata. Candamu masih renyah di telinga. Dan parasmu
makin tergambar jernih di hatiku yang terdalam.
Kemarin, saat kita masih bersama, saat
kau di sampingku, harapku, waktu tak cepat berlalu. Matahari ingin kuajak
bernego, agar tak segera beranjak menjadi senja dan tenggelam. Tapi, waktu
tetap saja berputar, matahari juga tenggelam. Akhirnya, waktu juga yang
memisahkan kita.
Mengingatmu Dik, bagai
membolak-balikkan lembar mushafku, tak pernah ada rasa jemu. Walau kisah kita
hanya dalam hitungan jari hari, tapi masa itu, seakan terus berputar, mengikuti
rotasi, timbul tenggelam dalam benak, entah sampai kapan, dan semoga abadi.
Saat ini, walau –mungkin menurutmu-
belum waktunya untuk merindu, tapi bagiku, waktu sudah terbentang begitu lama,
dan rindu sudah mencapai puncaknya. Akhirnya, pena tertuang di atas lembar
kusam, menari, menggoreskan cermin hati yang merindu-redam. Mohon adik sudi
mendengar, membuka hati buat kakak tersayang. Kakak ingin Adik tetap selalu semangat, dan jadilah yang
terbaik dari yang baik.
Terakhir,
terimakasih kakak tiada terkira, bila nama kakak, Adik selipkan di setiap
tangis doa Adik. Adik sematkan di setiap sujud malam Adik. Dan, terimakasih
telah meluangkan sedikit celah untukku, di hatimu.
Love Never
Ending for you,
Dari Kakak yang
selalu merindumu,
Salim
Duh, kak Salim… kau begitu perhatian
padaku, kau juga sangat romantis. Aku takkan menyia-nyiakanmu aku sangat
berharap kau sungguh-sungguh mencintaiku agar aku tak ragu untuk meraih
cintamu.
Aku
bangkit ke kamar mandi untuk bersuci Lalu ku laksanakan shalat malam Setelah
itu aku panjatkan doa semoga kak Salim menjadi jodohku, dunia dan akhirat. amin
***
Setelah lama kami saling berhubungan
dan kutahu kalau cintanya begitu mandalam padaku akhirnya kupastikan padanya
kalau aku juga cinta.
Dia
tidak cuma bahagia tapi dia berjanji padaku selepas wisuda tahun ini dia akan
meminangku. Aku menangis campur haru.
Suratnya kembali melayang, kubaca
dengan senyum mengembang dan hati mengharu biru.
Assalamu’alaikum warahmah wabarakah
Buat: Imra`ah al-karimah al-manqushah fi qalby,
al-mutakhayyalah fi fikry allaty tunawwiru ayyamy wa layaly bi jamali nuri
wajhiha
Mungkin kau kaget, kenapa tiba-tiba
kertas lusuh ini berada di tanganmu. Sebenarnya aku juga tidak menyangka akan
membubuhi kertas ini dengan beberapa patah kata. Tiba-tiba saja sebuah coretan
tercipta. Sebuah coretan yang terpantul dari balik kaca hati yang terdalam.
Pantulan itu menggambarkan sejuta rindu yang bergolak, sebongkah cinta yang
memuncak dan hamparan kasih yang mendalam, kepadamu. Lalu coretan itu kuberi
sentuhan dengan hati dan kupoles dengan asa lalu terciptalah rangkaian kata,
yang mungkin menurutmu begitu ‘gombal’.
Terima kasih terlebih dahulu
kusampaikan, atas cinta yang kau persembahkan dan harapan yang kau janjikan
buat jiwa yang hina ini. Dulunya aku grogi, minder, dan sejuta rasa tak percaya
diri tumbuh di dasar hati. Tapi setelah kau beri aku kepastian, aku seakan
terbangun dari mimpi-mimpi, seakan tak percaya, benarkah kau mencintaiku?
Dengan tulus?
Dulu, ketika kita pertama kali
berta’aruf, aku merasa seperti Fahri yang begitu terkesima dengan pandangan
pertamanya kepada Aisyah. Kau buka cadar misterimu padaku, kau singkap cadar
asingmu buatku. Kau yang dulunya adalah orang lain yang sama sekali tak
kukenal, tiba-tiba saja muncul di depanku dengan sejuta pesonamu, aku-pun buta
oleh kemilau senyummu, aku pun jatuh karena kerling matamu. Tahukah kau? Kala
itu adalah kali pertama aku bersitatap dengan seorang gadis sepertimu.
