Friday, July 13, 2012

Umar Abad 20

     Petang itu selamet sedang menikmati suguhan televisi di warungnya,. Sesekali dia melongok ke luar berharap ada pembeli yang datang. Di luar, gelap belum begitu pekat. matahari yang belum lama tenggelam di ufuk barat masih menyisakan secercah cahaya redup di langit. Selamet menyulut kembali rokoknya lalu menyesap sisa kopinya.
     Selamet membuka warungnya sejak sore sampai jam 9 malam. Biasanya kalau waktu maghrib memang jarang ada pembeli, hanya satu-dua orang saja. isya' nanti pembeli baru akan berdatangan. Tapi selamet merasa tanggung untuk menutup warungnya. Pernah temannya menyarankan agar warungnya di tutup saja waktu maghrib.
     "Kok tidak di tutup saja. kalau maghrib kan orang-orang kan pada shalat ke masjid lalu ngaji Qur'an. Lagipula apa kamu tidak shalat?". Tanya sadikin suatu hari.
     Tapi selamet tidak mendengar nasehat mereka yang menyuruhnya untuk tutup warung saat maghrib. Sesekali selamet mengomentarinya
     "mungkin ada orang yang punya keperluan mendadak. Kan kasihan kalau ternyata tidak ada satu pun warung yang buka. Lagipula tidak jarang saya melayani pembeli pada waktu maghrib, dan itu tidak Cuma satu-dua". Kilahnya pada hamdan, temannya yang paling kerap menyuruhnya tutup warung.
     Samar-samar di lihatnya seseorang dengan tas besar di punggungnya berjalan menuju warungnya. Wajah orang itu terlihat sangat letih, mungkin sedang bepergian jauh.
     "minum es apa kopi mas?" tawarnya sopan setelah laki-laki itu duduk di kursi.
     Laki-laki calon pembelinya itu malah terlihat bingung, dia mempehatikan selamet dengan seksama.
     "bapak belum shalat?" Tanya orang misterius itu membuat selamet terkejut.
     "kenapa kamu bertanya masalah itu". Tanya selamet canggung
     "soalnya di wajah dan tangan bapak banya noda cat"
     "oh ini tadi sore bapak ngecat pagar dan belum sempat dibersihkan. Malas mau mandi".
     "Jadi bapak belum shalat?" nada suara orang itu agak di tekan.
     "Belum. Malas mau mandi". Jawab selamet datar
     "kenapa tidak shalat?"
     "Mau mandi aja malas apalagi mau shalat". Jawab selamet tanpa beban
     "Jadi bapak meninggalkan shalat karma malas?" sentak orang itu
     "Kamu kok Tanya-tanya itu kenapa sih?. Apa urusan kamu sama shalat saya. Saya mau shalat atau tidak itu terserah saya. kamu jangan ikut campur. Memangnya kamu malaikat apa".
     Tanpa disangkanya laki-laki itu marah, wajahnya memerah, matanya menyala. Dia mengambil sesuatu di tas besarnya. Sebuah benda panjang seperti tongkat tapi agak bengkok. Criing'. Wajah Selamet pucat seketika. Kakinya gemetar. Bahkan saking takutnya dia ngompol di celana. Laki-laki itu menghunuskan pedangnya kearah selamet.
     "Cepat bapak bertaubat…. Kalau tidak aku tebas lehermu. Darahmu telah halal bagiku. Orang yang meninggalkan shalat karena malas berarti telah murtad". Seru laki-laki itu sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi.
     Selamet memandang pedang yang tergantung di atas batok kepalanya dengan ketakutan luar biasa. Rokok yang tadinya terselip di antara celah bibirnya terjatuh. Mulutnya menganga dan matanya melebar.
     "a……ampun ja…jangan bunuh saya tolong…"
     "Cepat bapak bertaubat!"
     "si….siapa kamu?"
     "aku adalah UMAR"
     "Umar? Umar bin Khattab?" selamet jadi merasa bahwa laki-laki di depannya adala Umar bin Khattab. Sahabat yang berwatas keras tapi lembut itu selamet kenal sebagai orang yang paling tidak suka melihat kemunkaran di depan matanya, Pedangnya akan terhunus seketika.
     "bukan, tapi Umar bin Saidi "
     "cepat syahadat!" ulang Umar semakin murka
     Akhirnya selamet mengucapkan syahadat dengan terbata-bata di bawah pedang yang siap menebas batang lehernya.
     "Shalat!" perintah umar selanjutnya
     Selamet langsung berdiri menghadap kiblat hendak takbiratul ihram
     "hai.. hai… mandi dulu! Masak mau shalat bau pesing begitu, bersihkan juga noda cat di tubuhmu. Cepat!".
