Tuesday, July 17, 2012

Potret Kecil Negeriku

     Siang itu, matahari menyengat luar biasa. Seakan menebar maut, ia panggang seluruh punggung bumi. Tanah merangas, kering, debu-debu beterbangan. Suburnya rumah-rumah kaca serta asap polusi pabrik dan kendaraan, berlomba menggempur lapisan atmosfir yang kian hari semakin menipis, menjadikan panas semakin mengganas.
     Seorang anak kecil berusia delapan tahun, berjalan tertatih di sepanjang jalanan. Ia paksakan kaki kecilnya yang tak beralas untuk membawanya kesana kemari, meminta belas kasih orang-orang.
     Tiba di sebuah kerumunan, dia mulai menggerak-gerakkan sebilah bambu yang di tempeli tutup-tutup botol dengan tangannya yang mulai gemetaran. Suaranya kering hampir tak terdengar karena menanggung lapar selama empat hari empat malam. Hanya suara parau, seperti desahan napas berat yang keluar dari bibir keringnya. Pakaiannya kumal, kotor, dan saku atasnya sobek menjuntai. Jelas tak ada sedikitpun receh di dalamnya.
     Memang suaranya tidak enak, karena tujuannya mengamen bukan karena ingin menghibur orang dengan nyanyiannya, tapi setidaknya dengan begitu, orang-orang bisa membaca keadaannya, dan syukur mau memberinya receh buat beli nasi. Ia sangat ingin makan nasi, tapi ia tak punya uang untuk beli nasi. semuanya harus dibeli pakai uang, termasuk juga air untuk minum. Kemarin saja ia harus minum air sungai karena ia tak menemukan air bersih untuk di minum.
     Kerumunan itu menatapnya geram, karena suaranya yang tidak enak di dengar. “Mengganggu saja,” umpat mereka. Lalu mengusirnya “PERGI!!” salah satu dari mereka malah mendorongnya hingga ia jatuh terjungkal. Dilihatnya beberapa orang mulai menggertaknya dengan mengambil bebatuan, hendak melemparnya. Ia berlari menjauh, sekuat tenaga, terseok-seok lalu terjatuh. Lututnya berdarah. Luka kemarin yang belum kering kembali menganga.
     “Ayah…, Ibu…, Aris terluka, sakit…,” lirihnya. Ia mulai menangis. Ingat ayah-ibunya.
***
     Pagi itu, dua hari sebelum hari raya. Aris sedang membantu ibunya bersih-bersih. Sesekali Aris bertanya pada ibunya, tentang janji ayahnya untuk membelikannya baju baru buat lebaran.
     “Bu, kok ayah belum pulang ya?,” tanya Aris sembari bergelayut manja di leher ibunya.
     “Sabar ya nak,” jawab ibunya sambil melepas rangkulan anaknya, memangkunya lalu mengusap rambut anaknya dengan penuh kasih sayang.
     “Nanti kalau ayahmu sudah dapat uang, ayahmu pasti pulang, membawa oleh-oleh baju baru buat kamu.”
     Aris tersenyum senang, membayangkan baju barunya. tiba-tiba pak Heru nyelonong masuk. Nafasnya ngos-ngosan
     “Sholehaaah…. Sholehah……” teriaknya.
     “Ada apa pak Heru?,” Tanya Sholehah kaget.
     “Anu… a..a…anu….” jawab ketua RT itu gugup.
     “Anu apaan?” potong Sholehah cemas. Perasaannya tiba-tiba tidak enak. Aris hanya menatap keduanya tak mengerti. Insting kanak-kanaknya belum menjangkau kepanikan yang terjadi.
     “Ahmad…. Suamimu Ahmad…"
     "Ada apa dengan mas Ahmad? Kenapa dia?"
     "Ahmad… di pukuli massa karena…. karena.. ketahuan mencuri sampai…. sampai… dia Meninggal,” jelas pak Heru terbata-bata.
     Seketika ibu dan anak itu cepat beranjak keluar rumah. Di halaman rumahnya orang-orang ribut sedang menggotong sesuatu.
     Melihat kondisi suaminya, Sholehah histeris. Menjerit tertahan. Mendekap kepalanya. Meremas rambutnya hingga kerudungnya lepas lalu terkulai, pingsan.
     Aris sudah tidak memperhatikan ibunya. Begitu ia melihat ayahnya, sontak ia berlari ke jasad ayahnya yang sudah terbujur kaku.
     “Ayaaaah………!!” ia rengkuh tubuh ayahnya yang penuh luka. Tangisnya pecah.