Waktu itu, kau yang begitu jelita
tertunduk malu di depanku, tak begitu menghiraukan kalau sebenarnya aku juga
grogi, tak sempat memandangmu berlama-lama, tak sempat mengukir setiap inci
wajahmu dan mengabadikan manis senyummu dalam sanubari. Aku cuma sekilas
memandangmu tapi cukup membuatku jatuh, jatuh ke dalam hatimu, jatuh ke dalam
cintamu.
Pernah terbesit dalam hati, sebuah
keraguan. Ragu, karena diri yang begitu tak sempurna dan mungkin tak seperti
yang kau inginkan. Ragu, apakah aku bisa membahagiakanmu dengan sekadar yang
aku miliki, karena aku tak berpunya. Aku hanyalah insan papa yang merindukan
kehadiran seseorang yang bisa kuajak bersama melintasi liku-liku kehidupan,
yang bisa menemani langkah mengarungi bahtera kehidupan yang penuh gelombang,
dan yang bisa mengajari anak-anakku sebuah arti kehidupan sekaligus ibu yang
menyayangi. Juga ragu, karena kau yang begitu sempurna bahkan sangat sempurna
lebih memilihku daripada jutaan pilihan yang jauh lebih sempurna dariku. Apakah
ada ketulusan? Doaku semoga cinta kita abadi.
Terakhir,
aku titipkan hatiku padamu, aku ingin kau menjaganya dengan baik, jangan kau
retakkan hanya sebab isu yang berhembus padamu, jangan kau kotori dengan
prasangka-prasangka, jangan kau banting karena sebab yang tak jelas. Aku ingin
kau mempersembahkannya kembali dengan utuh kepadaku, kelak, saat kita telah
mengikat tali nan abadi. Dan jangan lupa berdoa, untuk kebaikan kita dan masa
depan kita, semoga cerah, barakah, dan dirahmati.
Harapku, waktu cepat membawamu kepadaku
di hari nan suci, di hari yang begitu sakral itu aku akan menyumpahkan janji
bahwa kau adalah milikku, rusukku dan belahan jiwaku.
Salam cinta tulus nan abadi,
Salim
Kudekap suratnya di dada sampai aku
terlelap. Berharap dia sudi menemuiku dalam mimpi untuk kembali membisikkan
kata-kata itu di depanku.
***
Paginya
setelah aku terbangun, kulihat nenek sudah duduk di samping kasurku sambil
membaca surat
pemberian kak Salim yang semalam kubawa tidur, lalu tersenyum melihatku. Aku
jadi malu. Aku berusaha untuk merebutnya, tapi nenek malah mencandaiku. Baru
setelah aku ngambek nenek mengembalikannya padaku.
“Membaca
suratmu, aku jadi teringat masa lalu nenek dengan kakekmu,” kata nenek. Aku diam
saja, sambil melipat rapi surat
yang berhasil aku rebut dari nenek.
“Cinta
semacam itulah yang sangat dahsyat. Cinta yang murni dan tulus, seperti kisah
roman zaman dahulu. Bertemu hanya sekali-kali, itu-pun hanya lirikan dan
tatapan syahdu yang akan terus terbayang sampai terbawa dalam mimpi. Selebihnya
hanya kata-kata yang mewakili, melukiskan perasaan masing-masing. Tanpa didasari
nafsu dan birahi. Tidak seperti yang marak akhir-akhir ini, pacaran di
tempat-tempat umum, boncengan, pegang-pegangan, dan… ah entahlah,” nenek
menerawang lalu menatapku. Aku jadi salah tingkah.
“Yang
nenek khawatirkan darimu adalah kandasnya cinta kalian. Nenek khawatir cinta
kalian tidak berkelanjutan. Karena hal itu pasti akan berdampak besar bagi
kejiwaan kalian.” Kata-kata nenek sedikit bergetar, sejenak kulihat matanya
sembab. Air matanya menggenang di pelupuk matanya yang keriput lalu cepat-cepat
melangkah keluar kamar. Aku diam tercenung.
***
Ah, aku
seperti sedang bermimpi, mimpi yang sangat indah. Aku ingin terus lelap. Semoga
ibu tidak membangunkanku saat ini. Tapi ini nyata, kucubit lenganku, auu…
sakit! Tapi kenapa aku masih merasa sedang berada dalam mimpi. Atau ini karena
bahagia yang berlebihan sehingga aku seperti tidak sadarkan diri.