     Selamet langsung ngacir ke kamar mandi. Setelah mandi Umar masih menunggunya tapi pedangnya sudah disarungkan kembali. Selamet menunaikan shalat maghrib lebih lama dari biasanya. Selesai shalat si Umar sudah tidak ada.
***
     Malam itu di gardu ronda. empat orang pemuda bermain kartu remi sambil mabuk-mabukan. Sangsi bagi yang kalah, harus minum satu botol. Di samping mereka terdapat satu krak bir murahan, dan beberapa botol kosong berserakan. Satu orang terlihat mabuk berat, ia tergeletak di samping teman-temannya yang lain. Mungkin ia kalah banyak.
     ”Haaa haa ha... kali ini kau kalah. Cepat minum jo! Ayo minum!”. seru joni kegirangan karena giliran dia yang menang setelah sebelumnya kalah dua kali.
     Paijo langsung meneguk satu botol yang di tuangkan teman-temannya. Paijo mabuk. Yang lain tertawa.
     ”Baru tiga botol sudah mabuk. Payah kamu jo! Mending si kamdi, yang baru teler pada botol ke tujuh ha...ha.”. tawa Komeng menggelegar. Dia tak terkalahkan malam ini.
     Mereka terus bermain sampai mabuk semuanya. Komenglah yang terakhir kali mabuk, Karena teman-temannya yang lain sudah teler maka Komeng menenggak sendiri botol-botol topi miring itu sampai dia ikut teler juga.
     Tanpa mereka sadari seseorang berjalan menuju mereka dengan sebuah cemeti. Ctarr.. Ctarrr... Ctarr.. Ctarr.. Ctarrr... Ctarr..
     Pada cambukanan ke 40 mereka muntah dan baru merasakan ngilu dan sakit di punggung mereka yang telanjang. Baru sampai cambukan ke 80 cambukan itu berhenti.    
     "Siapa kau....?" tanya Komeng yang sudah tersadar pada cambukan ke 20. punggungnya terasa sakit luar biasa.
"Umar" sahut lelaki misterius itu kemudian berlalu
"Umar?"
***
     Bapak Sugiono, orang yang paling sukses di daerahnya. Hartanya berlimpah, kendaraannya mewah-mewah. beberapa rumah pribadi dan villa ia miliki. Kekayaannya tak akan habis untuk tujuh turunan.
     Pagi itu ketika dia sedang menikmati sarapannya, ponselnya berdering.
     "Assalamu 'alaikum". Sapa orang di seberang dengan ramah.
     "Halo. Siapa ini?"
     "Saya adalah Umar"
     "Umar, Umar yang mana? Sepertinya saya tidak kenal orang yang bernama Umar"
     "Tapi sebentar lagi anda akan segera kenal dengan Umar, pak Sugiono"
     "Hey jangan bercanda kamu. Mau kamu apa?"
     "Saya yakin kamu ingin hidup tenang dengan bisnis yang lancar. Jika kamu tidak ingin hidupmu selalu menderita. Penuhi permintaanku". Kali ini dengan nada mengancam.
     "hah jangan menggertak kamu"
     "Saya tidak sekedar menggertak. Saya tahu pabrik bapak di surabaya, di bandung, di malang. Rumah bapak di jakarta, di yogyakarta. Villa bapak di bandung, di bogor. Juga saya hafal mobil bapak. Sekali lagi kalau bapak tidak memenuhi permintaan saya maka jangan harap hidup bapak akan terus berjalan normal. Camkan itu".
     "Ba....ba..baik. katakan apa maumu" dengan gugup pak sugianto menyanggupi. Baru kali ini dia menerima teror seperti itu. Dan dia tidak mau terjadi sesuatu yang tidak di inginkan pada diri dan keluarganya suatu hari.
     "Aku hanya ingin anda mengirimkan uang sejumlah 3 miliyar. Itu saja".
     "3 miliyar?"
     "Aku rasa itu sudah cukup sebagai zakatmu".
     "Zakat?" kagetnya. Memang selama ini dia tidak pernah mengenal kata zakat. Yang dia tahu hanya beberapa sumbangan dana sosial. Memang pernah ada beberapa panti yang memohon dana bantuan tapi semuanya dia tolak. Tapi zakat...... Apa Itu Zakat?, pikirnya. walaupun dia menyadari seutuhnya kalau dirinya adalah muslim.
***
     Di ruangannya yang megah dan ber-AC seorang pejabat duduk dengan santai. Ber-internet ria. Mengisi waktu kosongnya siang itu.
     ”Pak ada kiriman paket buat bapak Surya” Seorang gadis masuk dengan membawa sesuatu.
