Malam itu, di
warung kopi pak sholeh, paijo dan orang-orang kampung sedang ngobrol ngalor
ngidul. sesekali mereka tertawa rerbahak melupakan kejenuhan kerja di siang
harinya. paijo sering kali melucu membuat yang lainnya terpingkal pingkal.
Sampai sudirjo bertanya
“Apa sih tarekat
itu?”. Tanya sudirjo lugu.
Tiba tiba, suasana
begitu sepi, senyap. paijo yang sedari tadi berguling-guling menahan tawa
langsung tertahan, dia menyadari kalau suasananya sudah menjadi serius. Semuanya
terdiam, beberapa orang terlihat menggerutu karena waktu lucu mereke terampas.
“Tarekat?” yakin
hayyi yang langsung di jawab anggukan oleh sudirjo
Paijo membetulkan
posisi duduknya, merapikan songkok, menurunkan lengan baju, lalu diam sejenak
sambil berpikir. yang lainnya menunggu dengan nafas hamper tertahan. baru
setelah yang lain tampak memperhatikan tingkahnya paijo berkata
“Begini Dirjo,
Mm…….” senyap, hanya jangkrik yang masih asyik bersahutan
“Tarekat ibarat
sebuah jalan” mantapnya
“Jalan?” kompak
yang lain
“tarekat adalah
jalan?” Tanya kendung
Suasana tiba tiba
menjadi resmi dengan sendirinya. Semua memperbaiki letak duduknya dan mencoba
menyimak diskusi kali ini, sofwan yang tadinya tidak peduli malah turut mencari
posisi yang agak dekat dengan paijo. Baru-baru ini di kampung mulai merebak isu
tentang tarekat. Dan orang-orang bertanya-tanya “apa sih tarekat itu?”,
“makanan atau bukan?”, “apa seperti tape atau pisang goring?”
"Tarekat berarti
jalan?"
"Apa
maksudnya?"
"Ibarat
seseorang yang ingin tahu jalan menuju masjid, maka dia akan bertanya mana
jalan terdekat menuju masjid? Atau dia minta tolong untuk di antarkan ke
masjid. Nah begitu pula tarekat, disana ada tukang tunjuk jalannya"
"Pemandu
jalan?" potong ruslan.
"Wah
kayak panduan wisata gitu" tambah wawan
"Hus
wong belum selesai kok di potong, dengerin dulu" sengit saipul yang merasa
konsentrasinya terganggu karna ulah dua temannya. Dia terlihat sangat
memperhatikan sekali. Beberapa hari yang lalu kakaknya mengikuti tarekat dan sepertinya
dia juga tertarik.
"teruskan
jo" pinta saipul bersemangat
"Saya
ulangi. Mm…. sampai mana tadi ya" Tanya paijo sekedar ingin tahu sebatas
mana perhatian teman-temannya
"Ada
tukang tunjuk jalan" seru para penikmat kopi itu. Paijo tersenyum puas
"Nah
di sana ada tukang tunjuk jalannya yang di sebut dengan Mursyid".
"Mursyid?"
Tanya ruslan, dia tidak memperhatikan tatapan marah saipul
"Mursyid artinya
orang yang menunjukkan. Mursyid inilah yang bertugas memberikan arahan kepada
para pengikutnya. Dan biasanya orang yang menjadi Mursyid bukan orang
sembarangan. bisa ulama besar atau wali allah. Karena itulah aku tadi
mengatakan kalau Tarekat berarti jalan"
"Maksudnya?"
Tanya seisi warung kopi pak sholeh serempak, menunjukkan perhatian yang serius.
"Karena
Mursyid sebuah tarekat adalah ulama atau wali yang tentunya mereka tahu jalan
yang benar untuk sampai kepada tuhan, jalan yang harus di lewati bagi para
pencari tuhan, jalan terdekat yang bisa di lewati, bukan jalan buntu apalagi
salah jalan. maka mereka menunjukkan para pengikutnya kepada 'jalan kebenaran'
itu, biar mereka tidak kesasar. Misalnya dirjo tahu jalan menuju masjid lalu
ada orang Tanya kepada dirjo kemana jalan menuju masjid, atau minta di antarkan
ke masjid, apa tindakan kamu jo?".
"Ya
aku antarkan saja dia ke masjid, atau aku tunjukkan jalannya, beres" jawab
sudirjo sebisanya
"Jalan
yang mana yang akan kau tunjukkan?" Tanya paijo sekali lagi
"Jalan
yang memang jalannya dan menurutku paling dekat dan mudah"
"Jangan
malah di bawa jalan-jalan atau muter-muter atau malah meninggalkannya di tengah
jalan, ha ha haaa…." Canda kang saleh, giginya yang ompong kelihatan. Yang
lain malah tersenyum kecut, kurang suka dengan kelakarnya.