     “Ayaah…. bangun yaah… Aris sudah tidak ingin baju baru lagi Yah, Aris hanya ingin ayah hidup, Yaah… bangun Yah, Ayah kan janji, setelah lebaran nanti, ayah mau ngajak Aris ke kebun binatang. Ayah bangun… Ayaaah….....,” Aris terus saja memeluk ayahnya, menyuruhnya agar bangun. Tapi ayahnya tetap tidak bergerak.
***
     “Aris rindu Ayah, Aris lapar Yah,” rintihnya sembari mendekap perutnya yang sudah kempes, tidak terisi apa-apa. Karena tidak ada yang dicerna, ususnya saling gesek satu sama lain. Perutnya terasa sangat perih.
     Dilihatnya tong sampah. Ia berdiri. Mendekat. Begitu ia membuka tutupnya, bau anyir langsung merebak, ia tak peduli lalu mulai mengais-ngais, mencari sisa-sisa butir nasi untuk mengganjal perutnya. Ia sudah tidak menghiraukan makanan tak sehat dan kotor lagi. Yang ada di pikirannya hanyalah bagaimana caranya agar ia tidak lapar lagi. Namun sisa nasi basi-pun tidak ia temukan.
     Badannya mulai terasa panas. Gejala demam karena sudah minum air sungai dan kehujanan semalaman, mulai terasa. Kakinya sudah tidak kuat lagi untuk membawanya berjalan mencari makanan. Tubuhnya sudah sangat lemah. Ia lapar. Ia haus.
     "Ibu….."
***
     Setelah kehilangan ayahnya, giliran rumahnya yang digusur dengan alasan ketertiban dan keindahan kota. Aris hanya menyaksikan dari kejauhan, bagaimana rumahnya yang hanya terdiri dari bangunan kayu, triplek, dan seng itu, roboh seketika begitu moncong buldoser menyeruduknya.
     Hanya dengan alasan ketertiban dan keindahan kota, ‘mereka yang diatas’ tega merusak rumah dan masadepannya. Pantas saja mereka berslogan ingin memberantas kemiskinan, karena memang nyatanya mereka ingin memberantas orang-orang miskin, seperti dirinya. Geram, ia kepalkan tangannya lalu mengacungkan tinju kanannya kearah buldoser-buldoser itu.
     “Kalau aku sudah besar nanti, akan kubalas kalian,” teriaknya penuh amarah.
     Tiba-tiba ibunya mendekapnya dari belakang sembari menangis, “Sabar nak ya… cukup Tuhan yang membalas mereka.”
     Sejak saat itu, mereka berdua menjalani hidup baru. Bertempat tinggal di pinggiran tempat pembuangan sampah, bersama dengan mereka yang senasib. Siang hari menjadi pemulung dan malam harinya mereka tidur diatas timbunan sampah hanya dengan beralaskan kardus-kardus kotor.
     Sampai suatu ketika, ibunya terserang penyakit TBC. Sakitnya parah. Bersama pak Heru, Aris membawa ibunya ke rumah sakit. Begitu mengetahui calon pasiennya adalah pemulung yang jelas tidak memiliki uang, para dokter kaya itu menolak untuk mengobati ibunya.
     “Dok… tolong ibu saya Dok. Ibu saya sakit” rengek Aris begitu melihat dokter berkacamata itu hendak meninggalkan mereka begitu saja.
     “Kalau tidak punya uang jangan ke rumah sakit. Ke dukun saja!!” bentak Dokter itu sambil mendorongnya agar menyingkir.
     Tapi Aris tidak mau menyerah, ibunya sedang kesakitan. Ia harus berjuang demi nyawa ibunya. Ia pegangi ujung baju dokter itu dengan erat, agar dokter itu tidak jadi pergi.
     “Dokter…., tolong obati ibu saya dokter, Ibu saya… Ibu saya sakit Dok, badannya panas… tolong ibu saya dokter,” Aris terus saja mengiba, membuat dokter itu merasa jengkel dan Marah.
     “Pergi sana!! lihat baju saya jadi kotor. Dasar anak dekil!!” dengan keras Dokter itu menghentakkan tangan kecil nan kurus itu. Lalu bergegas pergi. Aris meringis. Tangannya sakit akibat hentakan keras dokter tadi. Ia berpaling ke ibunya yang terbaring tak berdaya diatas grobak.
     Sambil berjalan lesu mendekati ibunya, Aris berkeluh kesah “Ibu… mereka tidak mau mengobati ibu. Mereka jahat bu. Kalau besar nanti Aris tidak ingin jadi dokter bu. Karena dokter itu jahat, tidak mau mengobati ibu, hanya karena kita tidak punya uang.”
     Setelah berdiri didekat ibunya disisi gerobak, Aris seperti teringat sesuatu “Oh iya, Aris masih punya sedikit tabungan bu, hasil kerja Aris mengumpulkan dan menjual sampah plastik. Besok uang itu akan Aris belikan obat buat ibu ya? Ibu harus sembuh”