     ”Dari pak Subroto ya?. Mana, kemarikan cepat!, nanti kamu akan aku kasih hadiah” pintanya tak sabar kesekertaris pribadinya yang cantik itu.
     Ia membayangkan sebuah arloji emas yang dijanjikan pak subroto kemarin. Karena berkat campur tangannya pak subroto bisa terbebas dari tuduhan penyelewengan dana 2 miliyar rupiah. Dia senyum-senyum sendiri karena ia tahu angka 2 miliyar itu hanya bayangan kecil dari apa yang di dapat pak subroto. Angka yang kebetulan terendus oleh pihak lain.
     ”Sepertinya bukan dari pak subroto. Tapi dari Umar” ralat sekertarisnya
     ”Umar?”.
     ternyata bingkisan itu bukan dari pak subroto. Tertera di bagian bungkusan putih itu UMAR nama pengirimnya.
     ”ya sudah sana, kamu bisa kembali bekerja” dengan kecewa pak surya menerima bingkisan itu.
     ”baik pak”
     Bungkusan itu di bukanya dengan hati-hati. Terus terang ia tidak tahu siapa itu Umar. Mungkinkah ia salah satu penggemarnya, pendukungnya dalam pilkada?.
     ”Akhh...” pekiknya. Ternyata di dalam bungkusan itu terdapat tulang. Ya, tulang dengan panjang kira-kira 10 cm itu bergaris tengah. Di garis dengan benda tajam semisal pisau, celurit atau pedang.
     Ia jadi berpikir mungkinkah yang mengirimnya adalah Umar bin Khattab. Seperti yang di kirimkannya ke salah seorang gubernurnya yang menyelewengkan hak-hak rakyat. Yang mana pesan itu mempunyai arti ”Luruslah kamu seperti garis ditulang ini. Kalau tidak maka aku yang akan menggaris tulangmu dengan pedangku”. Dan konon sang gubernur bertaubat. Tapi dirinya bukan gubernur itu. lagi pula mana mungkin Umar hidup di zaman ini.
     ”Sinta. Cepat kamu cari informasi tentang Umar. Secepatnya!” perintahnya kepada sekertarisnya melalui telepon.
     "Baik pak"
     Tak lama kemudian sinta datang dengan setumpuk berkas laporan.
     "Umar bin Saidi. Sering mengeksekusi orang-orang yang melanggar rambu-rambu agama. Dia langsung memberi sangsi kepada korban-korbannya di tempat. Di kabarkan sudah banyak orang yang di cambuknya karena meminum bir, orang kaya yang di peras uangnya karena tidak mau membayar zakat, mengasingkan pemuda-pemudi yang berzina ke luar kota setelah terlebih dahulu di cambuknya dan setumpuk laporan lainya pak". Papar sinta
     ”terima kasih, kamu bisa kembali ke mejamu”. Pak surya sedikit berkeringat, dinginnya AC tidak mencegahnya untuk berkeringat.
     Dia berpikir, karena alasan yang mana Umar mengiriminya tulang. Apa karena korupsi, atau yang lainnya? lalu apa yang akan di perbuat Umar terhadap dirinya. Memotong tangannya?. Ah, si Umar harus di cegah secepatnya. Sebelum dia bertindak macam-macam.
     ”baik pak, oh ya mengenai hadiah itu, apa ada kelanjutanya?” tanya sinta dengan expresi agak digenit-kan.
     "tenang saja manis. Nanti malam kamu akan bos kasih hadiah, tapi tentunya setelah kamu 'mijit-mijit' sebentar" sambil tangannya menyentuh dagu sinta.
     Setelah sekertarisnya itu keluar, cepat  ia menghubungi seseorang.
     ”Cokro... Aku ingin kau habisi orang yang bernama Umar. Aku tidak mau dia menjadi batu sandunganku di kemudian hari. 10 juta kurasa cukup sebagai upahmu”.
***
     "Umar! Sebaiknya kamu hentikan aksimu segera. Kamu tahu, sudah banyak orang yang gerah dengan aksimu itu. Aku tidak ingin kau tertimpa musibah kelak". Pinta Faris saat mereka bertemu. Kesempatan itu tidak di sia-siakan oleh faris untuk memperingatkan temannya Umar, yang sedang di incar oleh beberapa orang yang tidak menyukai cara dakwahnya.
     "Kamu memintaku agar aku tidak lagi mencegah kemunkaran?". Umar heran dengan sikap Faris. Mengapa teman semenjak kecilnya itu tidak mendukungnya.
"Mar. Yang memberi sanksi itu adalah imam. Bukannya kita main hakim sendiri". Bantah Faris, sepertinya dia tidak setuju dengan eksekusi-eksekusi umar terhadap para ‘Ashi (orang yang berbuat maksiat) selama ini.