“Hari
ini aku akan datang meminangmu.” Kata-kata kak Salim terus terngiang dalam gendang
telingaku. Aku seperti orang mabuk, atau malah gila. Seharian kuterlentang di
atas kasur dengan perasaan campur aduk antara bahagia, malu, cemas, dan harap jadi
satu.
Maka
sejak pagi-pagi sekali aku sudah mematut-matutkan diri di depan cermin. Memilih
baju yang cocok dan berdandan se-cantik mungkin. Ah, cinta memang aneh dan
membuat orang yang mengidapnya juga aneh.
Sore
hari, kak Salim tiba bersama beberapa orang kerabatnya. Satu orang kulihat
memakai surban yang melilit di kepalanya. Pasti dia Kiai Subhan, pamannya yang
mengasuh sebuah pesantren. Memang kata Syahri keluarganya adalah keluarga yang
agamis dan terpandang. Ayahku menemui mereka dengan wajah berseri.
“Subhan
apa kabar? Ah, mimpi apa aku semalam, hingga aku bisa bertemu sobat terbaikku
ini, hah?” sapa ayahku terkejut campur gembira lalu mempersilakan tamunya untuk
masuk.
“Oh, rupanya
kau Hannan, sobat lamaku. Aku cuma mengantarkan saudaraku ini, tak kusangka
ternyata aku menuju ke istanamu, ha… ha...,” sapa kiai Subhan tak kalah
kagetnya.
Aku
menguping pembicaraan mereka dari kamarku. Ternyata ayahku dengan Kiai Subhan
sudah bersahabat sejak muda. Mereka pernah menimba ilmu di satu pesantren.
Melihat
keakraban yang terjalin di antara keduanya, kemungkinan lamarannya di tolak
sangat tipis bahkan mustahil. Duh, gadis mana yang tak bahagia bila dipinang
oleh orang yang dicintai dan mencintainya.
Setelah
lama ngobrol kesana kemari akhirnya ayahku bertanya kepada Kiai Subhan.
“Ada maksud apa kau kemari
Han?”
“Ehm..
begini Nan, maksud kami ke sini ingin
menyambung tali kekeluargaan dengan keluargamu. Keponakanku ini, Salim
mencintai anakmu, Nita. Jadi kami ingin meminang anakmu untuk disandingkan
dengan si Salim ini,” kata Kiai Subhan tenang.
Lama
ayahku diam. Pinangan Kiai Subhan tidak langsung dikomentarinya. Suasana
seketika menjadi hening. Aku jadi cemas. Perasaan tak enak tiba-tiba
menghampiriku. Sampai ayah berkata,
“Sebelumnya
aku minta maaf …”
Semuanya
diam.
“Jujur
aku sangat senang jika punya menantu seperti Salim. Melihat pribadi Salim
sendiri yang lulusan pesantren sekaligus fakultas ternama, sangatlah
membanggakan. Apalagi melihat dari sisi keluarganya yang berpendidikan dan
terpandang. Tapi……..”
Kembali
ayahku diam, menghela nafas dan mengatur kata yang tepat.
“Sayangnya
Nita sudah terlebih dahulu bertunangan…”
Semua
kaget. Terlebih aku. Kapan aku pernah bertunangan? Kapan? Apa ini hanya sekadar
alasan ayah saja untuk menolak lamaran kak salim. Tapi kenapa?!
Ayah
melanjutkan, “Memang selama ini aku belum cerita kepada siapapun, termasuk
kepada Nita sendiri. Dulu sewaktu Nita masih kecil, kakek Nita berwasiat agar
Nita dijodohkan dengan anak saudaraku, Rahmat, sepupu Nita sendiri, yang juga
masih kecil ketika itu. Waktu itu keluarga kami dan keluarga Rahmat sama-sama
menyanggupi dan menerimanya dengan senang hati. Jadi…. mohon maaf saya tidak
bisa menerima lamaran nak Salim. Sekali lagi saya mohon maaf.”
Betapa
hancurnya hati dua orang pencinta ketika cintanya tidakkan mungkin pernah
bersatu selamanya. Petaka mana yang lebih dahsyat bagi para pencinta selain
karamnya bahtera cintanya, padahal dermaga sudah di ambang mata.
Tiba-tiba
bumi seperti berputar, kepalaku pusing lalu semuanya gelap. Aku ambruk tak
sadarkan diri.