     Tapi ibunya tetap saja diam. Matanya terpejam begitu damai.
“Bu, Ibu sudah tidur ya?” seru Aris panik sembari mengguncang-guncangkan tubuh ibunya yang sudah kaku.
     “Bu… Ibu.. jawab Aris Bu…?”
     Pak Heru yang merasakan gelagat tidak baik langsung memeriksa keadaan ibunya.
     “Sabar nak ya. Ibumu… sudah tiada”
***
     “Ibu… Aris sakit bu… Aris rindu Ibu” keluhnya lagi.
     Di depannya menara monas menjulang tinggi dengan sebongkah emas bertengger diatasnya. Ia tiba-tiba mengerti, kenapa tugu itu berbentuk seperti itu. Bahwa kekayaan negerinya itu sangat jauh dari jangkauan orang-orang miskin. Hanya orang-orang 'besar' dan 'tinggi'-lah yang bisa menyentuhnya.
     Aris mencoba untuk berdiri, tapi kepalanya tiba-tiba terasa begitu pening. Membuatnya harus terduduk kembali. Senja sudah mulai redup. Sebentar lagi gelap akan menyelimuti bumi. Ia harus mencari tempat untuk berteduh. Siapa tahu malam ini hujan akan kembali turun. Kembali ia paksakan tubuhnya untuk bisa berdiri. Akhirnya, dengan tertatih-tatih ia melangkah, namun hanya dalam jarak beberapa meter saja, kemudian tiba-tiba tanah tempatnya berpijak terasa berputar-putar lalu semuanya menjadi gelap. Ia jatuh tersungkur dan tak sadarkan diri.
***
     Dari berita Koran pagi ini, aku melihat sebuah potret kehidupan ibu kota dari Negeri yang katanya mempunyai sebutan Negeri gemah ripah loh jinawi, sebuah negeri yang katanya tongkatpun bisa hidup, tumbuh, dan berbuah hanya dengan ditancapkan begitu saja di tanah. Sangat kontras dengan kenyataan yang kini terpampang di depanku. Bahwa lebih dari separuh penghuni negeri ini adalah orang-orang miskin.
     Berita tentang penyakit busung lapar. Jumlah PHK yang kian meningkat. Sedikitnya lapangan kerja. Rumah-rumah warga yang di gusur, sampai demo karena tidak puas dengan kebijakan pemerintah, selalu menghiasi wajah Koran setiap harinya.
     Ketika bus yang aku tumpangi berhenti sejenak, menurunkan beberapa orang penumpang dan menaikkan pengamen dan para penjual asongan. Dari balik kaca jendela bus, aku menyaksikan sebuah pemandangan memilukan. Di bawah pohon asam, tak terlalu jauh dari jalan raya, seorang anak kecil tergeletak dengan posisi tengkurap. Tangan kanannya terselip dibawah perutnya. Sedang tangan kirinya terjulur menutupi sisi kiri wajahnya.
     Aku perhatikan sekitarnya. Tak ada yang menghiraukan. Semuanya cuek bebek dan berjalan seperti biasa. Seperti tidak sedang terjadi apa-apa. Ah, mungkin saja anak itu hanya sedang tidur. Biasalah anak jalanan. Semua jalanan adalah rumah baginya, Batinku, mencoba untuk tidak terlalu menghiraukan.
     Di depanku, kulihat seorang bapak-bapak turut menyaksikan pamandangan memilukan itu. Ia melirik sejenak lalu berpaling, melirik lagi, berpaling lagi. Mungkin di satu sisi, ia merasa sangat kasihan dan tidak tega. Tapi di sisi yang lain, ia tidak bisa berbuat apa-apa.
     Kutolehkan mukaku ke tempat duduk di belakangku. Seorang ibu juga melihat anak kecil itu. Matanya berkaca-kaca. Mungkin ia sedang sedih membayangkan bagaimana kalau anaknya terlantar seperti itu?.
     Kembali kuperhatikan anak itu dengan seksama. Tapi tidak. Tidak mungkin anak itu hanya tertidur. Bukankah semalaman hujan turun dengan sangat deras. Tidak mungkin anak itu sengaja tidur disana. Pasti dia sedang sakit atau tidak sadarkan diri.
     Bus mulai bergerak. Merangkak perlahan, meninggalkan pemandangan memilukan itu di belakang. Aku harus memutuskan. "Kiri..!!" Teriakku. Bus berhenti lalu aku turun. Namun sayangnya, anak itu sudah tidak bernafas lagi.

17-Rabi’ul Awal-1430 H./15-Maret-2009 M.
(Pernah dimuat di Majalah Ijtihad edisi 30 dengan Judul "Potret Negeriku" dengan beberapa perubahan cerita)

0 comments:

Post a Comment