     "Ris. Kalau Imam tidak ada. Atau tidak mau menghukum dengan hukum allah, lalu siapa yang akan menghukumi? Siapa yang akan mebuat para ‘Ashi itu jera? Siapa yang akan menghentikan kerusakan di bumi? Siapa....?"
     "Sedangkan allah menyebut orang yang tidak mau menghukumi dengan hukum allah dengan orang kafir, orang dzalim dan orang fasiq. Tuhan sampai menyebutnya tiga kali". Lanjut Umar
     "Negara kita ini bukan negara islam. Undang-undang kita juga bukan undang-undang islam. Kita tidak bisa menegakkannya di sini. satu lagi yang kau lupakan. Islam tidak di tegakkan dengan pedang tapi dengan cinta kasih dan damai". Sengit Faris
     "Kenapa tidak bisa? Mayoritas penduduk negeri ini adalah muslim. Lalu siapa lagi yang akan menggunakan hukum allah kalau bukan kita. Kau tahu kita semua sudah menyatakan islam, kalau kita melanggar syariat. Kenapa kita tidak di pidana sesuai tuntutan islam? Mereka harus dihunus dengan pedang agar mau kembali pada rambu-rambu syariat. Atau mungkin kamu mau mengatakan kalau hukum-hukum itu sudah tidak relevan lagi, begitu?".
     "bu..bukan begitu maksudku, ta...tapi..."
     "Sebaiknya dari kalian ada beberapa orang yang mengajak pada kebaikan, memerintah kebenaran dan mencegah kemunkaran. Kau tahu arti bebas ayat ini? Lantas kenapa kamu melarangku? Biarlah aku pada jalan dan keyakinanku. Kamu boleh hanya diam dan ingkar dengan hati ketika menyaksikan perampokan, porstitusi, pembunuhan, judi, mabuk-mabukkan dan kemunkaran-kemunkaran lainnya. Tapi aku tidak ingin menyandang gelar si lemah iman. Aku akan mencegah dengan tanganku, walaupun nyawa taruhannya". Tegas Umar.
     Faris terdiam. Berpikir sejenak, lalu berkata
     "Baiklah kalau begitu. sekalipun aku tidak sependapat dengan jalan pikiranmu. Tapi aku turut mendukungmu. Aku do'akan semoga kau selamat kawan".
***
     "Apa kamu yang bernama Umar?". Tanya salah seorang dari beberapa pemuda yang menghadangnya dengan tiba-tiba. Mereka mengenakan pakaian serba hitam dengan penutup wajah. yang terlihat hanya mata dan mulutnya saja. Mereka bertujuh memegang senjata lengkap. Dengan satu orang memegang pistol. Mungkin cuma sebagai penggertak.
     "Umar bin Saidi?" tambah temannya.
     "benar saya adalah Umar, Umar bin Saidi " jawabnya tegas.
     Walaupun sebenarnya dia sadar kalau sedang terancam dalam bahaya. Tapi sebagai seorang yang berjalan di jalan allah dia tak gentar. Dia ingin hidup mulia dengan menegakkan amar makruf nahi mungkar, hidup dengan predikat "kuat iman" atau mati syahid. dia sudah menyadari semua resiko yang bakal di hadapinya dari dulu. Dan dia siap menghadapinya, apapun itu.
     Umar merasa kasihan kepada mereka yang tidak mau di peringatkan dan di ajak kepada kebenaran, apalagi dengan mengirim para pembunuh ke alamatnya. Sungguh kasihan. Lantas siapa lagi yang akan mengingatkan mereka setelah dirinya. Semoga kelak banyak bermunculan para peneriak kebenaran untuk meredam gemuruh kebatilan. doanya
     "Kalau begitu kau harus mengakhiri nyawamu sekarang juga". Lantang pemegang pistol sambil membidik sasarannya.
     Tapi Umar tidak ingin mati konyol, pasrah tanpa perlawanan sedikitpun. Dia ingin kematiannya juga dalam misi menegakkan kalimat allah. Bukankah dia sedang dan akan terus menegakkan amar makruf-nahi mungkar dan sekarang di depannya ada beberapa orang yang menghalang-halanginya untuk melanjutkan misinya. Jadi mereka juga harus di tundukkan.
     Dengan pedangnya ia menerjang ke kawanan mafia bayaran itu.
     ”Allahu Akbar” pekiknya nyaring dan membahana. Sedikit membuat hati mereka terkejut. Tapi suara yang menyambutnya tak ngalah nyaring. ”DOR....”

15. Jumadal Ula 1429 H

0 comments:

Post a Comment