Setelah
aku tersadar, aku langsung berlari ke ruang tamu, ingin mengejar kak Salim. Aku
ingin ikut dengannya, aku ingin pergi bersamanya. Kak Salim tunggu aku…
Tapi kak
Salim sekeluarga telah pergi. Kak Salim kenapa pergi? Kau bilang kau akan
membawaku bersamamu? Kenapa kau pergi….? Aku mulai sesenggukan.
Belum
yakin, kukejar dia ke teras lalu ke halaman, mencari-cari kalau saja kak Salim
masih ada di sana,
tapi hampa yang ku temui.
Kak…
jangan tinggalkan Nita sendiri. Kakak sudah berjanji akan membawa Nita pergi ke
suatu tempat yang kata Kakak sangat indah itu. Kakak sudah berjanji akan
membahagiakan Nita. Kak Salim….. Mana janji Kakak… Mana…..……
Tak
terasa air mataku tumpah lalu tangis menguasaiku. Aku terkulai lemah, tersandar
ke pagar rumah, lalu terduduk mendekap kedua lutut. Kak… jangan tinggalkan
Nita. Jangan tinggalkan Nita Kak….. jeritku dalam hati. Sementara air mataku
telah membanjiri kerudung putih pemberian Kak Salim. Kak……
***
Sejak
saat itu aku tak pernah bertemu lagi dengan kak Salim. Dia pergi merantau ke
Irian Jaya, bekerja sambil membina sebuah yayasan milik pamannya. Juga untuk
melupakan semua kenangannya bersamaku. Katanya jika dia di sini, dia masih selalu
mengingatku. Inilah yang kutakuti dari cinta, siksaannya yang tak terperihkan.
Untuk melepaskan diri dari jeratnya harus dengan membedah hati. Itupun dengan
luka yang menganga dan bekas yang takkan pernah terhapuskan.
Suratnya
yang terakhir sebelum ia berangkat merantau selalu kubaca berulang-ulang untuk
mengobati rindu yang semakin menggunung.
Assalamu’alaikum warahmah wabarakah
Buat: Anita
Kuharap kau tak menyesal pernah
mengenalku, walau dengan mengenalku telah menyebabkanmu menderita seperti saat
ini. Mungkin kau berandai, kalau saja dulu kau tak pernah mengenalku, niscaya
takkan pernah seperti ini. Mohon jangan
pernah kau katakan itu.
Tak ada sesuatu yang abadi di dunia
ini, kita hanyalah satu di antara bukti kelemahan manusia. Kita terima saja
ketentuannya, meski dengan hati penuh luka.
Aku
sadar sepenuhnya kalau selama ini ternyata aku hanya sedang bermimpi. Mimpi
yang mirip kenyataan. Begitu indah. Dalam mimpiku, kau hadir dalam sosok
bidadari yang begitu menawan. Di pelaminan surga kau suapkan seteguk cinta
padaku. Tapi setelah aku terbangun, kau sudah tak ada lagi di sini. Karena aku
cuma bermimpi dan kau adalah ilusi. Hanya satu yang tetap melekat dalam
ingatanku, bahwa kau adalah mimpi terindahku.
Menangislah jika kau ingin menangis. Karena
tangis mampu meredam pilu, isakannya bisa meringankan rasa perih. Dengan tangis
rasa nyeri akan sedikit terobati. Dengan sesenggukan ngilu akan sedikit
berkurang.
Tapi setelah itu, hapuslah air matamu dan
tataplah masa depanmu dengan lebih tegar. Jangan pernah kau menoleh ke belakang
karena masa lalu yang pahit hanya akan membuatmu tersandung, terjatuh lalu
terluka. Lupakan aku dan semua tentang kita. Hapuslah semua kenangan yang masih
tersisa dalam hatimu.
Aku-pun juga akan berusaha melupakanmu,
sebisaku dan sekuat tenagaku. Meski aku tak yakin akan jumpa misalmu. Karena
pikatku hanya padanmu, lain tak.
Wassalam
Yang pernah kau anggap kakak,
Salim
Aku
terus membacanya berulang-ulang, setiap hari, setiap saat, tak pernah ada rasa
jemu sampai surat
itu kusam oleh air mata.
Sidogiri,
17–Shafar–1430/12–Pebruari–2009
(Setelah
Habiburrahman el-Shirazi berkunjung ke Sidogiri)
0 comments:
Post a Comment