"Seorang mursyid
berkewajiban menuntun pengikutnya serta mengarahkannya pada tujuan yang hendak
di capai. jadi adanya tarekat adalah untuk memudahkan kita untuk sampai atau wushul
kepada tuhan" tambah paijo
"Apa
tidak tertentu pada orang yang menginginkan makrifat
bil-lah saja, atau para sufi misalnya, soalnya kan tidak semua orang bisa
wushul" Tanya saipul
"Ya
minimal kita bisa terhindar dari dosa-dosa besar, itu saya kira sudah cukup.
mengenai wushul tidaknya, itu tergantung kesungguhan perorangan"
"Apa
kita tidak bisa mencari 'jalan kebenaran' itu sendiri, tanpa ikut-ikutan
tarekat?" kritis Wawan
"bisa
sih bisa, hanya saja saya rasa sulit kecuali dengan izin Allah. Soalnya begini,
contoh kamu ingin pergi ke pasar senen atau ke Jakarta misalnya tapi kamu tidak
tahu arah dan jalan menuju pasar senen atau Jakarta, dan kamu tidak mau
bertanya, kamu mungkin saja bisa sampai di Jakarta tapi setelah beberapa kali
tersesat, beberapa kali masuk hutan atau bahkan setelah melewati India,
spanyol, belanda terlebih dahulu, baru kamu sampai. Kecuali kalau misalnya di tengah
jalan kamu diculik orang kemudian di bawa ke Jakarta, maka lain ceritanya kalau
begitu"
Paijo
menyesap kopinya yang hampir habis, lalu menyulut rokoknya. Tanpa di minta, pak
Sholeh membuatkan kopi buat paijo dan kali ini dia gratiskan. Para peserta seminar
tak resmi dengan topic utama Tarekat dan nara sumber Paijo, enggan untuk
beranjak, mereka masih asyik menyimak, sesekali mereka mengangguk-angguk kecil.
kadang pelan mereka seruput kopi khas buatan pak sholeh dengan nikmatnya atau
dengan lembut mereka sedot batang rokok kretek mereka.
"Jadi
itulah tarekat, mungkin ada yang masih belum paham?" Tawar paijo membuka
diskusi. Pak sholeh menaruh segelas kopi yang masih mengepul panas dekat paijo.
"gratis" bisiknya. Paijo berterima kasih
"Apa semua
tarekat itu pasti benar. Mm… maksud saya apa semuanya pasti benar dan tidak ada
yang menyesatkan?" Tanya Saipul
"Bisa saja sebuah
tarekat malah menyasatkan, oleh karena itu ada sebuah undang-undang yang bisa
membedakan antara tarekat itu sesat atau Muktabar"
"Muktabar?
Istilah apa lagi itu" Tanya Wawan
"Muktabar berarti
diakui. Sebuah tarekat di katakan muktabar kalau memenuhi beberapa kreteria
yang termaktub dalam undang-undang tarekat. Dan di Indonesia ada JATMAN
(Jamiyah Tarekah Muktabarah). Yang bertugas menyeleksi dan menghimpun
tarekat-tarekat tersebut".
Mereka kembali
manggut-manggut, paham dengan penjelasan paijo. Tiba-tiba ada orang yang
datang. semua mata memandang pendatang itu, sepertinya orang jauh dan dari
wajahnya terlihat rasa lelah akibat perjalanannya.
"Permisi, mau
numpang Tanya ada yang tahu alamat ini?" Tanya orang itu sambil
menyodorkan secarik kertas yang langsung di terima oleh saipul.
"Oh, ya saya tahu
alamat ini, Pak Syakur yamg rumahnya di desa sebelah, dekat dengan jembatan
kali urip". Papar saipul sambil menunjuk jauh ke arah rumah pak syakur.
"Jauh ya
mas?"
"Ya lumayan jauh
sih, kira-kira 3 kilo gitu" jawab wawan lengkap dengan ukuran kilo
meternya
"Apa mau di antar
pakek becak?" Tawar Ruslan bersemangat, maklum sedari tadi becaknya terparkir
begitu lama. Di tempat itu yang berprofesi sebagai tukang becak Cuma dia dan
sudirjo.
"Boleh, kebetulan
aku sedang cari tumpangan"
"Lan, awas ya,
Ingat diskusi kita barusan, kamu sekarang bertugas sebagai mursyid" ingat
Paijo, sesaat sebelum Ruslan mengayuh becaknya.
"Jangan kau bikin
bingung penumpangmu itu" seru kang saleh sambil cekikikan
"Jangan di buat
kesempatan" tambah sudirjo, dia agak gerundel karena bukan rejekinya
Ruslan mengayuh
sepedanya dengan santai, dia berjanji tidak akan mengkhianati penumpangnya
lagi. Sudah beberapa kali dia menipu penumpangnya, dengan mengatakan kalau
tujuan penumpangnya lumayan jauh walaupun nyatanya bisa sampai hanya dengan
berjalan kaki karena jarak tempuhnya Cuma beberapa puluh meter, lalu dia
membawa penumpangnya muter-muter sampai agak lama.
Kali ini dia
senyum-senyum sendiri menyadari kekeliruannya, setelah tadi mendapatkan
beberapa pelajaran berharga dari paijo. "Jangan malah di bawa jalan-jalan
atau muter-muter atau malah meninggalkannya di tengah jalan, ha ha haaa…."
Canda kang sholeh kembali tergiang,
“Ah, jadi kang sholeh
tadi menyindirku” pikirnya
Dia berandai misalnya
ada seorang mursyid yang berwatak seperti dirinya, niscaya dia suka
memanfaatkan para pengikutnya demi uang mereka. Semoga saja tidak.
"Paijo-paijo kamu
memang 'alim, cara bicaramu seperti seorang mursyid saja" batinnya
mengagumi sahabatnya.
"Mas kenapa
senyum-senyum begitu" Heran penumpangnya
"Ah bahagia saja".
1 comments:
Ba'da Tarekat, lanjutan cerpennya seperti apa? Monggo ditulis...
Post a Comment